ilustrasi |
Oleh: Jumardi Putra*
Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati.
Berikut ini percikan permenungan sedari Maret 2021 sampai sekarang, meneruskan edisi sebelumnya (Dari Hari Ke Hari: Fragmen II) yang saya tulis singkat sebagai status di aplikasi perpesanan Whatsapp. Mungkin saja ada gunanya.
***
Melalui Kang Sejo kita kembali diyakinkan bahwa Allah SWT melalui
Al Quran tidak memerintahkan hambanya untuk berputus asa. Andai saja diperintahkan
untuk putus asa, kang Sejo lah orang pertama yang melakukannya. Saya dibuat
termenung agak lama usai membaca salah satu esai sebagaimana judul buku karya
Kang Sobary (GM, 1993), yakni betapa Kang Sejo, pria sepuh, tukang pijit, lagi
tunanetra, tegak di atas kaki sendiri. Seruwet apapun kehidupan yang dihadapi
ia tetap bekerja tanpa lupa berdoa dan berzikir, itu pun cukup dengan bahasa
Jawa yakni Gusti Ora Sare (Allah Tak Pernah Tidur: potongan
ayat kursi).
Ibarat berjalan, Kang Sejo telah sampai. Dalam kegelapan matanya
justru ia telah melihat Gusti Allah SWT. Sementara aku? Aku masih dalam taraf
terpesona. Terus menerus. Sebuah keadaan di mana agama masih sebatas laku
formal-prosedural. Itu pun lebih karena ingin terlihat seolah-olah beragama, lebih-lebih
dibumbui sesuatu yang serba kearab-araban agar disebut kaffah.
Terima kasih, Kang Sejo. Darimu aku belajar bahwa beragama itu sederhana. Tuhan
Mahatahu ketulusan hatimu. Penuh kelembutan dan kokoh tak tergoyahkan.
(20 Juni 2021)
Di eral digital, gawai menemukan fungsinya yang begitu dominan.
Tidak tergantikan. Sukar untuk membayangkan interaksi antar individu tanpa
menggunakan gawai. Gawai adalah produk teknologi mutakhir tak ubahnya budak
yang bisa memudahkan, tapi kali lain menjelma sebagai majikan yang menakutkan.
Orang-orang memberi komentar atau pun menulis mulai dari perkara serius sampai
hal remeh-temeh, entah itu ditulis panjang atau singkat, hadir bersamaan. Semua
campur baur. Media sosial menjadikannya meluas dan tumpah ruah tak beraturan.
Kuantitas menggantikan kualitas. Tak ada lagi kurasi laiknya di
media cetak yang peran itu dikerjakan oleh editor atau redaktur. Batasan antara
pengetahuan dan pendapat dengan gossip, gerundel, ngedumel, caci maki, menjadi
sumir.
Demikian sihir gawai. Bila kita tidak memperisai diri dengan
pandangan maupun sikap yang tepat dalam memanfaatkan gawai di tengah surplus
informasi sekarang, maka jelas kita akan terdampar di pulau antah berantah. Ke
mana lagi tempat kita bertaut?
(19 Juni 2021)
Dulu semasa mahasiswa menulis lebih didorong dan bertujuan
mengubah dunia (di luar ingin terlihat intelek di antara civitas akademika,
lebih-lebih di hadapan mahasiswi. hehe), tetapi berjalannya waktu menulis tidak
lagi dodorong untuk tujuan-tujuan besar, melainkan memungut hal-hal kecil dalam
keseharian yang mungkin terlewatkan oleh kebanyakan dari kita, terlebih di
tengah zaman yang berlari kencang.
Selain itu, menulis tak lain dari usaha menjaga kewarasan dan
berharap dapat memantik sesiapa saja untuk melakukan kerja-kerja lanjutan,
ambil misal mendiskusikan, meneliti dan mengembangkan pada hal-hal yang
bermanfaat dan menemukan kemungkinan-kemungkinan solusi terhadap persoalan
kehidupan yang kompleks.
Hanya itu? Ya, dan bisa jadi setiap penulis punya macam-macam
alasan disertai argumentasi. Prinsip utamanya yaitu dengan menulis
masing-masing kita bisa terhindar dari penyakit lupa yang kemudian kerap
terjadi. Di situlah, makna belajar sekaligus menjadi pembelajar menemukan
konteksnya.
(14 Juni 2021)
Ulah Cristiano Ronaldo menyingkirkan botol minuman Coca
Cola dalam sebuah konferensi pers menjelang timnya melawan Hongaria di
laga Grup F Euro 2020, Senin (14/6/2021), lantas menjadikannya buah bibir
sejagad hingga membuat perusahaan minuman kemasan multinasional asal Amerika
Serikat itu menelan kerugian cukup besar dalam waktu yang relatif singkat,
seperti dilansir banyak media mencapai puluhan triliun.
