ilustrasi jonpey. sumber: indoprogress |
Kritis atas penyelenggaraan pendidikan sah adanya. Demikian pernah dilakukan, untuk menyebut beberapa nama tokoh seperti Tan Malaka, YB. Mangunwijaya, Roem Topatimasang, Mansour Faqih, Eko Prasetyo dan Darmaningtiyas, mengamati lembaga pendidikan telah mengakibatkan involusi pada diri manusia, dari kafasitas evolutif berujung pada stagnasi (involutif). Sikap kritis tersebut tidak berhenti seputar kurikulum dan kebijakan akademik semata, tapi lebih jauh tentang emansipasi, liberasi, dan hajat hidup orang banyak.
Sulit menyangkal bahwa bidang pendidikan kian sepi dari pembicaraan kaum cerdik-cendekia di negeri ini. Pendidikan di setiap jenjang masih terjebak dalam urusan administrasi dan fortopolio. Kalaupun ia dipercakapkan, masih kalah seksi dibanding urusan ekonomi dan politik sebagai primadona di republik ini. Pilres maupun Pileg hanya menjadikan isu pendidikan sebagai komoditas politik.
Gagasan revolusi mental Presiden Jokowi pada periode pertama kekuasaan sempat membuat kita bahagia dengan harapan republik ini kembali menemukan mentalitas sebagai negara besar dan karenanya meniscayakan kerja-kerja bebarengan dengan didukung budaya kerja bersih dan melayani serta siap berkompetisi di level global tanpa harus tercerabut dari akar sejarah maupun kebudayaan sendiri.
Sayangnya, kian ke sini revolusi mental seolah kehilangan ghirah dan momentumnya untuk menjemput perubahan negeri ini secara fundamental. Bagaimana dengan merdeka belajar dan kampus merdeka di bawah nahkoda menteri pendidikan Nadiem Makarim? Gagasan baru seumur jagung itu masih memerlukan integrasi dari semua elemen dan komponen di setiap jenjang lembaga pendidikan dengan didukung perangkat lunak maupun keras agar gagasan tersebut menjadi model pembelajaran yang humanis dengan tetap berpijak pada kemandirian berpikir dan solutif.
Lembaga pendidikan sejatinya tidaklah netral dan bebas dari pelbagai
kepentingan. Ia menjadi bagian dari institusi sosial lain yang menjadi ajang
perebutan kepentingan (kekuasan), seperti lazim terjadi pada masa Orde Baru.
Antonio Gramsci, menurut Harold Entwistle (Antonio Gramsci, Concervative
Schooling for Radikal Politics, 1979) sangat menekankan pendidikan politik
rakyat untuk melawan hegemoni negara, agar ada keseimbangan antara ideologi
negara dan taraf kesadaran masyarakat.
Dalam buku Pendidikan Mazhab Kritis (Resist Book, 2008), M.
Agus Nuryatno menjelaskan keberadaan mazhab pendidikan kritis sebagai sebuah
paham yang memiliki orientasi politik untuk membela kaum yang mengalami penindasan
di bawah bayang-bayang penjarahan neo-liberalisme lewat seperangkat
pendukungnya, seperti lembaga keuangan IMF, Word Bank, dan lembaga perdagangan
dunia seperti WTO, NAFTA, AFTA, dan IDB.
Keberadaan mazhab
pendidikan kritis, dalam konteks pendidikan formal, menggunakan teori hegemoni Antonio Gramsci yakni memproduksi
critical subjectivity dan self-reflection dalam diri mahasiswa
atau murid sebagai pengantar untuk memahami, mengkritik, memproduksi, dan
menggunakan ilmu pengetahuan sebagai pisau analisa sekaligus menghadirkan
solusi atas problem sosial yang terjadi di sekitarnya.
