Dimas Arika Mihardja. |
Oleh: Jumardi Putra*
Kamis,
5 April 2018, sekira pukul 19.02 WIB, tersiar
kabar meninggalnya Dr. Sudaryono, penyair sekaligus akademisi sastra,
yang dikenal luas dengan nama pena Dimas Arika Mihardja di Rumah Sakit Dr.
Bratanata (DKT), Kota Jambi.
Kabar
tersebut membuat jagat kesastraan tanah air ramai oleh ucapan bela sungkawa,
doa serta kenangan dari berbagai kalangan, baik sahabat sesama seniman,
penyair, pengajar/akademisi sastra hingga mereka yang pernah berinteraksi
langsung dengan pria kelahiran 5 Juli 1959 itu hingga tutup usia tadi malam.
Saya
sendiri ikut mengantar almarhum dari rumah sakit menuju kediamannya di Jln.
Kapt. Pattimura Kenali Besar, Kotabaru, Jambi.
Berikut
pendapat dan kesan para sahabat tentang sosok penyair Dimas Arika Mihardja yang
saya himpun dan dimuat pertama kali pada tanggal 6 April 2018 di portal kajanglako.com:
- Maman S. Mahayana (Kritikus Sastra. Mukim di Seoul, Korea)
Sahabat,
entah kapan kita pertama kali jumpa. Mungkin sekitar akhir tahun 1980-an. Kesan
pertama yang langsung mencairkan suasana adalah senyum dan ketawamu yang khas.
Lalu sikapmu yang welcome. Selanjutnya, perkara puisi, sastra, dan dinamika
kehidupan sastra di Jambi menjadi bahan diskusi hangat. Selalu menyenangkan
berbincang denganmu, sahabat. Maka, kerap aku diganggu rindu untuk mengobrol,
ketawa-ketiwi sampai larut malam.
Aku
mengikuti kiprahmu dalam usahamu menciptakan kegairahan kehidupan sastra di
Jambi, membimbing sejumlah mahasiswa menerbitkan buku puisi, memberi pengantar,
dan melebarkan sayapmu mengajak teman-teman fb-mu menerbitkan buku puisi atau apa
saja sebagai wujud kecintaanmu pada sastra Indonesia. Kau telah berhasil
membawa mereka menjadi penyair hebat.
Kini,
5 April 2018, jam 19.02, kudengar berita kepergianmu yang mendadak. Niscaya
tidak sedikit sahabat, kawan, dan murid-muridmu yang musthail melupakan segala
kebaikan dan kiprahmu yang tak mengenal lelah.
Namamu
tetap tersimpan di hati kami, dan segala kebaikanmu akan menggerakkan kami
melantunkan doa untuk penerang perjalananmu . Dimas, selamat jalan. Insya
Allah, kau akan mendapat tempat terhormat di sana.
Selamat
Jalan Dimas Arika Mihardja.
- Suminto A. Sayuti (Guru Besar Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta)
Saya
bersyukur karena ikut mengantar almarhum mencapai derajat doktor di Universitas
Negeri Malang. Dimas Arika Mihardja merupakan sosok sederhana, apa adanya, dan
sangat peduli kepada sesama teman, dan menerima apapun dengan ikhlas.
Puisi-puisinya juga dicipta dengan estetika sederhana, tetapi mampu memberi
sesuatu kepada pembacanya.
Semoga
almarhum husnul khatimah. Diampuni dosa dan kesalahannya. Diterima amal
ibadahnya oleh Allah SWT. Selamat jalan Dimas, sang penyair. Doa kami
menyertaimu.
- Asrizal Nur (Penyair. Mukim di Jakarta)
Dimas
Arika Mihardja adalah sosok yang mudah membahagiakan kawan, periang, kadang
kocak, membuat kawan bahagia. Namun kemajuan sastra dia serius dan fokus.
Dia
tak pelit pada ilmu yang ia miliki. Ia mengajarkan yang sulit menjadi mudah.
