Prie GS |
Oleh: Jumardi Putra*
Jagad kebudayaan tanah air
diliputi mendung tebal. Budayawan mbeling Prie GS tutup usia pada Jumat
(12/2/2021), pukul 06.30 WIB di Rumah Sakit Columbia Asia, Kota Semarang,
akibat serangan jantung.
Kepergiannya yang begitu mendadak
membuat banyak sahabatnya menaruh rasa tidak percaya. Bahkan, belum genap 24 jam
sebelumnya, entah mengapa saya memilih membaca lagi bukunya yang berjudul Hidup
Bukan Hanya Urusan Perut, yang terbit empat belas tahun lalu.
Ungkapan dukacita sekaligus
kalimat tayyibah datang silih
berganti memenuhi dinding facebook mendiang,
salah satu kanal interaktifnya di lini maya, tempat ia saling sapa sekaligus menggoreskan
gagasan yang tidak saja reflektif, tapi juga menggelitik.
Beragam media online pun sigap mengabarkan wafatnya
Prie GS sekaligus mewartakan kiprahnya semasa hidup baik sebagai wartawan,
kartunis, penyair, penulis, dan public
speaker di berbagai seminar, diskusi, dan menjadi host untuk acaranya sendiri, baik di radio maupun televisi.
Sebagai bentuk penghormatan pula,
tidak sedikit para sahabatnya di fb memasang kenangan foto bersama almarhum pada
suatu waktu dan di suatu tempat yang memberikan kesan mendalam. Rasa kehilangan
akan pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah, 3 Februari 1965 ini menegaskan bahwa
Prie GS adalah individu yang menyenangkan.
Berita lelayu pria bernama lengkap Supriyanto GS ini saya ketahui pertama
kali di dinding facebook K.H. Ahmad
Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus. Galibnya, saban Jumat pengasuh
Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini menulis kalimat reflektif
berisikan permenungan ajaran Islam yang dihubungkan pada peristiwa sehari-hari.
Kalimat-kalimat menggugah (jauh dari sikap menggurui) itu dikenal warga maya
sebagai “Jumat Call”. Bagi Gus Mus, Prie GS adalah sosok yang selalu ingin
membahagiakan orang lain. Allahuyarham.
Saya belum pernah bertemu
langsung dengan Prie GS. Nama sekaligus buah pemikirannya saya ketahui melalui
buku-bukunya sedari belasan tahun yang lalu, seperti Merenung Sampai Mati
(2004), Mari Menjadi Kampungan (2005), Hidup Bukan Hanya Urusan Perut (2007),
Indonesia Jungkir Balik (2012), Hidup ini Keras, Maka Gebuklah (2012), Waras di
Zaman Edan (2013), Indonesia Tertawa, Hidup Boleh Susah, Jiwa Tetap Bahagia
(2014), dan Mendadak Haji (2016). Selain kolom-kolom, tulisan Prie GS juga
berupa puisi, cerpen, kartun, maupun buku-buku humor.
Buku-buku Prie GS |
Di jagad pertelevisian budayawan
Prie GS bukan pendatang baru. Selain program acara Humor Sufi di kanal YouTube Coklat TV bersama Candra Malik,
saya juga sempat menyaksikan acara Humor Sahur Kang Prie di MetroTV. Dalam
acara tersebut, Prie GS mengundang sejumlah tokoh berbicara beragam isu nasional
namun dengan cara santai dan berbobot.
Di balik ketajaman indra dan sosoknya
yang humoris, letupan pemikiran Prie GS juga memikat. Ia selalu menggunakan
bahasa yang lugas, enak didengar, mudah dicerna, namun memiliki kedalaman makna.
Kemampuan demikian itu tentu
tidak didapat dalam waktu sekejap, tetapi diakuinya melewati tempaan yang
panjang. Jauh sebelum dikenal luas
sebagai public speaker, ia mengawali
kariernya sebagai wartawan di harian umum Suara Merdeka Semarang, Jawa Tengah.
Selepas SMA, Prie GS menekuni dunia kartun, dan sempat belajar khusus kepada
kartunis kawakan dari Harian Umum Kompas, G.M. Sudarta. Prie GS sempat kuliah
di jurusan seni Musik di Universitas Negeri Semarang, tapi tidak
diselesaikannya. Saya tidak tahu apa sebabnya.
Humor-humor Prie GS menawarkan kesegaran. Tak jarang ia
menjadikan dirinya sendiri sebagai objek banyolan, tapi sesungguhnya menyenggol
spektrum yang lebih luas. Begitu juga jejak kejenakaannya yang mengundang tawa
pemirsa saat tampil di tivi juga saya temukan dalam tulisan-tulisannya.
