Tan Malaka |
Mendapati badan truk bertuliskan slogan maupun kalimat yang menggugah, penuh
kritik dan intrik di sepanjang jalan (bila dimungkinkan saya mengabadikannya)
adalah momen membahagiakan bagi saya. Demikian suatu malam, menutup Desember
tahun 2020, saat menempuh perjalanan dari Pasar Muaratembesi, Kabupaten
Batanghari, menuju Kota Bungo berjuluk Bumi
Langkah Serentak Limbai Seayun, saya menemukan lukisan sosok Tan
Malaka, ideolog, pendiri Partai Republik Indonesia (PARI) dan Musyawarah Rakyat
Banyak (MURBA), serta Pahlawan Nasional Indonesia, bersama kibaran merahputih
pada bucu kanan atas sebuah truk.
Medio
Agustus tahun 2016, usai menziarahi makam penyair si “Binatang Jalang” Chairil
Anwar dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat,
saya menjumpai hal serupa yakni baliho berwarna merah berukuran sedang
membaluti badan sebuah bemo bertuliskan “Berpikir Besar Kemudian Bertindak”
dengan sosok Tan Malaka berada di sebelah teks serta tulisan berukuran kecil
terbaca “Madilog” di bawahnya.
Kedua momen tersebut segera mengingatkan saya pada master piece pria kelahiran Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897, itu yaitu antara lain Madilog, Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia), Gerpolek, Massa Aksi, Manifesto Bangkok, Semangat Muda, dan Dari Penjara Ke Penjara (3 jilid).
Salah
satu karya brilian pria bernama lengkap Ibrahim bergelar adat Datuk Sutan
Malaka ini adalah buku bertajuk "Dari Penjara ke Penjara" yang
ditulis pada tahun 1947 (Teplok Press, Cetakan Kedua, Juli 2000). Trilogi
otobiografi ideolog ini oleh Tempo dalam majalah edisi khusus 100 Tahun
Kebangkitan Nasional (1908-2008) ditahbiskan sebagai salah satu buku paling
berpengaruh karena memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan.
Truk dengan foto Tan Malaka. Dok. JP |
Sebenarnya
saya tergolong terlambat membaca buku Dari Penjara Ke Penjara karena terpaut
hampir 57 tahun, terhitung sejak buku itu ditulis kali pertama oleh Tan Malaka.
Mula saya mengenali sosok Tan Malaka tahun 2004 melalui magnum opusnya yaitu
Madilog (terbit pertama kali untuk umum tahun 1951 oleh penerbit CV. Widjaya
dan diterbit ulang oleh LPPM Tan Malaka tahun 1980 dan berlanjut tahun 2008).
Tahun
2004 nama Tan Malaka kerap disebut para aktivis gerakan maupun pers mahasiswa,
setidaknya saban diskusi di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena dan organisasi
Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD), organisasi intra dan ekstra kampus
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang pernah saya ikuti, dan dari keduanya pula
saya menimba ilmu dan pengalaman selain di ruang kelas kampus.
Generasi
seangkatan saya masih sempat mencicipi semaraknya diskursus pemikiran kritis para
tokoh pergerakan lintas generasi di tanah air, untuk menyebut contoh seperti
Haji Misbach, HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Tan Malaka, Bung Karno, Hatta,
Sjahrir, Semaun, Musso, DN Aidit, Mohammad Natsir, Mohamad Yamin, Wahid Hasyim,
Tirto Adhi Soerjo, Marco Kartodikromo, Wiji Tukul, dan Soe Hok Gie.
Adapun nama-nama intelektual dari luar negeri yang kerap menjadi rujukan dan
karenanya dipercakapkan ketika itu, yaitu seperti Karl Marx, Friedrich Engels,
Vladimir Lenin, Henk Sneevliet, Friedrich Nietzsche, Max Webber, Adam Smith,
Antonio Gramsci, Ruth T. McVey, Ali Syari’ati, Karl R. Popper, Muhammad Abduh,
Hasan Hanafi, Bennedict Anderson, George McTurnan Kahin, Anthony Giddens,
Jurgen Habermas, Noam Chomsky, Francis Fukuyama, Samuel P. Huntington, James C.
Scott, Clifford Geertz, Batrand Russell, dan M.C. Ricklef.