Puisi yang tadi sulit olehnya diajarkan kepada peminat puisi, utamanya di media
jejaring sosial fb, secara mudah dan menyenangkan.
- Jose Rizal Manua (Penyair/Teaterawan. Mukim di Jakarta)
Innalillahi
waina ilaihi roji'un. Telah berpulang ke rahmatullah sahabat yang hangat dan
selalu bersemangat, Dr.Sudaryono MPd (Dosen FKIP Universitas Jambi), nama
kepenyairan Dimas Arika Mihardja sekitaran pukul 19.00 WIB, meninggal dunia
dalam usia 59 tahun, di RS DKT Jambi.
Gagasannya
yang akan selalu dikenang adalah "puisi foto" atau "foto yang
dihiasi puisi"
- Isbedy Stiawan ZS (Sastrawan. Mukim di Lampung)
Dimas
Arika Miharja atau DAM adalah sosok yang menarik dalam bergaul. Ia penyair,
juga dosen, dan kritikus. Beberapa kali saya berdiskusi, tepatnya berdebat,
soal puisi dan ia mau mendengar jika lawan diskusinya sedang mengemukakan
pendapat. Dalam jagat sastra, DAM setahu
saya memulai sebagai pengulas sastra di
Minggu Merdeka. Lalu ia menulis puisi, dan kemudian ia lebih dikenal
penyair cum dosen sastra.
Di
Universitas Jambi ia membina mahasiswanya untuk menulis karya sastra hingga
diterbitkan menjadi antologi. Oleh sebab itu, ia dikenal sangat dekat dengan
mahasiswa.
Semasa
rekannya, Ari Setya Ardhi masih hidup, geliat sastra di Jambi sangat terasa.
Kedua tokoh ini, kalau boleh saya akui, menjadi motor bagi kehidupan sastra di
Jambi hingga dikenal di Tanah Air.
Terakhir
saya jumpa Dimas, rasanya di Singapura pada PPN, dan sekamar dengan dia. Saya
melihat ia sudah mulai sakit-sakitan. Mungkin ketika Munsi 2 di Ancol ia pun
tak hadir, saya berpikiran bahwa ia tak bisa berkompromi dengan penyakitnya.
Kalau
ada sesal di hati saya, barangkali karena saya tak sempat bersilaturahmi saat
saya ke Jambi menjenguk anak saya. Entah karena hujan atau Tuhan belum memberi
ruang bagi kami untuk kangenan, padahal anak saya sudah siap mengantar dengan
mobilnya.
Jambi
kehilangan lagi satu sastrawan yang baik. Selamat jalan DAM, suatu saat aku
pasti menyusul. Bukankah tahun kelahiran
kita sama: Juni 1958? Tunggu aku di bawah pohon rimbun di tepi sungai nan
sejuk..
- De Kemalawati (Penyair. Mukim di Aceh)
Menyesal
kenapa ketika almarhum dalam keadaan sakit sapa menyapa seperti abai begitu
saja. Jauh sebelum hiruk pikuk media sosial komunikasi dengan beliau terjalin
dari SMS puisi pendek yang hampir setiap waktu beliau kirimkan.
Saya
belajar banyak bagaimana membalas puisi beliau juga dengan puisi. Sungguh
persahabatan yang indah dalam kata-kata. Ketika Facebook mulai menjadi bagian
dari publikasi karya, mas Dimas selalu memberi apresiasi terhadap puisi spontan
yang saya tulis di status maupun di catatan.
Mengulas
setiap puisi yang beliau anggap bagus membuat saya menjadi lebih yakin bahwa
yang saya tulis bernilai sastra. Suatu hari beliau mengajak saya membuat buku
puisi bersama dengan mbak Diah Hadaning.
Saya
merasa belum layak bergandengan dalam karya dengan Penyair yang punya nama
besar seperti mbak Diah Hadaning dan mas Dimas Arika Mihardja. Tapi beliau
meyakinkan saya bahwa karya saya pantas dan sangat layak bergabung bersama.
