PLTU Sawahlunto tahun 1900-1942 |
Oleh: Jumardi Putra*
Hari elok
ketiko baik, begitu bunyi
penggalan seloko Jambi. Jumat, 10 Desember 2020 adalah hari
baik (kalau bukan istimewa) buat saya karena kali pertama menginjakkan kaki
sekaligus menikmati hawa sejuk kota tua bekas tambang batu bara Sawahlunto,
provinsi Sumatra Barat.
Bukan hanya saya menyaksikan jalur kereta api yang dibangun
menembus perbukitan Bukit Barisan dan melintasi kawasan terbuka, tetapi saya
juga bisa membayangkan kota tambang yang dibangun secara terintegrasi di
kisaran penghujung abad ke 19 dan awal abad ke 20, yang terdiri dari area
industri, bisnis dan perdagangan, hunian, administrasi pemerintahan, serta
fasilitas kesehatan. Capaian gemilang demikian tentulah menyimpan banyak
cerita, lengkap dengan paradoksnya.
Sebelumnya, seluk beluk kota kecil ini saya ketahui hanya melalui buku, liputan berita, dan cerita lapangan dari sebagian kecil arkeolog. Bersamaan dengan itu, keberhasilan pemerintah kota Sawahlunto bersama stakeholder lainnya mendapatkan pengakuan UNESCO yakni Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto pada 6 Juli 2019 memicu kawan-kawan pegiat cagar budaya di provinsi Jambi mendorong pemerintah Kabupaten Muarojambi bersama pemerintah provinsi Jambi agar bersungguh-sungguh mengurusi kawasan Percandian Muarojambi sehingga status yang sekarang masih termangu dalam “daftar tunggu” sedari tahun 2009 benar-benar bisa ditetapkan menjadi situs warisan dunia kategori budaya (world heritage) oleh UNESCO.
Kawasan bekas
tambang batu bara Sawahlunto ini berada di wilayah seluas 89,71 hektar, meliputi tiga kecamatan yakni Kecamatan Segar, Barangin, dan Kecamatan
Silungkang. Sawahlunto pernah berjaya hampir seabad sebagai kawasan tambang
batu bara. Situs ini tercatat sebagai pertambangan pertama di Asia Tenggara yang
pada abad ke-19 menerapkan teknik penambangan bawah tanah untuk mengambil bijih
batu bara berkualitas super di kedalaman 40 – 100 meter.
Merujuk buku
karya Andi Asoka, dkk, berjudul Sawahlunto, Dulu, Kini dan Esok (Menjadi Kota
Wisata Tambang yang Berbudaya), terbitan LPTIK Universitas Andalas
(2016), perkembangan kota Sawahlunto dimulai sejak ditemukannya tambang
batubara oleh pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-19, tepatnya pada
tahun 1868 oleh ahli geologi WH. de Greve. De Greve menemukan adanya potensi
besar kandungan batu bara di tepi sungai Ombilin yakni 200 juta ton dengan
kualitas di atas 4.500 kalori per kilogram batu bara dan masuk kategori terbaik
saat itu.
Menurut catatan dua geolog Belanda yang pertama kali melakukan eksplorasi pada 1867, De Greve dan Kalshoven, Sawahlunto ketika itu belum menjadi daerah hunian warga sebagaimana sekarang ini. Kondisi ini terbukti ketika geolog Belanda lain yaitu RDM Verbeek juga melakukan eksplorasi di sana pada tahun 1875.
Kota Sawahlunto dilihat dari Puncak Cemara |
Kunjungan saya
ke kota Sawahlunto dari Desa Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten
Bungo, tidak sendirian, melainkan bersama keluarga karena bertepatan liburan
sekolah. Bak kata pepatah menyelam sambil minum air. Liburan yes.
Asupan nutrisi sejarah dan budaya menyertai. Begitulah kira-kira konsep piknik
kami.
Menjatuhkan
pilihan piknik ke kota Sawahlunto sempat dirundung kekhawatiran lantaran
pagebluk corona belum sepenuhnya berakhir. Namun berkat informasi dari arkeolog
Bung Didi AB yang menghubungkan saya pada arkeolog Muhammad Afif Hasibuan yang sedang melakukan penelitian di Sawahlunto membuat kami sedikit lega.
Kami pun
berangkat dengan tetap mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Budi baik Bung
Afif jugalah yang berkenan mendampingi kami selama menyusuri kawasan bersejarah
di Sawahlunto. Sepulang dari Sawahlunto pun Bung Afif mengirimkan beberapa
literatur dalam bahasa Indonesia maupun Belanda tentang Ombiliin Sawahlunto.
Sekali lagi, Terima kasih Bung!