Salah satu bukunya yang berjudul Hidup Bukan Hanya Urusan Perut, yang
diterbitkan oleh Transmedia pada tahun 2007, adalah contoh yang tak
terbantahkan. Sepintas isi buku Prie GS itu mengingatkan saya pada buku
kumpulan esai mendiang sastrawan sufistik Danarto yang berjudul Begitu Ya Begitu, tapi Mbok Jangan Begitu
(edisi Diva Press, 2016). Perbedaan antara keduanya lebih kepada strategi
narasi dan lingkup peristiwa aktualnya.
Selain tulisannya yang renyah
karena dibuat seperti kisah, juga sudut pandangnya yang selalu tidak terduga.
Membaca 55 tulisan di buku ini kita sedang melihat wajah keindonesiaan melalui
peristiwa sehari-hari. Strategi penceritaan yang ia gunakan adalah dengan cara membingkai
peristiwa dengan humor yang berfokus pada diri, keluarga dan lingkungan
sekitar. Cerdiknya, sekalipun kritik tajam seolah hanya ditujukan untuk dirinya
atau lingkungan terdekatnya, sejatinya juga untuk orang lain (tidak terkecuali
untuk pengambil kebijakan di semual level institusi di negeri ini).
Melalui tulisannya yang bertajuk Ada Nyamuk yang Berpelukan (Hal 1),
pembaca diajak mengenali paradigma usang yang bercokol di pikiran kita selama
ini bahwa ia tak lain adalah musuh yang harus dibasmi. Oleh Prie GS melihat Nyamuk
yang Berpelukan itu tidak berhenti dalam pengertiannya yang sempit, melainkan
kita menjadi tahu perlakuan kurang tepat orang-orang ketika menjenguk pasien demam
berdarah kaitannya dengan biaya rumah sakit dan kesembuhan (kebetulan subjek
dalam cerita itu adalah Prie GS sendiri).
Dari tulisan yang sama pembaca
diajak merefleksikan kondisi rumah tangga yang penuh cekcok, meski di permukaan
selalu tampak penuh kemesraan. Begitu juga fenomena dua remaja yang memadu
kasih di tempat umum, serta watak sekaligus karakter nyamuk yang sedang
berpelukan itu sendiri sebagai tamsilan atas situasi komplek sosial
kemasyarakatan kita, sebagaimana corak yang sama juga kita jumpai pada
tulisannya yang berjudul Nyamuk Pembawa Hikmah (Hal 105), yakni perspektif
seorang Prie GS yang melampui perkara nyamuk semata sebagai teror terhadap
ketahanan tubuh manusia yang hidup di
iklim tropis.
Pada tulisan berjudul Aku Mendongeng dan Kau Tak Memujiku (Hal.
4) pembaca diajak mengakrabi lagi realitas keseharian keluarga kita, yaitu
tentang sulitnya membuat bayi tidur nyenyak. Prie GS memulai tulisannya dengan
kalimat yang menyentuh, seperti berikut ini, “Jika ada tidur yang menjadi
keramat, itulah tidur anak, tepatnya bayi, tepatnya lagi bayi kita sendiri”.
Dengan piawai Prie GS menarasikan kesulitan demi kesulitan (sekalipun Prie GS
menyebutnya sebagai tantangan) untuk menidurkan bayi.
Point dari tulisan tersebut,
selain menunjukkan tantangan bagi orangtua, utamanya ayah saat menidurkan anak,
dan itu yang acapkali memunculkan konflik dalam sebuah keluarga. Ayah terlalu
fokus pada kehendak agar anak bisa tidur segera, tapi lupa bersungguh-sungguh mencari
tahu dan mengamalkan cara-cara jitu tanpa harus dengan marah-marah, apalagi
mengancam.
Prie GS memberi contoh langsung
bagaimana menidurkan anak dengan membacakan dongeng. Meski melelahkan, namanya
juga anak, tapi faktanya ia berhasil mengantarkan anaknya tidur dengan tenang. Dongeng,
apanya yang menarik? Galibnya para ayah, meski hanya sekali-kali mengantarkan
anak tidur, sudah berpikir seolah hal demikian itu ia lakukan beratus kali,
sebagaimana ibunya. Bedanya, bila para ayah gemar mengklaim, sedangkan para ibu
justru sebaliknya. Bekerja dalam diam dengan atas nama cinta dan pengabdian. Pendeknya,
judul tulisannya tadi itu tak lain adalah otokritik Prie GS untuk dirinya
sendiri sebagai ayah, dan sudah barang tentu juga buat para ayah sedunia.