Mazhab pendidikan kritis merupakan manifestasi dari basis
teori dan metodologi konsep pengetahuan Mazhab Frankfurt yang menolak tafsir
tunggal dan homogen, kemudian politik hegemoni Antonio Gramsci sebagai
manifestasi dari aksi pemberdayaan bagi masyarakat yang tertindas. Merujuk
pada konsep optimisme Paulo Freire tentang filsafat dasar manusia sebagai
makhluk yang selalu ingin berkembang dan bisa merubah realitas kehidupan. Singkatnya, lembaga pendidikan sengaja dirancang untuk menghadirkan generasi-generasi yang mampu menjadi artikulator sekaligus transformator
yang membuka tabir gelap latar sosial dengan melampaui asumsi-asumsi yang hanya
berdasarkan “common sense.”
Pekerjaan rumah bagi pengambil kebijakan sekarang yaitu mengembalikan lembaga pendidikan kepada misi sucinya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa sebab? Kondisi perguruan tinggi atau sekolah sebagai salah satu institusi sosial saat ini seringkali menampakkan wajah ganda yang kontradiktif, paradoks.
Di satu sisi, perguruan tinggi atau sekolah mengusung agenda
besar untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun pada praktiknya justru bertindak
otoriter, seperti yang terjadi pada peristiwa monas berdarah, 1 Juni 2008,
bertepatan hari Pancasila, dimana praktik kekerasan serta main hakim sendiri
seperti oleh oknum FPI terhadap mereka
yang berbeda paham dan pandangan. Begitu juga praktek korupsi para pejabat di semua level baik di lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tidak kalah penting juga aksi-aksi kontraproduktif yakni pergesekan antar etnis atau kelompok yang disebabkan oleh polarisasi imbas pesta demokrasi.
Di sisi lain, perguruan tinggi dan sekolah mempunyai visi
untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tetapi pada
praktiknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, seperti kaum miskin kota,
anak jalanan, dan komunitas akar rumput (gressroot) lainnya. Dengan kata lain, normativitas yang diajarkan di lembaga pendidikan masih dihadapkan dengan historisitas pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya warga negara yang belum sepenuhnya terwujudkan.
Komponen Strategis
Dalam konteks pendidikan formal, posisi guru-murid dan
dosen-mahasiswa menempati urutan terpenting bagi proses pendidikan yang
sensitif sosial. Pendidikan kritis meniscayakan mulai dari proses pembentukan
‘teks’ realitas sosial serta ilmu pengetahuan sampai pada penerimaan (knowledge
production) haruslah berjalan secara dialektis-dialogis.
Keduanya adalah sama, learner.
Muara dari gagasan itu, pengetahuan harus diletakkan di atas meja kritisisme
untuk didekonstruksi dan direkonstruksi secara bersama. Dalam pendidikan kritis
(Taylor 1983), terdapat tiga tahapan yang bisa meningkatkan kasadaran kritis
dalam setiap individu. Tiga tahapan tersebut merupakan derivasi dari filsafat
praksis, yakni (a) what is the problem,
(b) why is it happening, (c) what can be done to change this situation
(Pendidikan Mazhab Kritis, hlm. 10).
Pandangan demikian sejalan dengan pengertian belajar bagi
tokoh pendidikan kritis Paulo Freire, “Keseluruhan proses menjadi sadar (konsientitsasi)
akan situasi konkret di mana seseorang hidup, memahami bagaimana situasi itu
muncul, bagaimana merubahnya, dan lalu bertindak mengubahanya.” (Ellias, J.L.,
1976).
Saya teringat penggalan puisi W.S. Rendra berikut ini, “Aku bertanya, apakah gunanya pendidikan, bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah persoalan keadaannya/Apakah gunanya pendidikan, bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di Ibu kota/Kikuk pulang ke daerahnya….”.
Puisi si "Burung Merak" tersebut jelas kritik tajam bagi institusi
pendidikan di tanah air. Oleh karena itu, gagasan pendidikan kritis dapat
dimaknai sebagai titik pangkal bagi jalannya proses belajar-mengajar yang berkehendak melahirkan individu-individu yang merdeka, matang dan bertanggung jawab
terhadap realitas sosial.
*Kota Jambi.
0 Komentar