ilustrasi |
Oleh: Jumardi Putra*
"Krisis moral politik kita sudah sempurna!" Begitu pesan Buya Syafii Maarif, seorang
cendekiawan tanah air (2011). Apa pasal? Pada saat bangsa kita dilanda berbagai malapetaka, seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, kemarahan alam, dan suhu
perpolitikan kita yang mulai kelihatan stabil di permukaan, seharusnya bangsa
ini mau melakukan intropeksi besar-besaran terhadap dirinya tentang berbagai
penyimpangan yang berlaku selama ini.
Sejurus kemudian, jika kita percaya pada
dialektika, seyogyanya suksesi kepemimpinan di negeri ini, baik lokal maupun
nasional, mampu merealisasikan hal-hal fundamental dalam skala yang lebih luas
dan masif, seperti pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan, penegakan
hukum, penyediaan lapangan pekerjaan, penghormatan terhadap keragaman agama dan
budaya, serta perluasan akses pendidikan dan kesehatan yang bermutu.
Namun, realitas menunjukkan potret yang kian rumit dan kompleks, yaitu di samping minusnya kesediaan penguasa mengoreksi diri, juga dirasuki penyakit yang oleh sejarawan Anhar Gongong (2000) katakan, “Tak ada lagi sosok bangsa yang berkeinginan untuk berjuang agar mampu “melampaui dirinya” dalam pengertian ia tidak hanya memikirkan dirinya, tetapi juga melakukan pergumulan untuk orang lain".
Fatalnya, virus itu juga menjalar sampai ke
akar rumput. Menginjak usia ke 69 tahun kemerdekaan republik ini, rakyat terus
menerus ngidam “kemerdekaan” dalam makna yang sesungguhnya. Lahir dan batin.
Lalu, bagaimana dengan amanah reformasi di usianya yang menginjak enam belas
tahun?
Secara formal institusi-institusi politik berjalan ke arah demokratis, yang ditandai dengan partai yang semakin majemuk, masyarakat sipil yang semakin menguat, hubungan parlemen dan eksekutif yang kritis, sedangkan tujuan-tujuan demokrasi seperti keadilan, kesejahteraan rakyat, dan penegakan hukum masih jauh panggang dari api.
Tekhnosof Baharuddin Jusuf Habibie, dalam orasi ilmiahnya
pada Momorial Lecture untuk Sutan
Takdir Alisahbana di Taman Ismail Marszuki (2011) menyebutkan, negeri ini sedang mengidap
penyakit orientasi. Apa itu? Kita lebih mengandalkan sumber daya alam daripada
sumber daya manusia; lebih berorientasi jangka pendek daripada jangka panjang;
lebih melirik makro daripada mikro ekonomi; lebih mengandalkan cost added daripada value addd (more comparative rather than competitive
advantages); lebih berorientasi pada neraca perdagangan dan pembayaran
daripada neraca jam kerja; lebih menyukai “jalan pintas” (korupsi, kolusi,
penyelewengan, dan sebagainya) daripada kejujuran dan kebajikan; lebih
menganggap jabatan (power) sebagai tujuan daripada sebagai sarana untuk
mencapai tujuan (power centered rather
than accountable (amanah) orientation”.
Akibatnya pembangunan ekonomi di Indonesia
dua puluh tahun terakhir ini rakus bahan bakar fosil, rakus bahan mentah
hayati, rakus air, rakus menguras sumber daya alam tak terbarukan, rakus lahan
dan tanah, dan rakus buruh murah, serta melibatkan kekerasan yang militeristik.
Bedah buku penulis bersama antropolog Dr. Adi Prasetidjo dan Jurnalis Harian Kompas Irma Tambunan (Kota Jambi, 2014) |
Merujuk laporan Harian Kompas yang bertajuk Memaknai Pembangunan: Dirampok Keserakahan dan Kerakusan (Juni 2012), kita mengetahui kegiatan pertambangan besar-besaran telah mengusur kedaulatan pangan. Persawahan hijau telah berubah menjadi tambang batu bara. Laju konversi lahan pangan tak terkendali, mencapai 100.000 hektar per tahun. Jumlah petani berkurang sekitar 7, 42 persen atau 3, 1 juta pada 2011, meski masih mencakup 39 persen dari populasi kerja. Frekuensi melaut nelayan tradisional turun dari 240-300 hari menjadi 160-180 hari per tahun. Jumlah nelayan menurun drastis, dari 4 juta menjadi 2, 3 juta (2011), serta konflik kelautan dan pesisir yang terus berlangsung.
Bertolak dari keadaan di atas tersebut, di
sini lah sebagian besar esai-esai saya, yang terhimpun dalam buku berjudul Kami Tahu Mesin Berhenti Sebab Kami Nyawa
yang Menggerakkannya (Diandra, Yogyakarta, 2014), menemui arena cakap-renungnya. Seperti sebuah
cita-cita, dalam buku ini teranyam jaringan makna dan fakta yang menyangkut
gagasan-gagasan ideal, takaran-takaran normatif, dan refleksi sebagai nation,
serta peran negara, merujuk Mudji Sutrisno (2000), sebagai institusi sosial
yang dirancang sebagai pengorganisasian kehidupan bersama dan mencerminkan
kehendak umum pada partisipasi, representasi, dan akuntabilitas.
Buku ini merupakan sehimpun esai yang saya
kerjakan dalam kurun waktu lima tahun (2008-2014), sejak saya masih di
Yogyakarta hingga kini tinggal dan bekerja di Kota Jambi. Hampir secara
keseluruhan esai dalam buku ini telah mengalami perbaikan dan pengembangan
sejauh yang diperlukan. Karena itu, konteks permasalahan yang termuat dalam
buku ini harus dibaca pada kurun waktu tersebut.
Esai-esai yang termuat dalam buku
ini, sesederhana apapun adanya, mengajak saya, anda, dan kita semua menatap
lekat-lekat wajah Indonesia yang amat memperihatinkan. Namun, nun jauh di sana,
di seberang cakrawala selalu terdapat secercah harapan. Harapan yang dapat
membuat kita tersenyum menatap masa depan republik Indonesia yang lebih baik.
*Tulisan ini merupakan tirai pembuka pada buku penulis yang berjudul “Kami Tahu Mesin Berhenti Sebab Kami Nyawa yang Menggerakkannya” (Diandra, Yogyakarta, 2014).
0 Komentar