Pangkal soalnya bukan di situ, dan sejatinya ini lebih dari
sekadar tentang pola hidup sehat, sebut saja sebagaimana secara simbolik
Ronaldo mengangkat botol minuman air mineral, melainkan kenapa dan bagaimana
kapitalisme selalu punya cara untuk menyihir (kalau bukan mengelabui) warga
dunia agar terbawa pada situasi dimana yang “rasa-rasanya” butuh tak lain
adalah kebutuhan itu sendiri, yang tidak bisa tidak musti
dipenuhi. Apatahlagi dijustifikasi dengan merk dan segala
macam rayuan iklan secara masif dan sistematis melalui mass media dan
kanal-kanal sugestif lainnya. Sebuah masyarakat yang digergaji konsumsi.
Masyarakat yang tidak lagi otonom di hadapan pasar yang bekerja secara
ekstraktif.
Dari soal menyingkirkan posisi botol minuman Coca Cola,
kita seharusnya beranjak membicarakan hal yang lebih mendasar, yaitu bagaimana
kita mampu keluar dari amukan pasar (baca: kapitalisme). Bukan begitu?
(18 Juni 2021)
Tidak ada kebahagiaan yang patut dirayakan, selain menyadari bahwa
ide yang dipertaruhkan berhasil dituntaskan. Selamat bekerja. Semoga Tuhan dan
alam semesta menyertai mimpi-mimpi yang disertai langkah bertaji.
(16 Juni 2021)
Membaca itu adalah sebuah peristiwa, tidak semata kerja kognisi.
Multisisi. Karenanya sukar untuk membayangkan bilamana kesimpulan terhadap
suatu hal didapati tanpa disertai membaca secara sungguh-sungguh. Sehingga apa
kesungguhan dalam membaca berlaku niscaya? Tersebab serba hitam putih adalah
penanda bahwa kita masih berkacamata kuda.
(14 Mei 2021)
Sejarah setiap tulisan macam-macam. Ada tulisan selesai dibuat
tidak lama setelah melakukan permenungan mendalam, mengikuti konferensi,
seminar, diskusi, dan baca buku. Ada juga tulisan dibuat membutuhkan waktu yang
panjang seperti setelah melakukan penelitian mendalam. Bisa juga karena
didorong oleh hal-hal lain yang menarik perhatian si penulis untuk segera
mengabadikannya sehingga bisa dibaca publik.
Bahkan ada juga tulisan yang tidak pernah jadi dibuat. Sebabnya
juga macam-macam. Bisa jadi merasa tidak ada hal baru yang mampu ditorehkan
sehingga untuk apa mengulang yang telah ditulis oleh orang lain. Bisa juga
karena stag dan jatuh dalam kejumudan, dan mungkin juga karena alasan kesibukan
ini dan itu sehingga memilih untuk mengabaikannya. Maka, sebaik-baiknya tulisan
adalah tulisan yang selesai dibuat, menyuguhkan hal-hal baru, dan enak dibaca
dan pelu. Pada hal-hal yang demikian itu saya masih harus terus belajar.
(13 Mei 2021)
Pagi masih diliputi mendung dan hujan kecil. Serasa enggan
beranjak dari basah sebasah-basahnya sedari malam. Tetapi pagi sebagaimana
mestinya, tidak durja pada mentari yang bersetia menyinari seisi bumi. Laiknya
kobaran api, langkah musti bertaji. Menapaki langkah, menjemput tuah, dan
menunaikan amanah.
Disebut sebagai apa pagi ini, agar kita terhindar dari lupa yang
kemudian kerap terjadi?
(18 Mei 2021)
Saat di bangku sekolah dasar, saya kerap diajak bapak sore hari ke
sungai kecil yanag berada tak jauh dari kebun karet miliknya. Kebun karet milik
kakek dipisahkan oleh Batang Bungo, tepatnya di tepi jalan lintas Sumatra, Desa
Sungai Mancur. Di situlah kami terkadang mencuci mobil maupun motor butut
miliknya. Air sungainya amat jernih. Saat itu pula saya mandi sepuas-puasnya.
Kebahagian bagi seorang anak seusiaku di masa itu begitu sederhana, yaitu mandi
di sungai.