Jarak tempuh Empelu ke Sawahlunto memerlukan waktu lebih dari empat jam. Jalanan saat itu tidak ramai oleh truk-truk besar yang melintasi jalan lintas Sumatera sebagaimana hari-hari biasanya. Hanya saja jalanan berlubang yang kerap kami jumpai cukup mengganggu. Kondisi jalan demikian mengingatkan saya pada ocehan sahabat Datuk Nik Hasan Suhaimi asal negara Brunei Darussalam, sekira tujuh tahun lalu saat dirinya menempuh jalur darat dari Padang ke Kota Jambi mengikuti perhelatan Pertemuan Penyair Lima Negara (PPN-V) yang ditaja oleh Dewan Kesenian Provinsi Jambi. Rentang waktu tujuh tahun jelas ada perubahan kualitas jalan, tetapi saya tidak tahu persis seberapa lompatan kualitatifnya. Yang jelas jalanan berlubang tidak hanya mengganggu bagi pengguna jalan, tetapi juga bisa membahayakan.
Setiba di
Sawahlunto pukul 11.50 WIB kami langsung menuju Masjid Agung Nurul Islam, karena
bertepatan ibadah shalat Jumat. Masjid ini berlokasi di Kelurahan Kubang
Sirakuak Utara, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, berjarak sekitar 150
meter dari Museum Kereta Api.
Masjid Nurul
Islam ini berbeda dengan bangunan masjid umumnya di ranah Minang. Bangunan
utama Masjid seluas 60x60 meter ini memiliki satu kubah besar di tengah dan
dikelilingi empat kubah ukuran kecil. Sebelum beralih fungsi sebagai rumah
ibadah, bangunan ini merupakan pusat pembangkit listrik tenaga uap yang
didirikan pada tahun 1894 dengan memanfaatkan aliran Sungai Batang Lunto
sebagai sumber tenaga. Tetapi karena debit air sungai kian berkurang, PLTU
dipindahkan ke Salak, Talawi.
Berjalannya
waktu, bekas bangunan PLTU itu dimanfaatkan warga setempat ketika turut
berjuang dalam masa revolusi Indonesia sampai mempertahankan kemerdekaan.
Barulah tahun 1952 setelah merdeka, pemerintah mengalih fungsi bangunan tersebut
menjadi rumah ibadah bagi mayoritas pemeluk Islam di Sawahlunto.
Yang mencolok
dari bangunan masjid ini adalah menara di samping bangunan utama, yang dulunya
adalah cerobong asap setinggi 75 meter untuk mengeluarkan asap PLTU, yang
selanjutnya ditambah kubah setinggi 10 meter, sehingga ketinggiannya makin
membuat elok pemandangan perbukitan dalam jajaran bukit barisan di kota kecil
ini (lihat foto di awal tulisan).
Gedung PT Bukit Asam di S |
Usai melaksanakan shalat
Jumat, destinasi wisata yang pertama kami kunjungi adalah museum Kereta Api
yang berada di Jalan Kampung Teleng, Kelurahan Pasar, Kecamatan Lembah Segar,
Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Untuk bisa masuk ke Museum Kereta Api
Sawahlunto kami dikenakan biaya sebesar Rp 3.000 per orang.
Museum ini dibuka tiap hari, mulai pukul 08.00-15.30 WIB. Ketika itu museum ini sepi dari pengunjung. Bang Edi, petugas museum mengatakan pandemi corona membuat jumlah pengunjung menurun drastis. Di samping museum sempat ditutup sementara untuk memutus matarantai virus tak kasat mata itu, juga warga khawatir terpapar. Namun setelah museum resmi dibuka kembali untuk umum baru-baru ini, pengunjung mulai berdatangan dan museum kembali bergeliat.
Wisata keluarga ke Museum Kereta Api di Sawahlunto |
Merujuk buku sejarahwan Erwiza Arman berjudul Membaranya Batu Bara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat (Desawantara, 2005) dan tulisan Aulia Rahman berjudul Moderniasi Teknologi Kereta Api di Sumatera Barat (1871-1933) dalam jurnal arkeologi Siddhayatra (2019) bahwa era perkeretaapian di Sumatra Barat dimulai dari pembangunan jalur kereta api oleh Pengelola Kereta Api Negara Sumatra Staats Spoorwegen (SSS). Pembangunan tersebut dimulai dari Teluk Bayur Sawahlunto yang dimulai dari Stasiun Pulo Aer Stasiun Padang Panjang sepanjang 17 km. Jalur kereta api ini dibuka pada tanggal 1 Juli 1891.
