Buku Puisi Jumardi Putra |
Oleh: Prof. Suminto A. Sayuti*
Dari judulnya, Ziarah Batanghari, kumpulan ini sejak awal
mengisyaratkan sejumlah hal. Kecenderungan diglosif yang muncul dalam
puisi-puisi yang dihimpun dalam antologi ini (sehingga perlu ada Glosarium di
bagian akhir kumpulan) menunjukkan bahwa Jumardi sedang dalam proses memperadabkan
diri dan lingkungannya melalui puisi. Akan tetapi, proses itu tidak berhenti sebagai
sebuah proses yang membuat penyair tidak mampu berbalik arah.
Sebaliknya, penyair senantiasa berada dalam perjalanan bolak-balik
di antara dua kutub: diri-lingkungan, ruang lirik-ruang publik, tradisi-modern,
lokal translokal-global. Sebagai rumah pengalaman, bahasa puisi yang diglosif
tersebut tidak lagi berhenti pada fungsinya yang reproduktif, tetapi malahan
berfungsi produktif dan konstruktif: puisi-puisi Jumardi tidak hanya terbentuk
dan dibentuk oleh jagat pilihan yang dimasukinya. Implikasinya, secara
Ronggowarsitan, the act of will
Jumardi yang utama sebenarnya ingin mencapai situasi angayomi ing tyas wening,
weninging ati kang suwung, ning sayektine isi, melalui dan dalam puisi.
Karenanya, puisi Jumardi Putra jauh dari fatwa, petuah, atau
nasihat tentang suatu hal. Kalaupun masih dijumpai sejumlah puisi yang terasa
kental unsur “ajaran”-nya, hal itu dapat dimaknai bahwa kelemahan utama seorang
penyair, juga Jumardi, adalah kemampuan menjarakkan diri dari soal-soal semacam
itu.
Di titik ini pula, Jumardi musti harus ikhlas belajar kepada diri
sendiri berikut capaian-capaiannya selama ini. Posisi menjadi “perantara”
agaknya menjadi alternatif posisi yang layak diambil Jumardi. Artinya, kedirian
penyair bisa saja sepenuhnya difungsikan untuk memperantarai “puisi” dan
“puisi” pada tataran pertama, dan antara puisi dan pembaca pada tataran kedua,
tentang, misalnya saja, kearifan hidup yang dikapsulkan dalam sebentuk
keindahan kata. Tetapi, kalaupun penyair berada
dalam ketegangan antara pengedepanan kata-kata indah (sehingga kecenderungan
diglosif menjadi foregrounded) ataupun
pesannya, langsung atau tidak langsung, semuanya meniscayakan adanya pengukuhan
ikatan spiritual batiniah dengan serat-serta kehidupan yang membentuknya.
Tentu Jumardi berangkat dari alasan tertentu ketika menempatkan
realitas “keJambi-an” (sehingga bahasa yang penuh diglosia menjadi tak
terhindarkan), dengan menempatkan “Batanghari” (sebuah nama sungai sebagai
simbol utama dan pertama bagi “ke-Jambi-an” ala Jumardi) sebagai “matriks”
sentral dan utama yang kemudian diekspansi dan dikonversikan dalam konteks
keseluruhan puisi karyanya yang terhimpun dalam antologi ini.
Jika praduga ini benar, niscaya Jumardi telah menelusuri suatu
proses yang panjang dalam sebuah “Riwayat Pencarian,” hingga akhirnya ia
menemukan apa disebut sebagai “realitas puisi.” Ia menjadi sadar akan
kemampuannya untuk menangkap dan berpegang teguh pada realitas itu, ke-Jambi-an
itu: Batanghari, sebuah sungai yang melaluinya penyair menghilir menuju
sebidang Tanah Pilih yang perlu di-ziarah-i. Karena apa? Karena di sana ada
rentangan “masa lalu” yang terletak “di sudut kotak pandora,” yakni “Tanggal,
bulan, tahun, atau mungkin/abad-abad” yang telah “berlalu:” sebidang “Tanah
Sejarah,” betapapun ironisnya karena Di Bibir Sungai Tungkal: “keping-keping
silam berserakan.” Harapannya, dengan cara demikian ia berharap mampu membaca “peta”
yang menuju “ke arah sarang jiwa,” betapapun resiko yang harus diterimanya:
“lesu,” “yatim piatu,” dan didera “kesepian mahapanjang.” Posisi pilihan itulah
yang membuat penyair memaknai diri dan lingkungannya tidak dalam jerat
kepastian, tetapi kesadaran “menuju pulang” tetap dibangunkan: matriks pilihan
pun perlu diurai lebih jauh. Dan 65 biji puisi yang dihimpun mengisyaratkan hal
itu.
