//
Bukan semata malam itu yang kuingat, tapi sepasang
matamu. Mata yang tak lekang oleh ranum rembulan. Mata yang peka pada segala bentuk kebaikan. Mata yang menerima segala tiba.
//
Bukan semata malam itu yang kuingat, tapi alis matamu yang tak lerai oleh hari-hari yang dilumuti daya dera yang menggilas. Alis mata yang kau rawat agar bisa membersamai pagi, siang, petang, dan malam hingga menjemput fajar. Alis mata yang kau pancarkan tidak untuk menolak kehadiran matahari, juga hujan, tapi dengan sukacita menerima keduanya penuh seluruh.
//
Bukan semata malam itu yang kuingat, tapi
pipimu yang putih kemerah-merahan. Pipi yang tak mengenal lelah, apalagi
menyerah. Pada pipimu, segala keluh kesah rebah dan dari pipimu pula air mata
mengabadikan kisah-kasih yang meski berkali-kali jatuh tapi tetap bangkit, lagi
dan lagi.
//
Bukan semata malam itu yang kuingat, tapi rambut
panjangmu yang basah dan jatuh di ranjang. Kuambil perlahan-lahan helai-helai
rambut itu dan kuselipkan di antara helai kertas pada sebuah buku yang belum
kuberi judul. Biarlah bersama aroma kertas, meski harus lapuk oleh kurun waktu
tak berbilang, hela-helai rambutmu mengabadi bersamanya.
Laut dan Pantai
Tak ubahnya laut dan pantai yang tak pernah saling bertanya mengapa mereka dipertemukan. Begitu juga aku. Menemukenali dirimu adalah perjumpaan yang digerakkan oleh waktu. Gonta ganti cuaca, angin yang gaduh, ombak yang bergulung-gulung, adalah pelayaranku membersamaimu.
Sepasang Sepatu
Kau berujar, “Kita akan terus bertemu setelah punya sepasang sepatu. Gunung yang hendak kita daki terlalu tinggi ditaklukkan hanya dengan telanjang kaki. Kita nyaris jatuh berkali-kali”.
Waktu menggelinding. Gunung-gunung menjadi saksi. Sepasang sepatu menandai puncaknya. Kita berdua pasih mengisahkannya.
Lekuk Senyum
Apa yang kau racik pada lekuk senyummu sehingga aku enggan berpaling. Laksana buku, helai-helai halaman di dalamnya selalu menceritakan tentangmu. Puisi-puisi yang kutulis juga bersumber dari satu musim di hatiku yaitu senyummu. Sebegitunya senyummu sehingga meliuk-liuk di sela degup jantungku.
Wangimu Tak Pernah Pergi
Kau telah lebih dulu menjadi akar, yang susah payah mendapatkan air lalu tumbuh, berputik dan menjadi bunga yang sehat dan semerbak mewangi.
Dalam amuk Semeru, kau bisa saja menyelamatkan diri lalu tumbuh sendiri, tapi nyatanya itu bukan pilihanmu, selain mendekap erat ibumu. Sosok yang meronai derapmu baik semasa lapang dan sempitmu. Yang pergi tak harus kembali.
Rumini, wangimu tak pernah pergi.
*Kota Jambi.
0 Komentar