Pada era
tersebut dimulailah perkeretaapian di Sumatra Barat, dan selanjutnya
dibangunlah jalur kereta api berkelanjutan. Jalur tersebut adalah sebagai
berikut: (1). Pembuatan jalan kereta api dari Pulau Air sampai ke Padang
Panjang 71 Km, selesai dalam bulan Juli 1891, (2) Padang Panjang ke Bukittinggi
19 Km, selesai pada bulan Nopember 1891, (3) Padang Panjang Solok 53 Km, selesai
pada 1 Juli 1892, di jalur ini terdapat jalur kereta api yang memakai gerigi
(Petak antara Stasiun Padang Panjang Stasiun Batutabal) seperti jalur kereta
api di Ambarawa (Jambu Gemawang), dan (4) Solok Muaro Kalaban 23 Km dan Padang
Teluk Bayur 7 Km. Kedua jalur ini selesai pada tanggal yang sama yaitu 1
Oktober 1892. Jalur kereta api dari Muaro Kalaban-Sawahlunto dengan menembus
sebuah bukit berbatu yang kemudian bernama Lubang Kalam sepanjang hampir 1 Km
(835 Meter), selesai pada 1 januari 1894. Proyek besar pembangunan jalur rel
kereta api ini melibatkan puluhan ribu pekerja termasuk sebanyak 20.000
narapidana dari berbagai penjara milik pemerintah kolonial saat itu.
Rute kereta api Muaro Kalaban-Sawahlunto, selesai dibangun 1 Januari 1894 |
Menurut sejarahwan Erwiza Arman, mulanya rencana pembangunan rel kereta api di Sumbar digunakan untuk distribusi kopi dari daerah pedalaman (Bukittinggi, Payakumbuh, Tanah Datar, Pasaman) ke Pusat perdagangan di Kota Padang. Ide itu muncul saat pemerintahan kolonial Belanda sudah mulai kokoh di Sumater Barat. Hal ini terlihat setelah penandatangani Plakat Panjang tahun 1833. Akan tetapi, rencana ini berubah semenjak ditemukannya batu bara di daerah Ombilin tahun 1867 oleh seorang ahli geologi W.H. de Greeve dan setahun kemudian menemukan kandungan batu bara berkualitas tinggi. Pemerintah Hindia Belanda pun tertarik untuk melakukan penambangan dan pengangkutan batu bara karena kualitasnya tinggi dan jumlahnya cukup banyak.
Dibuatnya jalur
kereta api dari Pelabuhan Teluk Bayur ke Sawahlunto terbukti membuat hasil
pertambangan batu bara meningkat tajam dan meraih kesuksesan. Tetapi,
berjalannya waktu dan puncaknya memungkasi tahun 2000 produksi batubara di
Sawahlunto berkurang drastis. Secara otomatis aktifitas dan keberadaan kereta
api di Sumatera Barat ikut terimbas, dan akhirnya kereta api tidak lagi
berfungsi seperti sebelumnya.
Museum Kereta
Api Sawahlunto ini diresmikan tanggal 17 Desember 2005 oleh Wakil Presiden
Jusuf Kalla, setelah sebelumnya PT Kereta Api Indonesia dan pemerintahan Kota
Sawahlunto bersepakat bekerja sama memanfaatkan Stasiun Sawahlunto sebagai
museum untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan destinasi wisata.
Usai
menyaksikan video sejarah sekaligus poster berwarna yang melapisi dinding
museum kereta api Sawahlunto, saya mulai melihat-lihat koleksi di dalamnya yaitu di antaranya miniatur lokomotif, brankas, dongkrak rel, alat-alat sinyal
atau komunikasi, label pabrik pembuatan lokomotif, timbangan, pakaian, baterai
lokomotif, lonceng penjaga, serta foto dokumentasi yang tersusun sedemikian
rupa yang membuat pengunjung betah berlama-lama di museum ini.
Dr. J.W Ijzerman |
Saya pun melanjutkan ke bagian luar di sekitar stasiun. Salah satu yang mencolok di bagian depan stasiun adalah patung Dr. J.W Ijzerman, seorang insinyur utama jawatan kereta api Belanda yang dikenal sebagai tokoh di balik pembangunan jalur kereta api di Hindia Belanda. Selain patung J.W Ijzerman, pengunjung bisa melihat-lihat beberapa gerbong kereta api yang dulunya digunakan mengangkut batu bara. Bila tuan dan puan ke sini, tentulah gerbong kereta api tersebut menjadi salah satu spot menarik untuk selfie maupun foto bebarengan.
Selanjutnya saya melangkah ke bagian samping kanan museum. Di sinilah saya pertama kali melihat langsung lokomotif uap dengan nomor seri E1060 buatan Maschinenfabrik di Esslingen Jerman yang familiar disebut warga setempat sebagai Mak Itam.
