Pasar Buku Palasari |
Lesu. Tidak seperti galibnya. Aroma kertas tak kuasa menuntun para pemburu buku-buku langka menghampiri pasar Palasari. Bahkan beberapa gerai terpaksa tutup. Suasana sepi di pasar buku yang berdiri sejak 1980a-an ini berlangsung selama pagebluk korona melanda kota Bandung, lebih-lebih sedari Maret hingga Agustus. Omset para pedagang menurun tajam. Ancaman gulung tikar nyata adanya. Korona merubah potret Palasari yang sebelumnya ramai oleh pengunjung, kini seolah pesonanya pudar direnggut sepi.
Memasuki bulan September para pedagang mulai bergiat lagi, meski pengunjung masih hitungan jari. Umumnya berusaha menggalakkan jalur niaga online. Sekalipun tidak mudah, para pedagang tidak menyerah kalah pada keadaan. “Hidup mesti berlanjut. Buku-buku mesti menemui pecintanya,” begitu kelakar para pedagang dan saya mengangguk setuju.
Kali terakhir saya ke pasar buku di Jalan Palasari, Pasar Lodaya ini medio tahun lalu. Kunjungan kali ini jelas berbeda lantaran dalam suasana wabah korona yang tak kunjung berakhir. Saya dan pengunjung lainnya harus betul-betul memastikan mematuhi protokol Covid-19.
“Disebut sebagai apa pasar buku Palasari?”
Bagi saya, pasar Palasari lebih dari sekadar tempat berkumpul para pedagang buku. Palasari menjadi titik-temu bagi sesiapa saja yang meyakini ilmu pengetahuan adalah pemandu kesadaran untuk menemukan titik orientasi.
Masih segar dalam ingatan, bila bepergian ke Kota yang oleh fenomenolog cum psikolog kelahiran Belanda, M.A.W. Brouwer, disebut “Bandung diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum” ini saya selalu menyempatkan ke pasar buku Palasari. Sebenarnya, pasar buku di Kota Bandung tidak hanya di Jalan Palasari, tetapi juga ada di Jalan Dewi Sartika Putri dan di Jalan Cikupundung Timur, dekat Museum Asia Afrika Bandung. Bahkan pasar buku Cikupundung jauh lebih tua dibanding Palasari karena telah berdiri sejak tahun 1960-an.
Berburu buku ke Palasari masuk akal karena selain pengunjung dimanjakan oleh beragam pilihan jenis maupun judul buku, juga karena harganya miring bila dibandingkan toko-toko buku umum di pusat kota. Buku-buku jadul juga melimpah di sini. Alasan lain tentu tidak semua buku-buku bermutu tersedia di toko buku umum, tidak terkecuali di kota Jambi, tempat saya tinggal dan bekerja sekarang ini.
Empat hari di kota berjuluk Paris van Java, di sela kegiatan resmi, saya berkunjung ke toko buku Togamas di jalan Supratman dan Gramedia di jalan Merdeka. Saya merasa tidak asing dengan Togamas, karena selama kuliah di Yogyakarta, Togamas menjadi salah satu tokoh buku favorit saya, karena di samping menjual buku-buku bermutu, juga karena harganya ramah untuk kantong mahasiswa. Di Togamas di kota hujan ini saya membeli buku Joss Wibisono berjudul Maksud Politik Jahat, Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa (Tandabaca, 2020), Aleppo: Memoar Pendek tentang Hidup yang Panjang karya Rusdi Mathari (Mojok, 2020), Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru karya Ian Douglas Wilson (Marjin Kiri, 2019), Linking People: Pertalian dan Interaksi Orang Australia dan Orang Indonesia (KPG, 2017), dan Pendidikan yang Berkebudayaan karya Yudi Latif (GM, 2020). Buku-buku tersebut tidak dijual di toko-toko buku di Kota Jambi.
Penulis di Pasar Buku Palasari (11/10/20) |
Sehari kemudian saya mengunjungi Gramedia di Jalan Merdeka. Nyatanya sedang berlangsung “tawuran diskon” buku. Ibarat bertemu harta karun, saya dengan riang gembira mengais bongkahan buku-buku. Kudapati buku kumpulan puisi Aan Mansyur berjudul Cinta yang Marah (GM, 2017); Kitab Para Pencibir karya Triyanto Triwikromo, Belajar Lucu dengan Serius karya Hasta Indriyana (GM, 2017); Penyair Revolusioner karya Deddy Arsya (Grasindo, 2017); Perjalanan 53 Cinta karya Yudistira AN Massardi (KPG, 2017); Telling Islam to the Word; kisah perjalanan dakwah Imam Shamsi Ali di Amerika Serikat (Quanita, 2014), dan Kisah Hidup Quenny Chang: Anak Tjong A Fie, Orang Terkaya di Medan (2016).
Jujur, saya betah berlama-lama bila di pasar buku Palasari, pasar buku Dewi Sartika maupun di Cikupundung. Selain membeli buku-buku yang diperlukan, saya bisa bercakap-cakap dengan pedagang buku, mereka yang tanpa lelah, meskipun kadang-kadang jatuh-bangun karena memilih hidup dari penghasilan menjual buku. Faktanya kita tahu, buku bukanlah prioritas belanja warga di Indonesia, lebih-lebih dalam kondisi wabah korona sekarang ini.
Di tengah ketidakpastian penghasilan akibat korona, dalam obrolan saya bersama pedagang buku di Palasari, kutemukan fakta yang membahagiakan yaitu menjual buku juga mendidik mereka mencintai buku itu sendiri. Para pedagang buku menjadi tahu penulis-penulis hebat yang dimiliki bangsa ini, sekalipun mereka umumnya sudah meninggal dunia, apalagi penulis tenar yang masih hidup. Para pedagang buku menjadi tahu bisa karena mencari tahu sendiri, tetapi juga lantaran kebutuhan konsumen. Nama-nama penulis dari berbagai genre yang umumnya diketahui pedagang yang saya jumpai di Palasari, untuk menyebut contoh, seperti Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, Kuntowijyo, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Soedjatmoko, Benedict Anderson, Dennys Lomard, Sartono Kartodirjo, Onghok Ham, WS Rendra, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, Nurcholis Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Goenawan Mohammad, Ahmad Syafii Maarif, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), Emha Ainun Najib (Cak Nun), Andrea Hirata, Habiburrahman el Syirazi, dan A. Fuadi.
Dalam pada itu, meski tidak banyak, di Palasari saya masih menemukan individu-individu yang memilih mencintai buku dan gemar mengunjungi pasar Palasari. Mereka tidak hanya membeli buku, tapi juga menjaga hubungan baik dengan para pedagang buku. Mereka berbagi informasi sekaligus saling menguatkan diri betapa menempuh jalan di dunia buku penuh onak duri.
Suasana pasar buku Palasari (11/10/20) |
Pada orang-orang tangguh demikian itu, saya teringat pada ucapan
sastrawan Helvy Tiana Rosa, “Untuk bisa membaca banyak buku diperlukan dua hal
dimana uang dan waktu tidak termasuk di antaranya. Dua hal tersebut adalah
gairah dan kerendahan hati bahwa kita banyak tak tahu.”
Demikian. Lain Palasari di kota berjuluk Paris van Java, lain pula Pasar Kenari di bekas kota Batavia. Tetapi keduanya adalah ‘surga buku’ yang menyimpan cerita menarik dalam sejarah panjangnya. Apa itu? Nantikan catatan lanjutan saya di sini ya…
*Kota Bandung, 12 November 2020.
0 Komentar