Ilustrasi. Kerusakan Hutan |
Oleh: Jumardi Putra*
Setelah saya membaca, menelaah dan akhirnya menentukan di antara puisi-pusi yang
mengikuti seleksi pada tanggal 23 Juni 2014, terdapat dua puisi yang layak
diikutsertakan pada tahapan pembinaan dalam rangka perhelatan Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) tahun 2014 yaitu puisi berjudul Bukankah Kita Begitu Rindu karya Puji Astuti (Universitas
Jambi) dan Menyibak Keperawanan Ranting dan Daun-daun karya Anggiri Penangsang
(Universitas Batanghari).
Berikut alasan pemilihan kedua puisi tersebut. Pertama, kedua puisi di atas mengingatkan saya pada sebuah diktum sastra tak pernah lahir dalam ruang
“kedap suara”. Secara sosiologis kelahiran karya di atas merupakan refleksi
sang kreator (Puji Astuti dan Anggiri Panangsang) yang senantiasa berada di antara dua kutub yaitu diri-lingkungan. Tepatnya
kondisi kerusakan hutan Indonesia,
merujuk releas Guiness Book of Record (2008) yaitu Indonesia is the world
champion in deforestation.
Kedua, puisi di atas menunjukkan usaha gigih sang kreator untuk membuat
perbedaan antara curahan hati dengan puisi. Apa sebab? Umumnya puisi-puisi yang
mengikuti seleksi gagal memaksimalkan seperangkat alat puisi, seperti simbol,
metafora, diksi, dan imajinasi yang sejatinya menjadi kekuatan puisi (poetic
power) itu sendiri. Ketiga, dengan seperangkat alat puisi, seperti simbol,
diksi, metafora, dan imajinasi, isu “deforestation” dalam dua puisi di atas tampil memesona dengan semua prasangka yang telah melahirkannya tanpa
kehilangan daya gugah dan tidak jatuh sebagai fatwa.
Selanjutnya, meski tidak begitu meledak-ledak, makna penderitaan ragawi dan
konflik jiwani tampil tanpa terjerat sumpah serapah sekaligus putus asa. Dengan kata lain, metafora yang
digunakan oleh kedua kreator di atas membuka kesempatan tercipta banyak makna.
Di situlah puisi acapkali dikatakan berhasil. Namun, di atas itu semua, tentu
masih terbuka kesempatan bagi kedua kreator di atas untuk mempertajam sudut
pandang serta mengolah tema, bentuk, dan gaya.
Sudut pandang yang saya maksud adalah pemaknaan kerusakan hutan
masih berkisar dalam konteks relasi domestik (individu-individu masyarakat).
Padahal kerusakan hutan erat kaitannya dengan situasi mutakhir lokal-global
serta ketimpangan ekonomi akibat ganasnya pertempuran antar korporasi besar,
rengkuhan monopoli dan oligopoli serta penguasa yang korup. Sudut pandang
semacam itu, menurut hemat saya akan membantu sang kreator sampai pada
kualitas pemaknaan yang unggul, tajam serta relevan dengan semangat zaman
(zeitgeist).
Kemudian kedua penulis perlu mengindari pengulangan kata-kata yang tidak perlu. Dengan kata
lain, pemadatan sebuah keniscayaan, terlebih pada puisi bergaya lirik-naratif
dan prosaik. Di samping itu, sebagaimana yang saya yakini karya puisi dinilai
berhasil umumnya melalui sebuah tradisi yang disebut pengendapan. Sebuah titik
orientasi yang memandu perjalanan sang penyair (dengan seperangkat alat puitik)
hingga membuahkan puisi dan berhasil menemani pembaca untuk menyauk pelbagai makna dari puisi yang diciptakannya. Ringkasnya, sebuah usaha untuk menghindari
dari puisi beraroma “gelap”.
Masih terbuka kesempatan bagi kedua kreator di atas untuk mempertajam sekaligus mendalami cara menukangi puisi. Dan saya kira, di situlah maqam penyair DR. Sudaryono (Dimas Arika Mihardja) untuk mengolah potensi kedua kreator tersebut sebelum berkayuh menuju Palangkaraya, Ibu Kota Kalimantan Tengah. Hanya itu yang dapat saya ketengahkan dalam catatan singkat ini. Terima kasih.
*Tulisan ini saya buat setelah menjadi dewan juri seleksi karya puisi untuk mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) tahun 2014.
0 Komentar