Mengingat dunia anak-anak dan sekaligus
relasinya dengan orangtua, dengan segala kompleksitasnya, akan pembaca dapati
dalam kisah-kisah serupa dengan peristiwa yang beragam seperti pada tulisan
Prie GS yang berjudul Anak-anak Nakal (Hal 7), Anakku Berdiri di Balik Jendela
(Hal 10), Anakku dan VCD Sekolahnya (Hal 13), Anakku Kena Jotos (Hal 16), Badut
Ulang Tahun (Hal 22), Jika Anakmu Mulai Pintar Menipu (Hal 56), dan Rasa Aman
Anak dan Bapaknya (Hal 136).
Lain dunia anak dan relasinya
dengan orangtua serta dinamika keluarga, lain pula pada tulisan Prie GS yang
berjudul Baju Renang Artika, sang Putri Indonesia (Polemik kontes kencantikan ratu
sejagad. Hal 25), potret buram dunia kesehatan tanah air yang memperdagangkan
kesakitan dengan pongah (Berobat Hingga Jauh ke Negeri Singa. Hal 30),
kegetiran yang menyenangkan seorang Prie GS mengisi seminar mahasiswa di kampus
“miskin” hanya berbayarkan terima kasih, dan bahkan terkadang ia juga dimintai
bantuan oleh panitia yang mengundang (Di Mana Ada Kemauan di situ Ada
Ambulans. Hal 33), pisokologi sumuk dan amuk amarah orang-orang di jalanan yang
macet (Ekor Truk Bermasalah. Hal 38), belajar memaknai rukun tetangga di
tengah amuk budaya iri akan kepemilikan harta dan rumah mewah (Gas Mobil
Tetangga. Hal 41), penghormatan tulus anak-anak pada gurunya, sebuah budaya
yang sekarang makin terkikis lantaran praktek belajar-mengajar berhenti sebagai
fenomena pedagogis semata (Guru Kita Dahulu. Hal 44), Perubahan yang disalahartikan
sehingga justru menjerumuskan. Peristiwa di sebuah kampung yang mirip keadaan
negara, yang setiap memutuskan sesuatu, jatuhnya sepertinya salah melulu (Jalan Aspal di Kampungku. Hal. 50).
Pada tulisannya yang lain, Prie
GS juga menyinggung pentingnya toleransi dalam beragama di ruang-ruang publik. Bukan
persoalan mempertentangkan kebenaran sebuah agama, tetapi ketepatan menempatkan
inti ajaran agama di sebuah negara yang majemuk (Lihat Perasaan Kita Bersama.
Hal 127). Sedangkan pada tulisan berjudul Kalah
Rupo Menang Dowo (Hal 61) Prie GS mengajak pembaca agar tidak memaknai
dinamika kehidupan ini secara hitam putih, sebagaimana kisah dalam tulisan
tersebut berpangkal pada beragam teks di badan truk yang ia jumpai, yang menjadi
cerminan permasalahan sosio-kultur sebagian besar masyarakat akar rumput di
Indonesia, yang melulu berkutat pada isu ekonomi, kriminalitas, seks,
spiritualitas, serta kenyataan-kenyataan kecil yang paling fundamental, yang
kadang luput dari perhatian para pengambil kebijakan.
Di antara kisah menarik Prie GS
lainnya yang belum sempat saya tuliskan dalam kesempatan ini, yakni otokritik
Prie GS terhadap fakta kemiskinan yang melilit mayarakat akar rumput kita, yang
faktanya oleh industri hiburan tanah air dibuat semata sebagai hiburan. Penuh
paradoks, tapi begitulah realitas pahit di negeri ini. Kemiskinan begitu dekat,
begitu menjerat. Jeratan itu telah melilit kita bersama sehingga kita
kebingungan harus berbuat apa, menolong atau menertawakannya.
Otokritik apik Prie GS lainnya yang
menyentuh hati dapat kita baca pada tulisannya yang berjudul Pemilu Berhadiah (Hal 121). Dari tulisan
itu, meski belum menjelaskan fonemena dari keseluruhan wilayah di tanah air,
tapi dapat kita temukan benang merah, yakni betapa memilih pemimpin (baik
presiden, kepala daerah dan anggota legislatif sampai pada level terbawah
tingkat lurah) telah menambah daftar kesibukan warga. Sementara kesibukan warga
untuk memperbaiki derajat hidup belum juga ditunaikan oleh pemimpin yang
sebelumnya mereka mandatkan melalui pemilihan umum. Dus, jangan heran bila warga
lebih memilih sibuk bekerja ketimbang diminta datang ke Tempat Pemungutan Suara
(TPS).
Demikianlah sekelumit pengalaman
saya membaca tulisan-tulisan budayawan Prie GS. Membaca buah pikiran Prie GS,
sejatinya melihat dengan cermat situasi keindonesiaan kita. Selamat jalan, sang
budayawan.
*Tulisan ini terbit pertama kali tanggal 12 Februari 2021 di rubrik perspektif portal kajanglako.com
0 Komentar