Lalu kami merancang buku puisi Tiga Di Hati Diah Hadaning Dimas Arika Mihardja dan D Kemalawati. Kami juga merancang peluncuran di tiga kota, dimulai di Aceh, Jambi dan Jakarta dimana di tiga tempat masing-masing tempat kami berkarya.
Di
Aceh, mas Dimas kami sambut seperti Abang kami yang bukan datang tetapi pulang
ke rumah kami. Di Jambi saya disambut sebagai anggota keluarga oleh mas Dimas
sekeluarga. Di Jakarta, mbak Diah Hadaning membuat ritual menyatukan kami
bertiga dalam selendang tiga rupa.
Sedih,
menyesal, hilang, hampa, begitulah yang silih berganti perasaan saya begitu
membaca status teman-teman di media sosial memberitakan kepergian beliau untuk
selamanya malam tadi.
Ternyata
pada akhirnya saya bukanlah orang yang terdekat yang mendengar rintihan
sakitnya. Saya terlalu sibuk dengan diri sendiri. Tak peka terhadap penderitaannya.
Sungguh saya malu menyebut sebagai bagian dari perjalanan sastranya.
Selamat
jalan mas Dimas. Tak terbilang jasamu pada kami semua.
- Saleeh Rahamad (Sastrawan. Mukim di Malaysia)
Semoga
Almarhum Dimas Arika Miharja penyair Jambi dilindungi dalam rahmat Allah SWT.
Kami dari Malaysia mengirimkan doa restu dalam jiwa pilu. Kepada teman-teman di
Jambi, kami juga berkongsi duka.
- Ariany Isnamurti (Jakarta)
Dimas
Arika Mihardja (DAM) yang saya kenal adalah orang yang ramah, baik hati dan
humoris.Terakhir jumpa di Balai Bahasa Jambi pada acara pelantikan pengurus
Wanita Penulis Indonesia cabang Jambi. Saat itu DAM mengungkapkan kerinduannya
pada PDS HB Jassin dan Taman Ismail
Marzuki, Jakarta, untuk meluncurkan bukunya, namun semua itu hanyalah sebuah
kata-kata kenangan. Beliau berpulang. Kita kehilangan.
Innalillahiwainnalillahirojiun.
- Anie Din (Sastrawan. Mukim di Singapura)
Bagiku, penyair Dimas Arika Mihardja kuanggap seperti anak. Kerana usia anak menantuku hampir sama dengan usianya.
Saya
bersama suami sudah tiga kali berkunjung ke rumahnya. Hubungan kami akrab
walaupun baru bermula pada 2010.
Kepergianya
amat terasa. Mengingat kenangan saat dia duduk di rumahku beberapa tahun lalu,
segera terbayang beliau sedang mengetik di laptopnya sambil makan goreng
cempedak yang saya suguhkan ketika itu.
Dalam
membimbing warga facebook yang meminati puisi, beliau senantiasa menegur dan
berbagi pengalaman dengan lembut. Tidak pernah kulihat beliau berkeras atau
kasar. Ternyata memang, beliau memiliki
sifat penyayang.
Selain
itu, kami pernah menulis puisi bersama dalam sebuah buku dengan judul judul
Nikah Kata serta tergabung dalam buku-buku antologi puisi bersama di iven-iven
sastra.
