ilustrasi. sumber: liputanislam.com |
Oleh:
Jumardi Putra*
Kekerasan
dan “perang” atas nama agama bukanlah fakta baru dalam sejarah perjalanan umat
manusia. Demikian juga tindakan kekerasan kepada mereka yang notabene berbeda
paham keyakinan dewasa ini, seperti penyerangan terhadap kaum Syiah, Ahmadiah,
dan penyegelan secara paksa terhadap rumah ibadah, bahkan bom bunuh diri,
seperti tragedi Bali 12 Oktober 2002 yang telah membunuh hampir 200 warga dan
ledakan bom di Jakarta 5 Agustus 2003.
Fenomena
kekerasan atas nama agama sejatinya bukan hanya dalam Islam, tetapi juga marak
terjadi pada agama-agama lain di muka bumi ini, sebagaimana terlihat di
Irlandia Utara, Sri Lanka, India, Israel, Palestina, Irak, Afghanistan,
Pakistan, Kashmir, Checnya, dan Eropa, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
militan ekstrim. Para ekstrimis percaya bahwa mereka memiliki mandat dari Tuhan
memaksakan pemahaman agama versi mereka dan membinasakan siapa pun yang tidak
sehaluan dengan mereka.
Kenapa aksi
kekerasan bertopeng agama terus menggejala baik di dalam maupun luar negeri?
Muhammad Najib Azca, sebagaimana dilansir kiaikanjeng.com (27 Oktober 2008),
menjelaskan potret global kontemporer kita saat ini sesungguhnya lebih
mendekati apa yang dikatakan oleh intelektual Edward Said (2001) sebagai “the
clash of ignorance” (perang kejahilan atau perang kebebalan), ketimbang “the
clash of civilization” (perang peradaban) yang diramalkan Samuel P. Huntington.
Edward Said
meyakini pangkal soal jagat kontemporer kini adalah kejahilan dan kebebalan
kita mengenai sang liyan, the other. Selain itu, kesalahan mendasar lainnya
adalah karena melihat identitas dan peradaban sebagai fenomena yang mandek dan
tertutup, bukan sebagai fenomena hidup yang bisa saling bertukar,
saling-berbagi, dan saling-memperkaya.
Celakanya,
itulah potret global kontemporer seperti terlihat dalam laporan survei global
di 13 negara Barat dan Muslim yang dilakukan oleh Pew Global Attitudes Project
(2006) bertajuk The Great Divide: How Westerners and Muslims View Each Others,
yaitu mayoritas warga di dua belah dunia itu (Barat dan Muslim) melihat
hubungan Barat-Muslim “pada umumnya buruk” (generally bad) ketimbang “pada
umumnya baik” (generally good); dengan angka yang mencolok di Jerman (70: 23),
Perancis (66: 33), Turki (64: 14)—termasuk komunitas Muslim di Jerman, (60: 29)
serta Muslim di Inggris (62: 23).
Jurang nan
tajam itu, lanjut Najib Azka, juga terlihat pada prasangka kultural yang
terdapat pada masing-masing komunitas. Survei itu, misalnya, menunjukkan
mayoritas Muslim melihat orang Barat berwatak selfish (mementingkan diri
sendiri), immoral (tidak bermoral) dan greedy (tamak). Sebaliknya, sebagian
besar warga Barat melihat kaum Muslim berkarakter fanatik, violent, dan kurang
toleran. Lalu, faktor lain yang turut menyulut aksi kekerasan berdalil agama,
merujuk antropolog Robert William Hefner yang konsern meneliti peran muslim
dalam politik di Indonesia, salah satunya, adalah tren kelompok yang melakukan
terorisme dan kekerasan atas nama agama yang menurutnya tidak mencerminkan
mayoritas.
Diakui oleh
Hefner, kelompok teroris memang mengkhawatirkan. Akan tetapi, itu terjadi
karena ada krisis politik, krisis ekonomi, dan krisis kebangsaan sekaligus, di
mana sepanjang abad ke-20 terjadi krisis multidimensi seperti itu. Lihatlah
Jerman, ambil misal, negara yang masih makmur pada 1920-an, masih terdidik dan
punya industri yang besar. Tetapi mitologi terhadap Yahudi tidak saja
menghancurkan Jerman, tapi juga peradaban Eropa selama beberapa tahun. Fasisme
itu, tidak saja ada di Jerman, Italia, tapi ada di mana-mana (Majalah Tempo,
16/8/2010).