Karya Tan Malaka (Teplok Press, Cetakan II, 2008) |
Buku dari penjara ke penjara ditulis oleh Tan Malaka saat dirinya mendekam di penjara yang jelas menyita sebagian besar hidupnya. Buku ini diawali dari cerita Tan Malaka yang melanjutkan pendidikannya di Rijkskweekshcool atau Sekolah Kejuruan Guru Kerajaan/Negeri, di Kota Haarlem, Belanda, tahun 1913, kemudian pulang kampung dan menjadi semacam guru bantu di sekolah anak kuli perkebunan tembakau di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara, tahun 1919-2020.
Selanjutnya
Tan Malaka memilih merantau ke Semarang dan ikut membangun sekolah rakyat di
sana. Di sinilah Tan Malaka mulai aktif bergerak sebagai aktivis murba dan
menjadi fungsionaris PKI saat itu setelah sebelumnya Semaun dan Darsono
mengetahui kecerdasan dan ketajaman analisis Tan Malaka saat mengikuti kongres
Sarikat Islam pada tanggal 2-4 Maret 1926 di Yogyakarta sehingga diajak
bergabung ke dalam organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada Kongres PKI
tanggal 24-25 Desember 1926 di Semarang Tan Malaka terpilih menjadi pemimpin
PKI di saat Semaun sedang tidak berada di Indonesia.
Di
samping aktif memberikan pendidikan alternatif bagi masayarakat melalui sekolah
Sarekat Islamnya (mulanya Sekolah Ra’jat) di Semarang berkat fasilitasi Semaun,
Tan Malaka juga kerap mengikuti aksi mogok kaum buruh menentang kebijakan
kolonial Belanda yang menindas. Sikap kritis demikian bisa dimengerti
menimbang Tan Malaka pernah bergabung dengan ISDV (Perserikatan Demokrasi
Sosial Hindia). ISDV merupakan organisasi bentukan para anggota partai buruh di
Belanda pada tahun 1914 yang tinggal di wilayah Hindia Belanda.
Merasa
kehadiran Tan Malaka bakal mengganggu, Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menangkap dan membuangnya ke Belanda pada Mei tahun 1922. Justru ketika
menginjakkan kaki untuk kedua kalinya di Belanda, jaringan dan pengaruh Tan
Malaka mulai berkembang. Tidak sedikit posisi penting diampunya, seperti
menjadi calon anggota parlemen dari partai komunis Belanda, serta menjadi agen
Komunis Internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Dalam pada itu, Tan
Malaka sempat berseberangan pandangan dengan Komintern terkait
ketidaksetujuannya pada penolakan Komintern untuk bersatu dengan Pan-Islamisme
saat Kongres Komintern IV 1922 di Moskow.
Karya Tan Malaka: Madilog (CV Widjaya, 1951) |
Sejak pembuangannya ke Belanda, Tan Malaka mulai menapaki pertualangannya melintasi berbagai negara, mulai dari Jerman, Rusia, Filipina, Tiongkok, Myanmar, Malaysia, Singapura, hingga akhirnya kembali ke Indonesia setelah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di awal-awal Perang Dunia II.
Diakui
Tan Malaka dalam kata pengantarnya (Jilid I) bahwa sejarah yang ia tulis dalam
buku Dari Penjara Ke Penjara bukan sejarah hidup yang dipahami umum yaitu ketat
menjelaskan secara tarikh dari
masa anak-anak, dewasa, dari masa pendidikan hingga bekerja buat masyarakat,
yang galib dinamai dengan istilah “life and work” atau hidup dan pekerjaan.
Tetapi kait mengkait antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya,
antara satu tokoh dengan tokoh lainnya, dari satu wilayah ke wilayah lainnya,
dan sekaligus menuliskan situasi sebelum, sedang dan sesudah dari satu penjara
ke penjara lainnya.
Perlawanan
tanpa kompromi Tan Malaka terhadap kolonial Belanda, juga imperialis Jepang,
karena kesadaran kritis yang ditopang oleh pandangan ideologinya yaitu
sosialisme-marxisme. Bagi Belanda pandangan seorang Tan Malaka jelas
membahayakan praktik imperialisme yang sedang mereka galakkan, sehingga pilihan
mengasingkan Tan Malaka ke luar negeri merupakan kebijakan yang harus diambil
ketika itu.