- Nik Rakib Nik Hassan (Pengamat Sastra. Mukim di Pattani, Thailand)
Innalillahi
wa Innailaihirojiun. Mitra kami Nusantara Studies Center, Prof. Dr. Sudaryono
(Dimas Arika Miharja), Pensyarah/Dosen FKIP Universiti Jambi Provinsi Jambi
Indonesia telah meninggal dunia
Salam
Takziah dari kami dan World Melayu Polynesian Organisation (Cabang Thailand) di
Selatan Thailand untuk keluarga almarhum dan keluarga besar Universitas Jambi
- Asro al-Murtawy (Penyair. Mukim di Merangin-Jambi)
Pada
1989, lelaki itu berdiri di hadapan kami, sekitar 600 calon mahasiswa peserta
Ospek. Ia mengambil pelantang, lalu
mulutnya komat-kamit. Entah apa yang diucapkannya. Aku baru tahu rupanya dia
sedang membaca puisi. Di waktu yang lain, saat ujian semesteran aku terlambat
datang karena salah jadwal. Saya buru-buru memasuki gedung D2 FKIP Mendalo
Darat Universitas Jambi. Seorang dosen
berperawakan sedang menyambutku dengan kata-kata: Lah telat. Ujian hampir
selesai. Tersisa 12 menit, berani? Tanpa banyak kata kujawab: berani. Hingga
saat itu aku belum begitu mengenalnya.
Begitu juga ketika laki-laki itu membela puisiku berjudul ~Banjir~ yang dimuat Independent dituduh sebagai plagiat puisi penyair Acep Syahril oleh (Alm) Ari Setya Ardhi di Ruang Arena Taman Budaya Jambi.
Saya
baru agak akrab, ketika kami saling mencarut dan memaki , bergumul pemikiran di
harian nasional seperti: Merdeka, Simponi, Swadesi, Taruna Baru, sinar Pagi
Minggu dll bersama penyair Isbedy Stiawan ZS, Harta Pinem, Naim Emel Prahana,
Mbak DIHA, Acep Syahril dan sederet kawan lain.
Dialah
Dimas Arika Mihardja pseudonya dari Sudaryono. Dia memang bukan guruku secara
formal, tetapi ilmunya banyak kucecap dalam pergaulan kami. Sahabat yang baik,
kakak yang baik, bapak yang baik. Pemberi semangat juga kritik yang tidak
nyinyir. Dialah yang turut membukakan cakrawala kesastraanku.
Terakhir
kami berdua diundang menghadiri MUNSYI 2. Sayang, karena alasan kesehatan dia
tidak bisa datang. Kini dia telah pergi, menyusul dua sahabat saya yang lain:
Ari Setya Ardhi dan Firdaus. Moga Allah ridho atas kiprah dan amalnya,
- Ramoun Apta (Penyair. Mukim di Kota Bungo-Jambi)
Turut
berduka sedalam-dalamnya atas meninggalnya salah seorang penyair Jambi, Dr.
Sudaryono, yang lebih dikenal dengan nama Dimas Arika Mihardja. Kabar yang
mengejutkan ini sungguh sangat tidak terduga. Semoga amalan beliau selama hidup
menjadi bunga di sisi Allah. Dan semoga apa yang ditinggalkannya menjadi
berlian di hati kita semua. InshaAllah...
Beliau
orang yang sangat bergairah terhadap puisi. Gairah ini terlihat dari sikap dan
pergumulannya yang bahkan tak putus hingga akhir hayatnya. Saya mengenalnya
tidak begitu lama, mungkin baru pada tahun 2011. Ada satu hal yang paling saya
ingat soal dia. Yakni ketika dia berusaha merumuskan "genre baru"
dalam dunia perpuisian kita, yakni 'puisi sexy'. Yah, meskipun konsep puisi
tersebut saya pikir masih prematur, karena masih menyadur tradisi puisi yang
lain, namun setidaknya ia telah berupaya untuk melahirkan sesuatu yang baru.
Dan ini semakin menegaskan gairah beliau terhadap puisi. Puisi baginya
barangkali seperti kekasih hati yang tak pernah mati. Bahkan mungkin lebih dari
itu.
- Meiliana K. Tansri (Novelis. Mukim di Jambi).
Pak
Dar (Dimas Arika Mihardja) itu low profile dan gampang akrab. Tak sungkan
mengucap 'sayang' karena maksudnya memang tulus menyayangi. Selalu
mengapresiasi dengan serius, tak sekadar basa-basi. Beliau selalu menganggap
kami yang muda sebagai anak, dan tak segan memberi pujian dan kritik membangun.
