alm. Andi Mirdah. Sumber foto: Penulis. |
Oleh: Jumardi Putra*
Senin, 3 Agustus 2020, sekira pukul 09.57 WIB, muncul kabar duka di aplikasi perpesanan WhatsApp saya perihal sahabat Andi Mirdah yang sehari-hari bekerja sebagai dosen akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Jambi. Pria kelahiran 30 Agustus 1970 itu menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya setelah berjuang melawan penyakit yang dideritanya beberapa bulan sebelum ini.
Sekalipun jelang kepergian bapak tiga anak ini, saya bersama Tenaga Ahli Banggar DPRD Provinsi Jambi sempat membesuknya saat dirawat di RSUD Raden Mattaher, sebelum dirinya dibawa ke RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut, rasa tidak percaya masih begitu kuat saat kali pertama menerima berita duka tersebut.
Barulah, ketika untuk kali terakhir saya melihat wajah almarhum dengan tubuh kakunya tadi malam di rumah duka, di antara para petakziah lainnya, saya menyadari Andi Mirdah betul-betul pergi untuk selamanya. Raut wajahnya menyerupai umumnya orang tidur pulas. Bukan raut wajah penuh beban. Allahuyarham.
Rasa kehilangan ini jelas bukan semata milik saya, sahabatnya. Istri dan tiga anaknya yang masih kecil jelas orang terdekat yang merasakan betul betapa tidak mudah menerima kepergian almarhum yang begitu cepat. Begitu juga keluarga mendiang dan para sejawatnya sesama akademisi di Universitas Jambi, khususnya di Fakultas Ekonomi. Namun usaha terbaik sudah dilakukan oleh pihak keluarga maupun atas bantuan dari teman-temannya. Singkatnya, optimisme manusia tetap berhadapan dengan ketetapan Tuhan.
Siapa Andi Mirdah bagi kita? Bila ukuran keakraban itu lamanya pertemanan, mungkin saya tidak layak mengklaim sebagai sahabat yang paling mengerti sosok lulusan magister program studi akuntansi Univeritas Brawijaya tahun 2008 ini. Praktis saya mengenal almarhum ketika bekerja sebagai tenaga ahli di DPRD Provinsi Jambi tahun 2013. Namun bila keakraban itu dipertemukan karena "nilai", bisa jadi itu yang membuat saya mengingatnya lebih dari sekadar teman seprofesi (untuk menyebut tidak sekadar sibuk dengan tugasnya masing-masing).
Saya sehari-hari bekerja di Komisi IV DPRD Provinsi Jambi Bidang Kesejahteraan Rakyat, sedangkan mendiang sebagai TA Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan selanjutnya menjadi tenaga ahli Badan Anggaran (Banggar) pada tahun 2018-2019, dan sampai beliau tutup usia masih berstatus sebagai tenaga ahli Fraksi Golkar yang dimulai Januari tahun 2020.
Dalam melakoni pekerjaan sebagai tenaga ahli itulah saya berinteraksi dengan almarhum. Beberapa kali saya dan dirinya sehotel bila menjalani tugas di luar kota baik itu dalam kerja Panitia Khusus (Pansus) maupun kegiatan pengayaan kafasitas sebagai tenaga ahli. Beberapa kali pula, di sela-sela pekerjaan, kami bersama-sama mencari buku di pusat perbukuan di Ibu Kota.
Masih segar dalam ingatan saya, sekira dalam rentang Februari hingga Maret tahun 2020, dalam sakitnya almarhum masih menjalani tugasnya sebagai TA Fraksi Golkar, seperti ia harus mengumpulkan usulan-usulan masyarakat di Provinsi Jambi yang disampaikan kepada Anggota DPRD Provinsi Jambi, sesuai Dapil, untuk kemudian disusun menjadi bagian dari Pokok-pokok Pikiran DPRD Provinsi Jambi untuk Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Tahun Anggaran 2021.
Sepersinggungan saya dengan almarhum, pria berdarah Bugis ini tipikal murah senyum, dan bicara seperlunya. Ia gemar berdiskusi, pantang disulut. Ketika diminta pandangan tentang suatu hal, lebih-lebih mengenai anggaran ia tak pelit berbagi pemikiran. Sekalipun akuntansi merupakan disiplin ilmu yang ia tekuni dimulai sejak kuliah jenjang S1 di program studi Akuntansi Universitas Hasanuddin, Makasar, tahun 1998, dan meraih gelar magister pada program studi yang sama di Universitas Brawijaya, Malang-Jawa timur, tahun 2008, ia tetap antusias mendengar sekaligus terlibat diskusi tentang topik di luar keahliannya.