Peristiwa yang hampir 36 tahun itu kini terulang kembali. Bedanya
dulu saya ditemani bapak, kini justru saya membersamai cucu pertamanya, anak
saya sendiri, yaitu Kaindra Gafna Al Farisi. Mandi di sungai yang airnya bersih
dan jernih sekarang ini boleh dikata oase, karena di samping sulit menemukan
sungai yang bersih dan jernih, juga keberadaannya yang luluhlantak oleh
aktivitas Peti yang abai terhadap ekosistem sungai.
(15 Mei 2021)
Saya tak pernah bisa menjamin sepenuhnya sikap kehati-hatian di
jalan, lebih-lebih di siang hari yang terik dan juga kemacetan panjang oleh
kendaraan besar, diikuti oleh pengendara lainnya. Semua bergegas agar sampai ke
tujuan masing-masing. Dalam situasi itu kerapkali yang kita tidak inginkan
justru terjadi, dan itu menimpa saya sendiri. Tetiba sebuah motor yang
dikendarai seorang remaja tanggung menabrak saya dari arah belakang. Saya jatuh
bersama motor.
Alhamdulillah, Tuhan masih masih beri saya kesempatan melanjutkan
hidup. Hanya lecet di bagian kaki, sepatu robek, dan sepenuhnya sehat.
Sementara remaja itu tadi jatuh dalam kondisi lemah dan motornya juga rusak di
beberapa bagian. Warga yang mengetahui aksi ngebut si remaja tanggung itu tadi
ikut memarahinya. Saya membantunya untuk bangkit dan dia meminta maaf atas
kecerobohannya. Kami pun pulang ke alamat rumah masing-masing sembari menunggu
beduk magrib.
(29 April 2021)
Yang paling saya ingat kalimat menggugah dari cendekiawan
muslim cum sejarahwan Prof. Syafii Maarif adalah “Seandainya
di dalam al-quran ada perintah untuk putus asa (pesimis), sayalah orang pertama
yang akan melakukannya”.
Betapa kalimat tersebut menyimpan "marah besar", kalau
bukan kekecawaan, melihat situasi Indonesia yang tak kunjung berhasil keluar
dari krisis multidimensional sejak reformasi. Dimulai di bidang politik, krisis
kepemimpinan terjadi karena diisi oleh politikus “rabun ayam” yang jangkau
pandangannya amat terbatas pada kepentingan diri dan kelompoknya, struktur
politik dibangun di atas landasan budaya agraris-feodalistik, yang dipupuk
bersamaan pengikisan budaya maritim yang dicirikan pada keterbukaan sekaligus
progresifitas.
Sebenarnya kita berharap pada pendidikan untuk mendapatkan
generasi yang mampu menjawab persoalan-persoalan krusial negeri ini, tapi
agaknya itu tak lebih dari harapan tak berkaki, karena pendidikan tetap
feri-feri, di urutan paling buncit di bawah ekonomi sebagai panglima.
Bisakah Islam menjadi solusi? Pikiran-pikiran kritis dan reflektif
buya Syafii Maarif dalam bingkai keindonesiaan, sebagaimana karya-karya
tulisnya konsisten sampai sekarang, akan mengantarkan pembaca pada hamparan
pengetahuan, refleksi mendalam, sekaligus kemungkinan-kemungkinan solusi jangka
panjang untuk perbaikan negeri yang kita cintai ini.
(29 Maret 2021)
Empat hari lalu, Radhar Panca Dahana tutup usia. Indonesia kembali
kehilangan sosok bersahaja dan berdedikasi di lapangan kebudayaan.
Tulisan-tulisannya menyoal pelbagai persoalan di tanah air, mulai soal seni,
sastra, sosial, politik, ekonomi dan potret buram penegakan hukum serta kerja
birokrasi negeri yang tak kunjung berhasil memperadabkan negeri sebagaimana
amanat konstitusi dan cita-cita reformasi, yang puncaknya segaris dan sebangun
dengan hulu-hilir kebudayaan sebagai bagian integral dari pembangunan.
Kemampuan analisis Radhar, utamanya ditopang oleh disiplin ilmu
sosiologi dan penguasaan literatur yang luas, juga karena keterlibatannya di
lapangan kebudayaan, membuat tulisan-tulisannya, meski terkadang kentara ia
begitu “marah”, tetapi tetap dilandasi oleh kritisisme dan pikiran jernih,
tanpa tedeng aling-aling, reflektif, runtun dan perspektifnya selalu khas.
Maka, selain mengirimkan doa terbaik untuk mendiang, membaca
kembali karya tulisnya adalah cara tepat yang dapat kita lakukan, dan karena
itu ia sesungguhnya tidak pernah pergi. Lahu al fatihah.
(27 April 2021).
0 Komentar