- Anwar Putra Bayu (Penyair. Mukim di Sumatra Selatan)
Lebih
kurang 25 tahun saya bersahabat dengan Mas Dimas Arika Miharja (Sudaryono).
Saya menemukan sosok yang tenang dan penyabar. Sebagai saatrawan dia merupakan
orang yang kokoh dalam bersikap. Sebagai seorang sahabat dia adalah sebagai
guru yang banyak memberikan pengetahuan, tidak hanya soal sastra, namun lebih
dari itu yakni persoalan kehidupan itu sendiri, itu yang saya rasakan. Dan
sekarang saya merasa kehilangan dia. Selamat jalan Mas Dimas. Aku dan dunia
sastra pasti merindukanmu.
- Edi Dharma (Kartunis Jambi)
Saya
sangat kehilangan seorang seniman besar yang pernah membela saya ketika karya
saya pernah dihina, Dia lah seorang penyair, sastrawan, dosen sekaligus orang
tua kita Dr. Sudaryono, M.Pd. Ia meninggalkan kita selamanya. Terima kasih Pak
De..Semangatmu tak pernah padam untuk kesenian di provinsi Jambi khususnya. Di
situ kami mesti belajar dan terus bergerak. Selamat jalan sang Pujangga!
- Feerlie Moonthana: Guru dan Penulis. Mukim di Kota Bungo-Jambi
2
hari ini, mata sebelah kananku berkedut terus. Konon kata orang tuaku dulu, itu
pertanda akan menangis (boleh percaya, boleh tidak itu hak pembaca). Tetapi
kenyataan bagiku, mlm ini terbukti aku menangis.
Berkisar
pukul 19.30 aku membaca status adik tingkatku di FKIP Universitas Jambi, Nanang
Sunarya (di grup WA alumni) yang menyatakan bahwa, seorang penyair besar,
sastrawan, budayawan, dosen sahabatnya mahasiswa Bapak Sudaryono atau lebih
dikenal dengan panggilan Mas Dimas Arika Miharja, telah kembali ke pangkuan
Illahi
Sontak
airmataku merimbun dan kemudian gugur satu persatu. Serasa tidak percaya.
Lelaki senja yang tidak pernah kehabisan kata itu, telah pergi.
Masih kuingat jelas, di tahun 1989, aku berkenalan dengan beliau. Beliau merupakan dosen yang begitu bersahaja, sederhana namun penuh kharisma.
Beliaulah
yang menumbuh suburkan jiwa kesasteraanku. Beliau pulalah yang menemukan
sedikit potensi berkesenian dalam diriku. Aku ditempanya dalam sanggar sastra
PBS FKIP UNJA. Lalu setelah itu diberinya aku ruang dan waktu untuk terlibat
dalam beberapa pementasan, baik di dalam maupun luar kampus.
Yang
paling berkesan dan tidak dapat kulupakan pada 1992. Ketika itu, aku tampil
bersamanya dalam sebuah pementasan keliling di beberapa kampus seperti,
Uuniversitas Sriwijaya, IKIP Padang dan Universitas Sumatra Utara, Medan. Kami
mementaskan sebuah drama "Sepasang Merpati Tua". Beliau dosenku itu
menjadi kakek dan aku menjadi seorang nenek. (Akhh... lagi-lagi air mata ini
tak bisa kubendung).
Dadaku
sesak, mengingat semua itu. Begitu banyak ilmu dan pengalaman berkesenian dan
berkesasteraaan telah kau berikan padaku dan ribuan mahasiswa yang lain.
Tak
dapat kupungkiri. Aku bisa menjelma jad seperti sekarang. Itu karenamu Pak.
Yakinlah
Pak. Katamu tak akan mati. Dia akan tetap hidup di benak dan jiwa kami.
0 Komentar