Oleh: Jumardi Putra*
Ahad, hari ketiga liburan Idul Adha (2/8/20), saya mengajak istri dan
dua jagoan kami, Kaindra Gafna al Farisi dan Agrata Rendra Raffasya, mengunjungi Kawasan Percandian Muarajambi, situs bersejarah yang
sejak tahun 2009 hingga sekarang belum beranjak sedikit pun dari status daftar
tunggu (tentatif list) menuju penetapan situs Warisan Dunia (World Heritage
Site) oleh UNESCO.
Jarak tempuh dari rumah sampai ke lokasi Percandian sekira 1
Jam perjalanan. Pilihan piknik akhir pekan ini tak mulus-mulus amat, lantaran
istri masih khawatir dampak pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Lebih-lebih dalam
masa “new normal” yang diterapkan oleh pemerintah belum lama ini menunjukkan anomali, yaitu warga terpapar corona di beberapa daerah di tanah air
justru menunjukkan kenaikan. Di Provinsi Jambi, meski terlihat bergerak lambat,
jumlah warga terpapar dan meninggal dunia akibat covid-19 bertambah.
Tetapi saya terus membujuk istri, dan tentu saja memberi
alasan padanya, yaitu selain karena anak-anak terhitung sejak Februari hingga
Juli tidak bermain di luar zona lorong kampung dimana kami tinggal sekarang,
juga saya berpikir pengunjung Candi tidak akan membludak sebagaimana sebelum
pagebluk Covid-19 melanda negeri ini, tak terkecuali provinsi Jambi. Demikian
saya meyakinkan istri, dan syukur diterima.
Perihal keperluan piknik ke kawasan
ini tidaklah ribet. Kami hanya membawa satu tas yang di dalamnya terdapat
penyanitasi tangan (hand sanitizer), makanan ringan, sebotol air mineral, tisu,
satu stel pakaian pengganti untuk Rendra, si bungsu, dan tentu saja tripod
(kaki tiga penopang kamera)-bekal bagi kami untuk mengabadikan momen piknik
keluarga kecil kami saat di lokasi wisata. Singkat cerita, protokol Covid-19
menjadi pegangan.
Kami pun berangkat menuju lokasi wisata menggunakan motor.
Hari tak lagi pagi, sehingga terik matahari mulai kerasa menggerayangi kulit
kami sepanjang jalan. Dari arah lorong Depati Setio, Jalan Sari Bakti, Kelurahan
Beliung, Kec. Alam Barajo sampai ke Tanggorajo, tepat di hadapan Rumah Dinas
Gubernur Jambi, suasana jalan terlihat normal. Jembatan Gentala Arasy pun masih
sepi dari pengunjung. Pasar Angso Duo tetap seperti biasa, bersetia memenuhi
kebutuhan logistik hari-hari warga Tanah Pilih Pusako Betuah Kota Jambi.
Sepanjang jalan masih ditemukan orang-orang dewasa maupun anak-anak tidak
menggunakan masker baik saat jalan kaki maupun berkendara. Ruko penjualan
alat-alat rumah tangga, Mal dan pusat belanja lainnya, Hotel, toko komputer,
laptop, dan HP, kesemuanya sudah buka seperti sediakala. Tidak terlihat sama
sekali korona masih mengancam kota berpenduduk lebih dari 3,5 juta jiwa ini.
Saya tidak bermaksud menciptakan kepanikan, tetapi mengajak bersikap waspada
dengan cara mengenali seluk beluk informasi seputar pencegahan Covid-19.
Barulah saat menuju arah Jembatan Batanghari II, kompoi kendaraan roda empat mulai ramai. Bahu
kanan-kiri jembatan sepanjang 1,3 km ini ramai oleh keberadaan penjual minuman
dingin seperti es tebu dan gorengan. Kami terus melanjutkan perjalanan.
Menikmati semilir angin, menghirup bau getah karet dari perusahaan di bibir
sungai Batanghari dan tak jauh dari jembatan, amuk debu, dan kondisi jalan
berlobang dan bergelombang di beberapa bagian menuju ke arah lokasi wisata
Percandian Muarajambi.
Pengunjung di Percandian Muarajambi (2/8) |
***
Prediksi saya jauh panggang dari api. Tak jauh
melewati pintu gerbang menuju kawasan utama kompleks Percandian, parkiran penuh
sesak oleh mobil maupun motor pengunjung. Pelaku usaha sewa tikar, becak motor,
sepeda dan souvenir Candi Muarojambi sibuk meladeni pengunjung.
