Berdikari Bukan Sebatas Terminologi

ilustrasi. sumber: mengeja.id.

Oleh: Jumardi Putra*

Apa sejatinya saripati dari terminologi berdikari? Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, adalah orator ulung yang menggelorakan istilah tersebut di tengah perjuangan rakyat melawan penjajahan kolonial Belanda (baca: kapitalisme) saat itu.

Tidak hanya Soekarno, bahkan Tan Malaka pun menegaskan kemerdekaan 100% bakal terwujud manakala semua sektor strategis dalam bernegara dan berbangsa, seperti merdeka atas tanah, air, dan udara berada di tangan sendiri. Pendeknya, berdikari dalam ranah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan merupakan syarat mutlak untuk berkedaulatan dalam makna yang sesungguhnya.

 

Menjadi soal, di tengah remuknya ekonomi Indonesia, lantaran terkena terpaan resesi ekonomi global akhir-akhir ini, sepertinya istilah tersebut kian sepi dari keributan para akademisi, apatahlagi politisi.

 

Di tengah kondisi ekonomi yang pelik, pemerintah harus berpikir besar dan bertindak cepat serta tepat agar bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan yang tidak berkesudahan.

 

Sedari bersama, pendidikan adalah landasan pacu (to build nation) untuk melahirkan generasi-generasi masa depan. Pertanian adalah lahan strategis sekaligus laku kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Nelayan pun sama, merupakan ruh dari negara yang dilahirkan dari rahim kepulauan. Muncul pertanyaan, apakah ketiga sektor tersebut telah benar-benar menjadikan pemerintah serius menentukan skala prioritas untuk segera diejawantahkan.

 

Saat bersamaan, masyarakat sudah bekerja pontang-panting untuk sekadar bertahan hidup, tetapi tetap saja dibayang-bayangi hantu kemiskinan. Apa yang salah dari mereka, bukankah mereka sudah berdikari?

 

Istilah berdikari selama ini cenderung ekslusif, disebabkan tidak diposisikan di atas pijakan kebutuhan seluruh masyarakat tentang kedaulatan dalam segala hal, serta tidak juga tercermin dalam banyak kebijakan publik. Berdikari hanya dimaknai sebagai sikap aktif warga negara untuk mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Lalu di mana keberadaan negara sebagai lembaga yang diamanahi oleh konstitusi untuk menciptakan masyarakat yang berdikari?

 

Sudah saatnya berdikari dipindahtanggungjawabkan kepada negara (pemerintah pusat maupun daerah) untuk meraih kedaulatan dalam makna yang semestinya. Ketika negara mampu membangun sektor strategis untuk bangkit, seperti pendidikan, pertanian, kelautan serta supremasi hukum, maka realisasi dari istilah berdikari dapat dipahami sekaligus dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat di seantero negeri ini.

 

Berdikari bukan sebatas terminologi, tetapi ia merupakan pandangan sekaligus sikap berkehidupan dalam bernegara dan berbangsa untuk merebut kedaulatan. Berdikari adalah harga diri sebuah bangsa di mata bangsa lain. 


Lalu, sudahkah para pejabat maupun elit politik di negeri ini bersungguh-sungguh mewujudkan hakikat berdikari? Entahlah!

 

*Oretan lama. 

0 Komentar