Gempa |
Oleh: Jumardi Putra*
Belum genap bulan Januari 2021 kita lewati, mendapat kabar banyak saudara setanah air meninggal
dunia maupun luka-luka karena bencana alam menjadi sesuatu yang sering kita
alami, dan malapetaka lainnya masih terus menghantui.
Di saat
pandemi Covid-19 belum berakhir, ribuan warga di Sulawesi Barat harus melewati
hari-hari penuh trauma pasca diguncang gempa berkekuatan magnitudo 6,2. Begitu
juga banjir besar yang melanda 10 kabupaten/kota di provinsi Kalimantan
Selatan. Infrastruktur fisik yang memudahkan proses distribusi bantuan porak-poranda.
Ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan rela mengungsi sampai waktu yang
belum ditentukan. Mesin birokrasi tidak bisa bekerja cepat menanggulangi.
Berselang
hari sebelumnya publik dikejutkan peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182
tujuan Jakarta-Pontianak di perairan Kepulauan Seribu. Pilot dan awak kabin
serta seluruh penumpang meninggal dunia. Jagad penerbangan dirundung mendung
tebal. Doa dan ucapan belasungkawa datang dari segala penjuru mata angin.
Di layar kaca
kita menyaksikan kesedihan yang begitu mendalam dari pihak keluarga korban. Di
linimaya kita membaca penggalan-penggalan kisah inspiratif para korban semasa
hidup bersama orang-orang terdekatnya. Sebuah tragedi yang mungkin tidak
dikehendaki sesiapa saja. Tetapi di hadapan ketetapan Tuhan kita tidak bisa
berbuat di luar batas kemampuan sebagai manusia, kecuali berserah diri sembari memohon
pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Penyayang untuk mereka semua.
Kita sebut
sebagai apa peristiwa memilukan ini? Pelajaran apa yang dapat kita petik
terhadap musibah yang sejatinya berulang kali ini? Kritik perlu kita sampaikan
kepada pihak/lembaga yang memiliki otoritas yang mengurusi untuk
meminimalisirnya. Cukuplah peristiwa mencekam ini untuk yang terakhir kalinya.
Dunia
penerbangan bukan keahlian saya, karena itu saya tak akan menyinggungnya,
kecuali menaruh harapan besar kepada pemerintah dan pihak terkait terutama
kementerian perhubungan serta otoritas bandara untuk memastikan kelayakan pesawat
sebelum terbang dengan menempatkan keselamatan penumpang sebagai tolak ukur
utama. Masih segar ingatan kita tentang hilang maupun jatuhnya pesawat di
lintasan udara selama ini. Dunia mencatat potret buram tersebut. Meski pahit,
publik tanah air juga akan selalu mengenangnya.
Merujuk citra satelit NASA, Februari 2019, kita dibuat tercengang, kalau bukan terkejut, yaitu luas hutan Indonesia menyusut 23% dalam kurun 25 tahun (1990-2015). Sementara pada kurun yang sama, China, India, dan beberapa negara tetangga seperti Vietnam, Filipina dan Laos menghijaukan kembali kawasan mereka.
Deforestasi dengan
akibat terburuknya, sebagaimana jamak bencana alam terjadi di daerah-daerah di
tanah air, selain disebabkan oleh eksploitasi alam secara berlebihan oleh
perusahaan-perusahaan besar, juga bersamaan dengan tindakan-tindakan oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab menjarah kekayaan hutan.
Sedari tahun 1970an,
saat hutan tidak lagi semata urusan alam dan lingkungan, tapi juga menjadi
urusan ekonomi, politik dan bisnis global, maka alam berada dalam keterancaman.
Alih fungsi lahan terjadi secara besar-besaran, kebijakan ekstraktif negara
yang berkolaborasi dengan kelompok pemodal (investor), apatahlagi dengan
mengatasnamakan menggenjot pertumbuhan ekonomi
(ingat peristiwa Malari, 15 Januari 1974), konflik antara negara dan
warga masyarakat yang berujung pada hilangnya hak pengelolaan atas tanah serta
tercerabutnya pengetahuan lokal, makin membuat malapetaka ekonomi, sosial dan
politik menghantui kita sampai sekarang. Singkatnya, “fundamentalisme ekologi”
yang mengakar kuat dalam kearifan tradisional selama beratus tahun telah
digantikan dengan modernitas (sebagai agama dan spiritualitas baru), yang
justru membuat hutan yang rimbun, hijau, dan riak air yang mengalirkan cahaya
jatuh sebagai peristiwa ekonometrik belaka.
Menurut A.
Sonny Keraf (Etika Lingkungan Hidup, Kompas, 2010), yang merujuk dua pemikir
bidang etika lingkungan, yaitu Arne Naess melalui bukunya, Ecology, Community
and Lifestyle (1993), dan karya Joseph R. Des Jardins, Environmental Ethics: An
Introduction to Environmental Philosophy (1993), paling tidak, ada dua jawaban
yang dapat diketengahkan di sini.