Lagi, baik
anak-anak maupun orang dewasa tak sedikitpun menunjukkan kekhawatiran akan
virus yang sudah membunuh ratusan ribu warga planet bumi ini. Pedagang makanan dan
minuman ramai pembeli. Becak motor silih berganti membawa pengunjung. Sepeda
beragam ukuran dan merek berseliweran dari arah pintu masuk hingga sampai ke
jantung situs-situs Percandian. Semua menyembulkan kebahagiaan. Demikian
barangkali yang dicari para pengunjung setelah berbulan-bulan lamanya bertahan
di tengah pandemik tanpa kepastian.
Dilematis. Di satu sisi, para pelaku pariwisata
terdampak secara ekonomi karena Covid 19, seperti pelaku jasa sepeda, bentor,
pedagang souvenir, pedagang makanan dan minuman, dan guide, membutuhkan modal
agar bisa bertahan hidup, lebih-lebih sejak medio Maret 2020 kawasan Percandian
Muarajambi resmi ditutup oleh pemerintah, sesuai surat nomor 35492/A.A.5/HK/2020, tanggal 12 Maret 2020 perihal pencegahan terhadap
perkembangan dan penyebaran COVID-19.
Baik aktivitas wisata maupun agenda peribadatan, seperti perayaan hari
raya Waisak yang mendatangkan ribuan umat Budhis dan wisatawan lainnya,
ditiadakan. Sejak itu, aktivitas pelaku usaha yang menggantung sepenuhnya pada
kegiatan kepariwisataan di kawasan Percandian lumpuh.
"Tuh, kan Pa, ramai
nih,” protes istri . “Tak apa Ma, kita sudah sampai di sini. Yang penting kita
melakukan penjarakan fisik,” jawab saya. Motor saya parkirkan, dan langsung
menuju loket karcis. Kami berempat plus motor dikenakan biaya masuk Rp. 25.000.
Bagi Kaindra Gafna al Farisi, si sulung, kunjungan kali ini bukan yang pertama.
Ia kerap saya ajak ke sini bila ada kegiatan seni budaya atau saat mendampingi
penelitian.
Barulah bagi Agrata Rendra Raffasya, si bungsu, ini kali pertama
baginya menginjakkan kaki di kompleks yang memiliki reputasi internasional pada
abad 7 sampai 14 Masehi, sehingga melalui literatur sejarah pula, generasi
sekarang bisa mengenal tokoh besar seperti Atisha Dipamkara dari Tibet,
yang pernah tinggal menetap dan belajar
dengan Guru Besar Dharmakitri di Candi Muarojambi, Sumatera, selama 11 tahun
lamanya atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.
Baik Kaindra maupun Rendra, begitu keduanya kerap dipanggil,
menampakkan raut wajah cerita. Tak peduli apa yang dikhawatirkan orang tuanya.
Nah, dalam pada itu, saya melihat sendiri sebagian penjaga karcis tidak memakai
masker. Tak ada penjarakan fisik (Physical Distancing). Tidak ada cek suhu tubuh bagi setiap pengunjung yang masuk. Bahkan, tangki air bersih dan sabun untuk mencuci tangan bagi pengunjung yang
disediakan oleh pihak pengelola Percandian jarang digunakan. Saya juga tidak mendengar himbauan atau
peringatan dari petugas di sekitar parkiran atau pintu masuk ke arah Candi,
terutama melewati loket karcis, agar pengunjung
mentaati protokol Covid-19 selama di kawasan
Percandian Muarajambi.
***
Terakhir kali saya ke kawasan cagar budaya ini saat mendampingi kunjungan
Bupati Tulang Bawang Barat (Tubaba), Umar Ahmad, bersama tim penelitian dan OPD
pemerintah Tubaba untuk pendirian Museum Etnografi Sumatra (25/9/19), dan
sebelumnya membersamai kurator senirupa Asikin Hasan bertemu dengan teman-teman
komunitas seni seputaran wilayah Percandian Muarajambi untuk program
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yaitu Seniman Mengajar, pada 13 Agustus 2019.
Tidak ada perubahan yang signifikan sependek pengamatan saya
terhadap kompleks Percandian Muarajambi. Memang, dari segi disiplin, saya tidak
melihat pengunjung memanjat bangunan situs. Kalaupun ada itu dari sebagian
anak-anak terutama pada bangunan situs dengan posisi rendah. Di setiap situs
terdapat papan pemberitahuan Tata Tertib Pengunjung Cagar Budaya Muarajambi,
antara lain berisikan larangan memanjat, mencoret, memindahkan dan mencuri
benda-benda cagar budaya. Demikian juga juga beberapa situs yang sebelumnya
dipugar kini sudah selesai dan dapat dinikmati secara leluasa oleh pengunjung.