Ia selalu memberi perhatian bila saya ajak membicarakan ekonomi provinsi Jambi dalam hubungannya dengan falsafah Melayu Jambi yang termaktub dalam Seloko-seloko. Saya masih ingat mendiang meminta saya mengumpulkan Seloko yang berkaitan dengan isu-isu seputar ekonomi. Saya tidak tahu apakah niat almarhum menulis soal itu terealisasi atau sebaliknya. Saya tak sempat konfirmasi. Keburu beliau jatuh sakit.
Bila merujuk laman web https://simpeg.unja.ac.id/ dapat kita ketahui sejumlah publikasi, penelitian, kegiatan dan pengabdian yang dilakukannya sepanjang menjalani profesi sebagai dosen di Universitas Jambi hingga dirinya dijemput sang Pencipta, Allah Azza Wajalla sehari lalu. Saya pikir tugas tri dharma perguruan tinggi telah ia lakukan, meski di saat bersamaan ia bekerja di lembaga lainnya, salah satunya sebagai tenaga ahli di DPRD Provinsi Jambi. Sesuatu yang patut diteladani dari almarhum karena tidak menjadikan satu pekerjaan dinilai lebih penting dari yang lainnya. Tugas tetaplah tugas. Tanggungjawablah yang mengikatnya.
Di luar soal itu, mungkin ini tergolong unik, saat kami bersama-sama ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, di Jl. Karet Pasar Baru Barat, Karet Tengsin, Tanahabang, Kota Jakarta Pusat. Jika tak silap peristiwa itu terjadi pada paroh tahun 2017. Kebiasaan menziarahi orang-orang terdahulu yang memiliki kontribusi semasa hidup kerap saya lakukan bila berkesempatan melakukan kegiatan di beberapa daerah di tanah air. Saat itu, entah mengapa ia ingin mengikuti saya menziarahi makam almarhumah Fatmawati, penjahit bendera pusaka sang saka Merah Putih yang sekaligus istri daripada Presiden Soekarno, Penyair Chairil Anwar, Budayawan Betawi, Benjamin Sueb, dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Di sela-sela itu, selain tentang tokoh-tokoh tersebut, pembicaraan kami menyinggung hal-hal berbau transenden. Dunia immaterial. Tentang kehidupan yang kelak akan kita jumpai.
Sepulang dari situ, dalam perjalanan almarhum meminta saya mengabadikannya di depan sebuah mobil bemo berlatar belakang baliho dengan fose dan kalimat bernas sang Bapak Republik, Tan Malaka, "Berpikir Besar kemudian Bertindak", sebagaimana foto di muka tulisan. Ia tersenyum. Saya juga ikut tersenyum.
Selanjutnya, pengalaman saya lainnya dengan almarhum, ketika saya diminta menjadi sebagai salah satu informan ahli untuk penelitian Indeks Kemerdekaaan Pers (IKP) di Jambi yang ditaja Lembaga Penelitian Universitas Jambi bekerjasama dengan Dewan Pers pada pada tahun 2017 dan 2018. Saya sempat bertanya kenapa menjadikan saya sebagai salah satu informan ahli? “Karena Pak Jumardi bisa menjelaskan kemerdekaan pers dalam kaitannya dengan isu-isu HAM, kelompok marginal, pangarusutamaan gender, dan isu-isu lainnya yang menjadi tolak ukur terwujudnya kemerdekaan pers di sebuah daerah ”.
“Baik, terima kasih atas kepercayaanya pak Andi. Semoga bisa ikut sumbang saran melalui kegiatan ini,” jawab saya. Dua kegiatan itu berjalan sukses, dan publikasi indeks kemerdekaan pers di Jambi dapat diketahui publik luas.
Demikian sekelumit kenangan saya selama mengenal almarhum. Tentu belum dapat menjelaskan sosok almarhum seutuhnya. Ketika salah seorang saudara kandung almarhum tadi malam memohon agar mendiang didoakan, segera saya katakan bahwa almarhum orang baik. Kebaikan tetaplah kebaikan. Pastilah Allah tidak akan mengubah kebaikan menjadi keburukan.
Saya pernah merasakan kehilangan orang yang saya cintai yakni bapak saya sendiri. Dengan begitu, rasa kehilangan yang mendalam sang istri, anak-anak, dan juga sanak-saudara daripada almarhum dapat saya pahami. Situasi demikian mengingatkan saya pada sebuah sajak Chairil Anwar berjudul “Nisan” yang ditulis pada Oktober tahun 1942, saat dirinya kehilangan neneknya yang amat dicintai, berbunyi: Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridlaanmu menerima segala tiba/Tak kutahu setinggi itu atas debu/dan duka maha tuan bertakhta. Pahit memang, tapi Tuhan sudah memutuskan.
Hari ini dengan tenang engkau pergi meninggalkan karut-marut dunia. Sementara saya masih harus berjibaku melalui karut-marut itu. Bisa berhasil atau sebaliknya, tetapi yang jelas, kematian adalah sebaik-baiknya nasihat. Selamat jalan, kawan!
*Selasa, 4 Agustus 2020.
0 Komentar