Hal demikian
menjelaskan penyulut dari pelbagai konflik antar agama bukan semata karena
perbedaan doktrin agama, tetapi lebih pada perebutan pengaruh politik dan
ekonomi dari masing-masing pemeluknya. Karena itu, Lester Kurtz dalam Gods in
the Global Village (1995) mengatakan “Religious conflict can be extraordinarily
bitter, and is offen destructive because the parties to the dispute view
themselves as representatives of supraindividual claims, of fighting not for
themselves but only for a cause which can give the conflict a radicalism and
mercilessness.” (Konflik agama bisa menjadi demikian pahit, bahkan seringkali
merusak, karena masing-masing pihak yang berselisih melihat diri mereka sebagai
representasi dari kepentingan umum, yang berjuang bukan untuk diri mereka
sendiri, melainkan demi sebuah alasan yang lebih besar, yang menjadi sebab
sebuah konflik menjadi radikal dan bengis).
Corak Penafsiran
Cendekiawan
muslim, Komarudin Hidayat, mengatakan agama sebagai realitas sosial di dalamnya
tidak hanya terkandung aspek ajaran yang bersifat normatif-doktrinal, melainkan
juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, dan tempat
suci, serta bangunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para pemeluknya.
Itu artinya,
jika terjadi konflik agama, maka terdapat berbagai variabel yang terlibat, yang
satu ikut memperkuat yang lain, meskipun ada juga aspek ajaran yang menjadi
kekuatan pencegahan (Kompas, 2000).
Seyogyanya,
sekitar 87, 2% umat muslim dari 200 juta lebih penduduk Indonesia saat ini
memusatkan perhatian dan bersungguh-sungguh mengkaji ajaran yang diyakini,
terutama terhadap teks-teks keagamaan yang berhubungan dengan peristiwa
kekerasan berdalil agama, yang akhir-akhir ini disalahgunakan.
Corak
penafsiran terhadap teks al-Quran, Khaled M. Abou El Fadl, professor hukum
Islam di UCLA, Amerika Serikat, menjelaskan ada model penafsiran terhadap teks
al-Quran yang cukup problematik di tengah masyarakat muslim saat ini, terutama
oleh mereka yang dianggap sebagai pemegang otoritas terhadap teks al-Quran,
seperti Kiai, Ustaz, dan pemuka agama, atau bahkan, lembaga keagamaan secara
institusional, seperti di Indonesia terdapat Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Model
penafsiran tersebut adalah menafsirkan teks-teks Al-quran yang memiliki
otoritas. Ambil misal pada ayat-ayat yang menganjurkan jihad. Bentuk penafsiran
semacam itu, disebabkan oleh ketidaktepatan dalam menggunakan rujukan dan
kurangnya sikap kehatian-hatian dalam menafsirkan (dengan segala perangkat yang
diperlukan untuk menafsir), serta lemahnya budaya investigasi terhadap perkara
yang memiliki hubungan (konteks) dengan ayat-ayat yang ditafsirkan.
Akibatnya,
ayat-ayat Tuhan terkadang menjadi pesan yang mengerikan, lantaran penggunaan
simbolisme keagamaan, merujuk pada tafsir pembenaran sekaligus kepastian yang
berasal dari otoritas moral dan imbalan surga, melegitimasi dan memobilisasi
dukungan, sehingga meningkatkan kerelaan siapa pun untuk berjuang dan mati
dalam perjuangan suci.
Jika cara
penafsiran tersebut masih dijadikan pijakan, maka prasangka yang mengemuka di
kalangan umat di luar Islam bahwa akar kekerasan dalam dunia Islam berawal dari
tek-teks agama Islam itu sendiri, benar adanya. Padahal, sejatinya, sekalipun
pahit dan getir menghiasi sejarah perjuangan para Nabi dan Rasul dalam
mensiarkan Islam, mereka tetap menempuhnya dengan jalan damai dan penuh
ketabahan.
Nabi
Muhammad SAW dalam membawa pesan agama, sebagaimana tercermin dalam laku
keseharian, ia selalu menampakkan sikap santun dan damai, meski dalam proses
yang begitu panjang, ia ditolak dalam berbagai bentuk perlawanan dan penistaan.