Hanya saja, yang cukup mengganggu pandangan mata, sampah masih bertebaran di
mana-mana.
Saya, istri dan anak-anak langsung menuju Candi Gumpung,
salah satu candi yang familiar selain candi Tinggi. Pengunjung silih berganti
mengabadikan momen piknik sekeluarga atau bersama sahabat karibnya. Tak jauh
dari situ, sekelompok muda-mudi, mungkin berpendidikan SMA, asyik berlatih
joged dengan disertai alunan musik remix yang lagi tren sekarang ini.
Di bawah pepohonan nan rindang, banyak pengunjung memilih
istirahat sembari menyantap makanan yang dibawa dari rumah mereka
masing-masing. Memang, keunikan percandian Muarjambi ini, dahulunya hingga
sekarang berada di tengah kebun milik rakyat, dan karena itu pohon seperti
durian dan duku mudah dijumpai. Begitu juga kayu-kayu berukuran besar, dan
tentu saja setua usia situs Candi, masih tegak kokoh dengan memberi keteduhan
bagi setiap pengunjung.
Rendra, si bungsu tampak antusias. Meski terik, inilah
momen dirinya bebas berlarian di tanah lapang berumput hijau. Sementara, si
Kaindra, si abang, lebih bertanya soal Candi dan topik-topik lainnya. Kami pun
memilih istirahat sejenak berteduh di bawah pohon duku, tak jauh dari Candi
Gumpung. Tak sampai 40 menit duduk santai, kami meneruskan langkah ke candi
Tinggi. Saya tak perlu menjelaskan detail perihal candi satu ini. Sila tanya
Mbah Google ya.
Sebagaimana kondisi di pintu masuk ke arah kompleks
Percandian, di dalam kawasan utama percandian sekitar Candi Gumpung, Candi
Tinggi, dan Telagorajo, jamak pengunjung abai menggunakan masker. Umumnya
masker hanya menggantung di leher. Meski kawasan ini luas, tapi tak ada
penjarakan fisik di antara rombongan sesama pengunjung. Saya juga tidak
menemukan fasilitas air bersih serta sabun
untuk mencuci tangan bagi pengunjung. Dalam situasi demikian, juga tak
terdengar himbauan atau pun peringatan dari petugas Badan Pelestarian Cagar
Budaya (BPCB) Provinsi Jambi agar pengunjung mematuhi protokol kesehatan selama
di kawasan Percandian.
Petugas Museum memberi arahan protokol kesehatan (2/8) |
Kalaupun ada himbauan dari petugas, saya saksikan langsung,
yakni saat kami memasuki Museum Percandian Muarajambi. Sebelum memasuki pusat informasi itu, kami
diminta waktu membaca sekaligus mendengarkan arahan dari petugas, yakni Bang
Asril, untuk mematuhi protokol kesehatan selama berkunjung. Kebetulan Bang
Asril ini kerap saya jumpai ketika berkunjung ke Percandian Muarajambi
sebelum-sebelum ini. Ia sehari-hari
bertugas di Museum ini. “Wah, banyak pengunjung hari ini,” tanya saya. “Iya.
Kian ke sini pengunjung mulai berdatangan setelah medio Maret ditutup
total. Alhamdulilah sejak dibuka pada pertengahan Juli hingga sekarang
pengunjung mulai berdatangan. Pelaku usaha pun mulai bergeliat. Hanya saja kepatuhan
warga maupun pengunjung terhadap protokol kesehatan masih rendah,” keluhnya.
Tak terasa hampir dua jam kami berada di kawasan Percandian
Muarajambi. Kami pun beranjak pulang. Perlahan-lahan Percandian Muarajambi
menjauh dari pandangan kami, setelah sebelumnya kami singgah sekira 30 menitan
di Candi Kedaton. Semoga korona segera berlalu, dan yang tak kalah penting
adalah pelaku usaha di kawasan Percandian Muarajambi bisa bertahan dan bangkit lagi.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik oase di portal kajanglako.com
2 Komentar
rencana nya dulu paa sat dibuka akan diterapkan protokoler kesehatan, di tes suhu, harus pakai masker, dan diatur biar ga begitu crowded. namun nampaknya blom berjalan. saya juga hari minggu kemarin tgl 2 agustus 2020 kunjungan k candi. melihat sperti apa yg dituliskan
BalasHapusTerima kasih sobat. semoga protokol kesehatan di tengah pandemik korona betul2 ditaati. tentu saja bagi pengelola kawasan percandian, selain memastikan ketersediaan alat-alat pendukung pencegahan covid, juga tiada henti mengingatkan pengunjung agar disiplin melaksanakan protokol covid
Hapus