Tiada
keraguan terhadap kemampuan Tan Malaka dalam menulis bahkan membuat
propaganda-propaganda perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda. Ia
menyampaikan pemikirannya dengan begitu meyakinkan, karena memang argumentatif.
Kemampuan demikian itu muncul dari luasnya pengalaman sekaligus jangkauan
pembacaannya terhadap literatur filsafat, sejarah, ekonomi, dan sosial.
Dalam
pelariannya, Tan Malaka beberapa kali ditangkap di negeri orang dan dipenjara.
Karena itu bagi Tan Malaka, penjara bukanlah asing lagi bagi dirinya. Sebelum
diasingkan ke Belanda tahun 1922, di Indonesia dirinya diperkenalkan dengan
tiga penjara, ialah penjara Bandung, Semarang dan Jakarta. Di Manila Tan Malaka
berkenalan pula dengan penjara. Penjara Hongkong-pun tidak melupakan dirinya.
Sebaliknya tiap-tiap rumah penjara atau semua rumah yang berbentuk penjara
seolah-olah dengan diam-diam berkata dengan dirinya; silakan masuk.
Tan Malaka (ketiga kanan dari atas) bersama utusan bangsa-bangsa dari Timur di Kongres Komintern |
Menyadari selalu diincar pihak Belanda maupun Jepang, Tan Malaka melarikan diri dengan cara berpindah dari suatu negara ke negara lain dengan cara berganti-ganti identitas, sampai harus memalsukan dokumen administrasi pribadinya. Keadaan demikian menjadikan Tan Malaka tidak mudah mempercayai orang di setiap daerah yang disinggahinya. Sejurus kemudian, selama pelariannya, Tan Malaka kerap berganti nama sesuai tempat dimana ia singgah, untuk menyebut contoh, seperti di Banten ia menggunakan nama samaran Legass Husein, Ramli Hussein, dan Ilyas Hussein (Indonesia), Elias Fuentes, Estahislau Rivera, dan Alisio Rivera (Filipina), Hasan Gozali (Singapura), Ossorio (Sanghai), Ong Song Lee (Hongkong), Tan Ming Sion (Burma), dan Cheung Kun Tat, Howard Lee (China).
Kisah
nomaden dari satu negara ke negera lain inilah yang menjadi menu utama dalam
buku Dari Penjara Ke Penjara. Di setiap negara yang ia lewati, Tan Malaka
acapkali menceritakan pandangannya terkait dinamika sosiopolitik, sejarah
perlawanan terhadap imperialisme, tidak terkecuali cara yang ia lakukan untuk
lolos dari mata-mata musuh. Selain itu, dari Penjara Ke Penjara juga
menunjukkan kemampuan Tan Malaka membangun jaringan selama masa pelarian, mulai
dari menjadi juru tulis, kontributor pers, hingga pengajar di negeri orang,
yang kesemuanya harus dilakoni untuk dapat bertahan hidup.
Begitu
juga penguasaan Tan Malaka terhadap bahasa Minang, Indonesia, Belanda, Rusia,
Jerman, Mandarin dan Tagalog, memudahkan upayanya bersembunyi di sebuah wilayah
tertentu, selain menggunakan beberapa kode dalam surat-menyurat. Singkatnya,
untuk kepentingan mewujudkan kemerdekaan Indonesia, tak lain ialah dirinya
berusaha menyelamatkan diri dari kejaran pihak Belanda maupun Jepang sembari
menuangkan pemikiran brilian untuk Indonesia ketika itu.
Selain
tokoh yang kesepian, Tan Malaka juga kerap disebut sosok misterius. Kisah
hidupnya bersegi banyak, dan kesemuanya itu tidak mudah dilacak, bahkan masih
terdapat banyak kontroversi, tidak terkecuali soal kehidupan asmara dan tentu
saja sepak terjang pergerakan dan pemikirannya di tanah air serta hubungannya
dengan politik internasional masa itu (salah satunya keterlibatannya dalam
Komintern untuk Asia Timur pada tahun 1924 dan keputusannya memisahkan diri dan
memutuskan hubungan dengan PKI paska tragedi pemberontakan 1926-1927, buah
sikap kepala batu trio pimpinan PKI Sudjono-Alimin-Muso sebagai pertualangan
yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan Nasional Rakyat Indonesia melawan
imperialisme Belanda waktu itu).