Di samping itu, bukankah Nabi Muhammad SAW diturunkan ke muka bumi tidak lain
dan tidak bukan untuk memperbaiki akhlak umatnya. Kendati ada “bercak darah”
dalam sejarah peradaban Islam, menurut hemat saya, itu lebih disebabkan urusan
politik dan kekuasaan.
Sejurus hal
itu, Charles Kimball, penulis buku Kala Agama Jadi Bencana (Mizan, 2008),
mengatakan sepanjang sejarah, gagasan, dan komitmen keagamaan telah mengilhami individu
dan kaum beriman menanggalkan semua kepentingan pribadi yang sempit demi
tercapainya nilai dan kebenaran yang lebih tinggi. Pendek kata, cinta kasih,
pengorbanan diri dan pengabdian kepada orang lain sering kali berakar begitu
mendalam pada pandangan dunia keagamaan.
Namun, pada
yang saat sama, sejarah dengan jelas menunjukkan bahwa agama sering kali
dikaitkan secara langsung dengan contoh perilaku terburuk manusia, seperti
perang, membunuh orang, dan kini masih banyak lagi kejahatan lainnya sering
dilakukan atas nama agama dibandingkan atas nama kekuataan institusional lain.
Oleh karena
itu, mengkaji persoalan di atas, tentu banyak hal yang mesti dikaji-teliti agar
mendapat jawaban yang utuh dari ajaran agama Islam itu sendiri. Itu menunjukkan
pertautan dari pelbagai disiplin ilmu akan menjembatani umat Islam pada hasil
ijtihad (penafsiran) yang lebih baik dan sesuai dengan konteks, waktu, tempat,
dan semangat zaman (zeitgeist).
Perbedaan
sebagai Rahmat
Kandungan
sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa, sejatinya telah memberi ruang
dan perhatian pada pembinaan kehidupan beragama di republik ini. Begitu juga
pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu.” Pokok pikiran di atas, menegaskan pluralitas
agama dalam NKRI itu adalah sesuatu yang mesti dibanggakan, meski pada saat
yang sama mengandung potensi masalah.
Misalnya,
tarik-marik hubungan agama dan negara? Bagaimana negara menyikapi pluralitas
paham dan aliran kepercayaan? Lalu, bagaimana pula negara memandang kemunculan
terorisme dan gelombang kekeraan atas nama agama?
Komarudin
Hidayat berpandangan berbagai peraturan pemerintah tentang kehidupan beragama
bisa ditinjau ulang jika tak lagi sejalan dengan dinamika sosial keagamaan yang
terjadi dewasa ini. Kemudian pemerintah tak perlu ragu bersikap tegas terhadap
kelompok mana pun yang melanggar peraturan atau melakukan tindak pidana,
sekalipun mengatasnamakan Tuhan dan agama. Karena hakikat agama justru
menawarkan solusi dan suasana damai, bukan menciptakan kegaduhan.
Dalam
konteks dan konstelasi global yang karut-marut saat ini, diperlukan duta-duta
perdamaian dan toleransi yang menawarkan sisi cerah, positif, dan memperkaya
wawasan keberagaman dari masing-masing kita, sebagaimana keluwesan
(inklusifitas) ditunjukkan oleh seorang sufi Muidz ibn Al-Din Al-Arabi
(1165-1240) yang dikutip oleh Islamolog Karen Amstrong dalam bukunya,
"Twelve Steve to a Compassionate Life, berikut ini “Jangan ikatkan dirimu
pada satu kredo tertentu dengan begitu ekslusif sehingga engkau mengkafirkan
yang selebihnya; jika tidak engkau akan kehilangan banyak kebaikan, bahkan
engkau akan gagal mengenali kebenaran sejati dari masalah ini. Allah, Yang
Mahahadir dan Mahakuasa, tidak dibatasi oleh satu kredo, karena Dia berkata,
“Ke mana pun engkau berpaling, di sana ada wajah Allah.”
*Tulisan ini terbit dalam buku penulis berjudul “Kami Tahu Mesin Berhenti, Sebab Kami Nyawa yang Menggerakkannya (Diandra, Yogyakarta, 2014).
0 Komentar