Dalam perjalanan “menuju pulang” itu, setelah melampaui “tiga
bukit, Sungai Au,” “jalan menikung ke Limbur Lubuk Mengkuang,” singgah pula “di
ketinggian Jerambah Muaratembesi” dan “di tepian Bukit Talanca,” ia pun merasa
menjadi “pejalan malam” yang memperoleh dan mencatat “notulen,” “catatan harian
yang basah,” yang di dalamnya terdapat berbagai kesan perziarah-an, yang bisa
saja sederhana, tetapi utama dan tetap eksistensial: untuk “menemui
bintang-bintang.”
Lokus-lokus geografis ke-Jambi-an dan yang di luarnya
mengisyaratkan ada upaya keras penyair untuk menggenggam realitas dan menyimpannya
dalam puisi. Terasa ada kedahagaan penyair yang berkehendak untuk meneguk
sari-pati realitas ke-Jambi-an, walau: “kampung ini tak menarik lagi.” Gambaran
di atas menunjukkan bahwa Ziarah Batanghari sejatinya merupakan tindakan
realisasi.
Jumardi cenderung menghubungkan substansialitas gagasan dengan
realitas yang dicarinya, menghindarkan diri dari kekaburan agar tujuan-tujuan
aktualisasi puitis dan karakter sejati puisinya tercapai. Realitas yang dicoba
digumulinya itu berasal dari “ingatan tentang sejarah/ dalam abad-abad jambi
yang lepas,” yang “tak pantas dilupakan.”
Dengan demikian, bagi Jumardi agaknya penciptaan jagat puitik
bukan merupakan pertarungan berbagai gagasan, melainkan sebuah perjuangan melawan
pengaburan banyak hal, dengan sarana bahasa pilihan, agar gagasan berikut
esensinya mewujud. Jadi, ketika muncul pertanyaan: “di Jambi, apalagi yang
kaucari,” yang bermakna “sudah tidak ada apa-apa,” secara esensial berarti di
sana “masih ada apa-apa,” yaitu Penyair (dengan P kapital), yang salah satu di antaranya
adalah Jumardi.
Seperti telah dipahami secara umum, puisi pertama-tama dan
terutama berkaitan dengan kesan-kesan inderawi yang jernih, tajam, dan lengkap.
Penyair harus mampu menulis dengan baik, agar pembaca seolah-olah bisa terlibat
suntuk dalam jagat puitik yang dihadapinya. Itulah pentingnya metafora, kiasan,
dan sejumlah ungkapan yang stilis, termasuk deskripsi panoramik, sebagai “kapsul-kapsul”
gagasan puitik.
Itulah sebabnya pada sisi lain, Ziarah Batanghari bisa saja
dipandang sebagai bukan sekedar produk dari sebuah sikap kontemplatif murni,
yang sekadar menerima segala sesuatu sebagaimana adanya, ataupun menghadirkan
sesuatu kepadanya dengan pasif. Sangat boleh jadi, Ziarah Batanghari merupakan sarana
penyair untuk menguasai “tanah pilih” dan “tanah sejarah,” baik dengan cinta
maupun kebencian, untuk menjaga agar “tak hilang Melayu Jambi.”
Dengan demikian, diam-diam sebenarnya Jumardi juga berpihak, dan
jauh dari sikap netral terhadap realitas yang mengepungnya, atau realitas, seperti
sudah dikemukakan di atas, yang dicari dan dihadirkannya. Puisi pun, dalam
kaitan ini, bisa menjadi sarana subsistensi, sebagai sebuah senjata perjuangan
budaya, dan sebagai sarana pelepasan perasaan obsesif.
Dalam konteks seperti disebut di atas, Ziarah Batanghari
menampilkan diri dengan berbagai keunikan sesuai dengan tempat dan waktu yang
menyituasikan penyair tatkala menciptakan. Keunikan dan kekhasan yang
diungkapkan sekaligus menunjukkan orisinalitas dan individualitas cara
berekspresi sang penyair sebagai kreator dalam rangka mencipta “sejarah” bagi
diri sendiri.
Kepada tempat dan waktu berikut aspek-aspek yang melekat di
dalamnya itulah Jumardi berhutang budi. Keberpihakan pun menjadi pilihan yang
tak terelakkan, yakni keberpihakan yang tidak memerlukan desubjektivikasi diri
karena semakin subjektif, partikular, dan khas karakteristik sebuah karya
puisi, semakin signifikan-lah karya itu secara sastrawi. Dengan begitu pula,
puisi pun menjadi sebuah legenda kehidupan. Mungkin begitu.
*Penulis adalah Guru Besar di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tulisan di atas merupakan kata pengantar untuk Buku Puisi Ziarah Batanghari karya Jumardi Putra (Ayyana, Yogyakarta: 2013).
0 Komentar