Imbas
dari ketidaksepahaman terhadap Komintern dan PKI, Tan Malaka mendirikan Partai
Republik Indonesia (PARI) di perantauan Bangkok pada 2 Juni 1927. Pendirian
PARI itu dimaksudkan untuk mempersatukan rakyat pribumi dalam melakukan
revolusi Indonesia. Adapun kader-kader yang bergabung dalam PARI, antara
lain, Adam Malik, Sukarni, Maruto Nitimiharjo, Chaerul Shaleh, Pandu
Kartawiguna, Mohammad Yamin, dan Iwa Kusumasumantri. Hanya saja PARI tidak
berkembang lalu Tan Malaka mendirikan partai baru yaitu MURBA pada tahun 1947.
Sekalipun
hingga akhir hayat Tan Malaka masih diselimuti kontroversi, kita generasi jauh
setelahnya mesti berterima kasih kepada sejarahwan asal Belanda, Harry A. Poze,
salah satu indonesianis yang serius meneliti sosok Tan Malaka. Selain itu,
tentu saja berkat karya tulis Tan Malaka semasa hidup, kita dapat mengetahui
seluk beluk kehidupan dan pemikirannya yang ikut berkontribusi bagi perjuangan
di awal hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia (meski dengan catatan
kemerdekaan tersebut belum sepenuhnya sejalan dengan kemerdekaan 100 persen
dalam pandangan Tan Malaka).
Karya Tan Malaka: Menuju Republik Indonesia (1925) |
Melalui
buku Dari Penjara Ke Penjara, pembaca diyakinkan bahwa meski berada di balik
jeruji, Tan Malaka diketahui tetap berusaha "mendobrak" semangat
perjuangan rakyat Indonesia, dan tak jarang ia mesti berseberangan pendapat
secara tajam dengan generasi semasanya, seperti Bung Karno, Hatta dan Sjahrir,
untuk menyebut contoh Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka mengkritik
Perjanjian Linggajati tahun 1947 dan Renville tahun
1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Sjahrir dan Perdana
Menteri Amir Syarifuddin. Tak hanya itu, selain sikap tegasnya terhadap
pandangan beberapa tokoh PKI di Indonesia, Tan Malaka juga tokoh komunis
Indonesia yang berani berbeda dengan Joseph Stalin, penguasa Uni Soviet.
Imbasnya Tan Malaka dikeluarkan dari Komintern.
Bagi
Tan Malaka, yang telah melalui kurang lebih 89 ribu kilometer, dua benua, dan
11 negara telah dilaluinya; mulai dari Pandan Gadang, Bukittinggi, Batavia,
Semarang, Yogyakarta, Bandung, Kediri, Surabaya, Amsterdam, Berlin, Moskow,
Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon,
dan Penang, memberikan sebuah isyarat tegas bahwa bagi mereka yang ingin
menikmati hakikat kemerdekaan secara utuh, maka harus ikhlas dan tulus
menjalani pahit serta getirnya hidup terpenjara. Begitu juga mereka yang
menghendaki kemerdekaan untuk umum, maka ia harus ikhlas dan bersedia untuk
menderita kehilangan “kemerdekaan diri-nya sendiri”.
Demikian
penggalan kisah hidup Tan Malaka yang saya baca melalui buku Dari Penjara Ke
Penjara ini, dan tentu saja ditopang oleh buku-bukunya yang lain maupun ulasan
pemikiran Tan Malaka oleh para peneliti baik dalam maupun luar negeri. Tentu
masih banyak sisi lain dari perjalanan panjang seorang Tan Malaka, yang
berakhir dieksekusi di Kediri, 21 Februari 1949, di kaki Gunung WIlis Kediri
Desa Selopanggung, dengan cara ditembak mati oleh bangsanya sendiri. Ironinya,
di usianya yang ke-52 tahun, Tan Malaka meninggal dan tidak bisa menikmati kemerdekaan
yang dia perjuangkan selama ini.
*Tulisan ini terbit pertama kali pada 11 Februari 2021 di rubrik sosok portal kajanglako.com
0 Komentar