Oleh: Jumardi Putra*
Mungkin ini sedikit sentimental. Kenangan saya akan kota-kota besar di tanah air lebih banyak dibaluti oleh cerita-cerita tentang buku, perpustakaan, pusat studi dan komunitas diskusi, serta penerbit dan toko/kios buku, lengkap dengan segala pernak-pernik peliknya.
Di Yogyakarta, selain perpustakaan UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Gadjah Mada dan Grahatama Pustaka, saya mendapati oase di penerbit Ombak selaku penerbit buku-buku sejarah; membaca hasil riset seabad pers, sastra, musik dan arsip koran di Indonesia Boekoe-nya Muhidin M. Dahlan; menikmati buku-buku teori ‘kiri’ seputar ekonomi-politik dan gerakan sosial terbitan Resist Book; mencatat buku-buku teologi, filsafat, sejarah, bahasa dan sastra di perpustakaan Kolese St. Ignatius; serta menemukan buku-buku sejarah-budaya Melayu koleksi Balai Melayu-nya Mahyudin al Mudra, dan Sekolah Analisa Sosial di Pusat studi Hukum UII.
Begitu juga di Bandung, saya acapkali menghabiskan waku berjam-jam di pasar buku Palasari; di Semarang saya mondar-mandir di kios-kios buku lawas di sekitaran Stadion Diponegoro; di Surabaya singgah di Kampoeng Ilmu; di Jakarta saya mengunjungi Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan perpustakaan Museum Penyusunan Naskah Proklamasi (Munasprok), lalu menyusuri kios-kios buku di Blok M Square, pasar Kwitang, Senen dan toko buku milik Penyair Joze Rizal Manua serta Pusat Dokumentasi sastra (PDS) HB. Jassin yang keduanya di Taman Ismail Marzuki (TIM); di Bali menikmati buku-buku sejarah-budaya terbitan Larasan, dan di Medan saya mendapati taman baca Tengku Luckman Sinar Basarshah.
Sama halnya di sela mengikuti konferensi di Universitas Nasional Singapura (2012), saya bersama kawan-kawan Seloko Institute berkunjung ke Perpustakaan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), yang menyimpan ribuan koleksi buku dengan arus utama studi sosial, politik, dan ekonomi di Asia Tenggara.
Saya betah berlama-lama di tempat-tempat demikian itu, meski hanya sekadar membuka lembar-lembar buku, mencatat seperlunya dan bercakap-cakap dengan orang-orang yang tanpa lelah, meskipun kadang-kadang jatuh-bangun, menggumuli buku serta bergerak dalam laku pemikiran, menelaah dengan tekun, dan mencari kemungkinan-kemungkinan solusi baru dalam bangunan argumentasi logis maupun reflektif, terhadap pelbagai peristiwa maupun informasi yang menyesaki kehidupan sekarang ini.
Saya teringat penggalan cerita budayawan Aceh, Musmarwan Abdullah, “Buku memang kendaraan ajaib. Setiap aku galau dengan kekinian dan kedisinian, ia langsung memberangkatkan aku menerjang berlaksa lintas batas, menyeruduk berlaksa lintas waktu. Orang dengan kemampuan bepergian terbatas, orang-orang miskin sepertiku, kendaraan kita adalah buku.”
Kecintaan saya terhadap buku sekaligus penghormatan terhadap sesiapa saja yang menggeluti dunia buku dan pemikiran dapat disaksikan dalam program dialog "Melala" yang tayang di kanal youtube JCM Project berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=8uNv-NWf-So (Bagian I) dan https://www.youtube.com/watch?v=xsZ6c5rmxxA (Bagian II).
0 Komentar