Bencana Situ Gintung. Sumber: www.minews.id |
Peristiwa memilukan kembali terulang di republik ini. Rentetan bencana alam bersambung dari waktu ke waktu. Ratusan orang meninggal dunia, hilang, dan luka akibat jebolnya tanggul Situ Gintung. Begitu juga dengan harta benda, tak satu pun tersisa. Semua direlakan pergi seraya meninggalkan trauma.
Situ
Gintung adalah danau buatan seluas 21,4 hektar yang berlokasi di Kecamatan
Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan-Banten. Dibuat pada zaman Belanda
(1932-1933) untuk menampung air hujan dari kawasan perbukitan sekitarnya.
Di
samping itu, sebagai cadangan pengairan untuk lahan pertanian dan sekaligus
sebagai pengendali banjir. Namun, lambat laun puluhan perumahan elit macam
Cirendeu Permai, bisnis rekreasi maupun hunian kumuh (kampong Poncol) telah
menggantikan tanaman padi di lahan persawahan di utara waduk Situ Gintung.
Situ
ini sudah berusia 77 tahun. Sudah barang tentu memerlukan perawatan dan
pemantauan super ketat. Menurut penuturan masyarakat setempat, jelang jebol,
sudah ada tanda-tanda retakan di salah satu sisi tanggul. Berpijak pada
informasi tersebut, tampak ada sikap keengganan yang diperlihatkan oleh
pemerintah setempat untuk berkoordinasi dengan instansi teknis yang bertanggung
jawab atas Situ Gintung.
Hal
ini menandakan yaitu
rendahnya manajemen resiko dan kurang tanggapnya aparatur negara melihat
berbagai dampak yang mungkin terjadi. Sebagaimana amanat Undang-undang, pemerintah selaku penyelenggara
negara memiliki tanggungjawab melindungi hak dan keamanan penduduk, apalagi
pada masalah-masalah yang berpotensi menyebabkan bencana besar hingga kematian
manusia.
Karena itu pasca bencana tragis ini, kita patut
bertanya. Di mana fungsi pengawasan dari pemerintah pusat maupun daerah?.
Sesuai Undang-undang,
Situ itu menjadi tanggung jawab pemerintah
pusat, dalam hal ini Departemen PU (kini
Kementerian). Artinya, Departemen PU harus menyusun
perencanaan untuk melakukan perbaikan Situ secara permanen dengan mengumpulkan sejumlah ahli perencanaan bangunan.
Selanjutynya, pemerintah daerah bertugas mengatur tata
ruang secara ketat. Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada
bagian penjelasan pasal 4 Ayat 2 telah ditetapkan bahwa yang termasuk dalam
kawasan lindung di antarnya adalah kawasan sekitar danau atau waduk dan kawasan
sekitar mata air.
Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat harus sudah siap
dengan segala risiko apabila melanggar peraturan yang ada, karena aturan tata
ruang dibuat untuk keselamatan manusia, bukan sebaliknya. Pun pemberi izin yang
melanggar tata ruang juga harus diberi sanksi yang setimpal.
Hal
penting lainnya adalah membangun sistem peringatan dini sampai radius beberapa
ratus meter dari waduk. Mengingat, orang yang tinggal dekat tanggul selamat
karena mendengar sirene, tidak bagi mereka yang tinggal jauh dari tanggul
justru menjadi korban.
Berdasarkan
inventarisasi Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC),
Jabodetabek memiliki 202 Situ, tetapi kini tinggal 182 (Kompas,6/04). Artinya, survei dan perawatan
terhadap Situ-situ
yang diduga memiliki potensi bencana adalah sebuah keniscayaan.
Dengan demikian, pelajaran penting dari peristiwa ini adalah perlunya
kerjasama dan pembagian kerja yang jelas antara pemerintah pusat maupun daerah, tidak terkecuali
pelaku bisnis dan masyarakat. Jika tidak, kita memang termasuk jenis bangsa
yang enggan belajar pada pengalaman bencana sebelum-sebelumnya.
*Ditulis tahun 2009.
0 Komentar