Iman Budhi Santosa (1984-2020) |
Oleh: Jumardi Putra*
Kabar berpulang Romo Iman Budhi Santosa (IBS) pada
Kamis, 10 Desember 2020 membuat saya kaget, kalau bukan menaruh rasa tidak
percaya. Terlebih sebelumnya saya mendapat informasi buku terbarunya yang berjudul Seni Mencipta Puisi: Menyingkap
Rahasia dan Teknik Penciptaan Puisi dari Sang Maestro (Circa, Desember 2020) mulai
beredar. Benar saja, berita kepergian pria berusia 72 tahun ini saya ketahui
pertama kali melalui rekan sesama sastrawan yang akrab dengan beliau. Meski
terpisah oleh jarak, melalui kanal youtube saya menyaksikan
jenazah mendiang Romo Iman dibawa dari rumah duka ke peristirahatan terakhirnya
di Taman Makam Seniman Giri Sapto, Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Terakhir kali komunikasi antara kami berlangsung
pada 2 Oktober 2020. Itu pun hanya berbalas komentar di facebook,
saat saya mengunggah foto kenangan tujuh tahun yang lalu (2013) saat bedah buku
puisi saya berjudul Ziarah Batanghari dimana almarhum
menjadi narasumber bersama Prof. Suminto A. Sayuti dan esais Hairus Salim di pendopo
Yayasan LKiS.
Galibnya, pria kelahiran Magetan, 28 Maret 1948
ini berkabar kepada saya perihal undangan kepenulisan melalui surel dan tak
jarang menanyakan kapan buku baru saya terbit. Pertanyaan tersebut, selain
sebagai cambuk penyemangat, juga saya anggap sebagai doa, agar saya konsisten
di jalan kepenulisan.
Kepergian Romo Iman jelas kehilangan bagi publik
sastra tanah air, lebih-lebih Yogyakarta, tempat Iman bertumbuh sebagai
penyair. Mungkin pelabelan sebagai penyair hanya kategori sosial semata, karena
kiprah dan kontribusinya di lapangan kebudayaan justru melebihi lingkup
ketagorial demikian itu.
Sosoknya melekat bersama komunitas sastra di Malioboro
yaitu Persada Studi Klub (PSK) akhir tahun 1960an bersama Umbu Wulang Landu
Paranggi. Dari komunitas ini kita mengenal penulis masyhur generasi 1980-an,
untuk menyebut contoh, seperti Linus Suryadi AG, Imam Budhi Santosa, Emha Ainun
Najib atau biasa disapa Cak Nun, Mustofa W Hasyim, Ragil Suwarna Pragolapati,
juga Korrie Layun Rampan. Nama-nama tersebut tidak saja mewarnai lembar sastra
Yogyakarta, tapi juga menembus arena nasional.
Eksponen PSK ini boleh dikata adalah guru, kalau
bukan dermawan ilmu. Romo Iman bergaul dengan sesiapa saja tanpa sekat usia, profesi
maupun komunitas. Ia dengan penuh kesadaran memilih hidup di jalan sunyi, yaitu
menulis dan membagikan pengetahuannya kepada publik. Ia menghembus nafas
terakhir kali di kosnya di Dipowinatan, Kota Yogyakarta, genah lahir
karya-karyanya yang bermutu sekaligus menjadi tempat anak-anak muda yang ingin
belajar sekaligus berbagi pengetahuan dan pengalaman dengannya. Anak-anak muda
itu, tak terkecuali saya, sebagai rasa hormat, memanggil Iman Budhi Santosa
dengan Romo Iman.
Meskipun sudah uzur, ia masih tekun menulis,
mengendarai motor butut memenuhi pelbagai undangan seminar dan pelatihan,
berdiskusi tak kenal waktu, dan bahkan memilih tinggal di kos yang tentu saja
ukurannya jauh dari representatif, dan itu dipenuhi buku-buku pula. Sungguh
pilihan yang demikian itu tidak mudah kita jumpai pada orang-orang sekarang
ini.