Pertama,
desakralisasi alam akibat invasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Desakralisasi
alam terjadi melalui perubahan makna ruang (space). Ruang yang sakral (semesta
alam), pusat segala makna dan kehidupan, sumber ekologis dari keberlangsungan
hidup, perlahan-lahan diubah menjadi sekedar tempat (site), lokasi dalam
pengertian Cartesian.
Paradigma
ilmu pengetahuan modern yang mekanistik-reduksionistis itu telah menjauhkan
manusia dari alam, sekaligus menyebabkan sikap eksploitatif dan tidak peduli
terhadap alam. Kalaupun pemanfaatan hasil pengetahuan mendapat perhatian,yang
sangat dipentingkan oleh ilmu pengetahuan modern adalah nilai instrumentalnya,
yang dikaitkan dengan kegunaan ekonomis, material dan kuantitatif. Sementara
nilai dan kegunaan moral, spiritual, kultural, ekologis, estetis, dan sosial
tidak mendapat tempat.
Kedua, alam
tidak lagi bernilai sakral, tetapi bernilai ekonomis sangat tinggi. Seturut hal
itu, modernisasi menawarkan pola hidup baru yang bertentangan secara diametral
dengan pola hidup masyarakat tradisional. Tak heran bila hidup selaras dengan
alam dalam kesederhanaan alam dikutuk sebagai keterbelakangan yang harus
ditinggalkan (hal.374-375).
Investasi
Memasuki
periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, publik makin familiar dengan
istilah investasi asing. Sebuah usaha pemerintah untuk mendatangkan modal segar
dari luar negeri untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dalam negeri dengan
harapan terbukanya lapangan pekerjaan baru, bertambahnya jumlah angkatan kerja
produktif, dan transfer pengetahuan dan manajemen, serta terwujudnya
infrastruktur secara besar-besaran yang membuka jalur distribusi sekaligus
memutus matarantai keterisolasian antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.Pengesahan
omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja
oleh DPR RI pada Oktober 2019 yang sempat mendapat penolakan besar-besaran dari
berbagai elemen masyarakat, dapat dipastikan adalah bagian dari kebijakan
Jokowi untuk memudahkan masuknya arus modal asing ke dalam negeri.
Investasi asing
hal lumrah, sebagaimana terjadi di banyak negara di planet bumi ini. Apatahlagi
dalam era tanpa sekat sekarang ini, sehingga tindakan mengisolasikan diri jelas
bukan pilihan kebijakan yang tepat. Tetapi, bahwa investasi asing kerapkali
mendatangkan problem baru yang membawa efek buruk bagi kemandirian sebuah negara,
juga bukan pepesan kosong. Sistem pertanian nasional ambruk, kita tak beranjak
jauh dalam bidang manufaktur. Obsesi bahwa investasi asing akan menularkan
kemampuan teknologi dan manajemen hanya tinggal janji. Ketergantungan pada
impor masih terus berlanjut hingga sekarang, bahkan dalam soal kebutuhan dasar
seperti pangan, obat, dan vaksin.
Studi yang
dilakukan Dierk Herzer, asisten profesor ekonomi di Universitas Goethe,
Frankfurt, mengungkapkan bahwa investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI)
banyak mendatangkan efek buruk ketimbang manfaatnya, terutama bagi Indonesia
yang kurang prasyarat untuk bisa memanfaatkan investasi demi tujuan pertumbuhan
secara fundamental, sebagaimana kerap digembor-gemborkan para elit politik dan
kaum pemodal dalam banyak kesempatan. Di samping kekayaan sumber daya alam yang
melimpah, tidak sedikit investor asing tergiur memasukkan modal dalam jumlah
besar ke negeri ini semata sebagai pasar, mengingat jumlah penduduknya yang
besar. Sementara sumberdaya manusia kita tergolong lemah, bahkan tertinggal dibanding
Vietnam. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia untuk 2018 adalah 0,707 - yang
menempatkan negara ini di peringkat 111 dari 189 negara dan wilayah.
Selain bencana
alam yang terus terjadi dan pagebluk korona yang merusak sistem kesehatan dan
ekonomi nasional kita sedari Februari 2020 hingga mengawali tahun 2021 ini,
dapat dimaknai suatu tempaan keras bagi pemantapan masa depan, seperti
dikatakan Albert Schweitzer, pemenang Nobel perdamaian1952, yaitu perlunya sikap
hormat sedalam-dalamnya terhadap kehidupan (reverence for life). Dalam pada
itu, haluan negara yang semata mementingkan aspek ekonomi, perlu kita ingatkan
agar tetap tegak lurus mewujudkan cita-cita nasional, yaitu merdeka, bersatu, adil
dan makmur dengan tanpa menggadaikan sumber daya alam. Apa sebab? kita bisa
membayangkan Bumi macam apa yang akan ditinggalkan kepada anak cucu kita nanti?
*Tulisan ini
terbit pertama kali di portal jamberita.com pada tanggal 19 Januari 2021.
Referensi:
https://www.politico.eu/article/the-fdi-mantra-is-based-on-an-economic-myth/
- https://www.id.undp.org/content/indonesia/id/home1/presscenter/pressreleases/2019/Indonesia-masuk-ke-dalam-kelompok-kategori-pembangunan-manusia-tinggi.html
0 Komentar