Teringat oleh saya, suatu malam pada tahun 2007,
di kediaman penyair Bustan Basir Maras, bersama beberapa rekan mahasiswa
pascasarjana antropologi UGM, dengan disertai kopi dan kepulan asap rokok yang
tak henti-henti, betapa usia senja Romo Iman tak lantas membuat semangatnya
kendor berdiskusi sampai dini hari. Ketika itu saya mendengar dari dekat,
melalui gawai di tangannya, kepada temannya itu ia berseloroh dengan disertai
tertawa kecil, “Saya ingin bertanggungjawab terhadap generasi muda yang ingin
“gila” seperti saya.” Tentu saja gila di sini melampaui makna harfiahnya atau
bukan dalam pengertian medis maupun psikologis yang kita akrabi. Kegilaan
dengan tanda kutip itu lebih dimaksudkan usaha sungguh-sungguh dan merdeka
membicarakan, mencermati sekaligus memaknai pelbagai peristiwa dan fenomena
untuk menemukan celah kemungkinan-kemungkinan solusi atas persoalan kehidupan
yang kompleks. Cara demikian itu, mungkin saja dalam pandangan kaum kebanyakan,
tak lain dari buang-buang waktu dalam kehidupan yang serba tunggang-langgang
seperti sekarang.
Dalam masa itu, meski tergolong terlambat untuk
saya yang sudah mukim di Yogykarta sejak tahun 2004, bersama Komunitas Gubuk
Indonesia, saya berkesempatan mengenal beliau secara dekat, dan tentu saja
menimba ilmu darinya. Hubungan antara kami terus terjalin hingga saya tinggal
dan bekerja di Kota Jambi lepas menamatkan pendidikan sarjana strata satu di
UIN Sunan Kalijaga tahun 2009.
Bila bepergian ke Yogyakarta saya berusaha
menyambangi kediamannya. Terakhir kali perjumpaan kami usai saya mengikuti
Borobudur Writers and Cultural Festival tahun 2018. Berkunjung ke tempatnya
saya ibaratkan mencari oase. Dan benar, selalu saja muncul
percikan pikiran-pikiran jernih darinya tentang hidup dan kehidupan.
Kemampuannya mendewasakan makna simbol-simbol kebudayaan tak lain menunjukkan
kafasitasnya sebagai budayawan.
Di luar pada itu, yang khas dari Romo Iman adalah
kemampuannya memberikan penjelasan dengan disertai ilustrasi terhadap perkara
berat yang sedianya mengernyitkan dahi menjadikannya lebih sederhana untuk
dipahami tanpa kehilangan kedalaman analisa dan kemampuan reflektif, terutama
yang bersumber pada khasanah Jawa dan Nusantara.
Romo Iman tidak hanya menulis puisi. Ia juga
menulis buku, cerpen, novel, geguritan Jawa, dan artikel atau makalah-makalah
untuk berbagai seminar dan pelatihan. Tuan dan Puan bisa berselancar di
internat mencari tahu keseluruhan karya tulis Romo Iman semasa hidup.
Selain tentu saja buku-buku puisi, buku yang
berkesan buat saya adalah Profesi Wong Cilik: Spiritualisme Pekerjaan-Pekerjaan
Tradisional (BasaBasi, November 2017). Meski mengangkat berbagai mata
pencaharian wong cilik dari hari ke hari, tanpa dibumbui diksi-diksi yang
mendayu-dayu maupun alur cerita yang rumit, ini buku penting dibaca karena
menganggit dunia batin orang Jawa sehubungan dengan pekerjaannya, untuk
menyebut contoh seperti dukun bayi, pemetik teh, pemanjat kelapa, juru kunci,
tukang becak, penggali sumur, pandai besi, jagal sapi, dan bakul jamu.
Romo Iman berusaha memotret dari dekat
bagaimana wong cilik memaknai hidup di tengah daya dera yang
menggilas. Apatahlagi beragam profesi demikian itu tertindih oleh kehadiran
fenomena sosial, politik, ekonomi, hukum, kesehatan, dan pendidikan yang
dinilai lebih penting dan terus menggejala silih berganti mengisi panggung
informasi mainstream Tanah Air kita.
Dari buku itu pula, saya pribadi mendapati
penggalan riwayat kehidupan Romo Iman sebagai pekerja di sebuah kebun teh
Medini, yang berlokasi di barat laut Gunung Ungaran, masuk Desa Ngresep Balong,
Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, tahun 1971. Masih segar dalam ingatan,
laiknya buku dongeng, kisah di dalam buku Profesi Wong Cilik itu saya bacakan
dengan suara lantang kepada istri dan anak-anak di rumah.
Di lain kesempatan, sebagai awam dalam jagad
sastra, terutama puisi, suatu kehormatan saat penganugerahan Komunitas Sastra
Indonesia (KSI) Award pada 23-25 Maret 2012 di Bogor, saya sepanggung bersama
Romo Iman Budhi Santosa dan penyair lainnya. Ketika itu puisi Romo Iman
berjudul Ziarah Tembuni yang kelak menjadi judul Antologi Puisi “Narasi
Tembuni” (KSI Award dan Djarum Bakti Foundation, 2012) didapuk sebagai puisi
terbaik. Sementara puisi saya (Aku, Kembarbatu, dan Telago Rajo) bersama empat
karya penyair kenamaan lainnya, yaitu Hasta Indrayana (Di Tepi Benteng Somba
Opu, Anwar Putra Bayu (Ritus Pisau), dan Dimas Arika Miharja (Dari Utsmani ke
Tsunami), mendapatkan penghargaan sebagai puisi unggulan.
Bagaimana dengan Puisi-puisi Romo Iman? Saya tidak
punya kafasitas membedah puisi-puisi Romo Iman, tetapi sependek pembacaan dan
persingungan saya bersamanya, yaitu nampak jelas caranya yang tak biasa dalam
memperkenalkan puisi. Bukan lewat teori dan standar baku sebagaimana dipelajari
di kelas sekolah dan ruang kuliah, melainkan dirinya memperkenalkan sastra
sebagai kesatuan dengan kehidupan. Ia mengajari orang menulis melalui pengalaman,
sebagaimana ia berhasil menganggit dunia batin Jawa dan khazanah Nusantara ke
dalam medium puisi setelah melalui serangkaian keterlibatan. Bukan rekaan dan
imajinasi kosong belaka.
Pada puisi-puisi Romo Iman saya tidak menemukan
usahanya ingin menampak-nampakkan kepiawaian meracik diksi yang rumit (untuk
menyebut sajak gelap), melainkan diksi sederhana penuh keindahan sekaligus
terjaga yang ia pungut berbekal kemampuan teknik puitik dan disertai
penguasaannya terhadap sumber pengetahuan tertentu sehingga berhasil menyusuri
lapisan-lapisan realitas, dan menjadikannya sebagai puisi yang elok dan terang
benderang, sebagaimana kasadaran akan hal demikian dapat kita jumpai pada
puisinya berikut ini:
Maka, Aku tak akan memainkan gelap terang
Dalam puisi dan membuatmu tercengang
Aku hanya akan mendendangkan tembang
Ketika lebah kumbang datang pergi
Menghisap madu dengan tenang.
(IBS, Lekuk-Liku Perlambang dalam Ziarah Tanah
Jawa, Intan Cendekia, 2013).
Di samping itu, pada puisi-puisinya dalam buku
berjudul Ziarah Tanah Jawa dan Suta Nayu Dhapdhap Waru,
masing-masing kita diperkenalkan, kalau bukan diajak mengakrabi (lagi)
diksi-diksi yang berakar kuat pada khasanah Jawa dan Nusantara. Kerja Romo Iman
tersebut, setakat mengkounter globalisasi yang masif sehingga relevan bagi generasi
sekarang yang tercerabut dari akar kebudayaan dimana mereka bertumbuh.
Selamat jalan Romo Iman Budhi Santosa. Terima
kasih atas ilmu dan teladannya.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik sosok portal kajanglako.com
0 Komentar