Bang Edi menuturkan Mak Itam dalam
bahasa setempat berarti paman hitam. Nama itu disematkan karena selain tubuh
lokomotifnya yang legam, ada asap hitam pekat pula yang keluar dari cerobong
hasil pembakaran batu bara di ruang pembakaran yang berbentuk tabung besar yang
menjadi kepala lokomotif meninggalkan bekas khas di udara. Lokomotif ini
dikirim ke Hindia Belanda pada 21 Oktober 1966 dan menjadi produk terakhir dari
Esslingen sebelum tutup produksi.
Sebelum menetap
di Sawahlunto, Mak Itam ini merupakan salah satu lokomotif tua di Museum Kereta
Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah setelah purnatugas pada tahun 1988. Barulah
pada tahun 2008 Mak Itam dikirim ke Sawahlunto dan kembali dioperasikan sebagai
salah satu obyek wisata andalan Sawahlunto untuk mengenang masa keemasan
industri batu bara di kota kecil ini.
Mak Itam
biasanya membawa wisatawan berjalan di atas rel dengan rute pendek Sawahlunto
ke Muara Kalaban yang berjarak sekitar 8 Km. Rute ini digemari wisatawan karena
melewati sebuah terowongan yang dikenal dengan sebutan Lubang Kalam sepanjang
sekitar 800 meter.
“Mak Itam terakhir kali digunakan sebagai penarik kereta wisata ketika digelarnya lomba balap sepeda bertaraf internasional, Tour de Singkarak, dalam dua penyelenggaraan berturut-turut yakni 2011 dan 2012,” Ujar Bang Edi memungkasi.
Goedang Ransoem
Usai
melihat-lihat koleksi di Museum Kereta Api, perjalanan kami berlanjut ke Museum
Goedang Ransoem yang berlokasi di Jalan Abdul Rahman Hakim, Kelurahan Air
Dingin, Sawahlunto. Museum Goedang Ransoem merupakan salah satu peninggalan
pemerintah kolonial Belanda ketika menjadikan Sawahlunto sebagai kota tambang
penghasil batu bara.
Bangunan ini
dulunya digunakan sebagai tempat memasak makanan bagi ribuan kuli, termasuk
orang-orang rantai, sebutan untuk narapidana dan tahanan politik yang
dipekerjakan sebagai kuli penambang batu bara. Bangunan tersebut kemudian beralih
menjadi museum yang diresmikan pada tahun 2005 oleh Jusuf Kalla dengan nama
Goedang Ransoem.
Kawasan Goedang
Ransoem ini terdiri dari lima bangunan. Dahulunya, bangunan utama dijadikan
sebagai dapur umum. Bagian sebelah kanannya dijadikan sebagai tempat
penyimpanan makanan basah. Lalu di sisi belakang terdapat tungku uap, tempat
penyimpanan bahan makanan kering, dan gudang es.
Museum Goedang Ransoem di Kota Sawahlunto |
Menyusuri Goedang Ransoem, kami didampingi petugas museum Bang Ridho Pratama dan Bung Afif tentunya. Bang Ridho Pratama menuturkan ke pada saya bahwa dapur umum ini dibangun pada tahun 1918. Gudang ini dulunya merupakan penyokong utama dari aktivitas pertambangan batu bara di Sawahlunto untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Sawahlunto dan pekerja tambang.
Yang menarik
dari koleksi Goedang Ransoem ini adalah dua gudang besar dan tungku pembakaran.
Menurut Bang Ridho, aktivitas di dapur umum dulunya mampu memasak lebih dari 65
pikul atau setara dengan 3.900 kg nasi setiap harinya untuk 6.000 pekerja
tambang. Bisa kita bayangkan betapa besarnya periuk (ketel) untuk tempat
memasaknya. Benar saja. Periuk yang digunakan untuk menanak (memasak) nasi
memiliki diameter sebesar 124-132 cm, dengan ketebalan mencapai 1,2 cm. Periuk
ini juga dilengkapi dengan sistem katrol dan engkol untuk mengangkat dan
menurunkan tutup raksasanya. Sembari bercakap-cakap dengan Bang Ridho dan Bung
Afif, saya melihat-lihat beberapa periuk nasi berukuran raksasa itu.
Usai melihat beragam koleksi di dalam Gudang Ransoem, kami melangkah ke bagian luar belakang museum. Di sinilah saya melihat tungku uap dan batu bara sebagai bahan bakarnya. Mendapatkan penjelasan dari Bang Ridho saya menjadi tahu betapa di masa itu aktivitas memasak telah didukung teknologi tinggi.
Periuk nasi di museum Goedang Ransoem |
Dari tungku uap berukuran raksasa di Goedang Ransoem, saya melanjutkan ke bangunan di sampingnya yaitu tempat penyimpanan bahan makanan basah yang kini berubah fungsi menjadi Galeri Etnografi. Di ruangan ini pengunjung bisa melihat beragam identitas material kebudayaan kota Sawahlunto, seperti pakaian pengantin, lengkap dengan pelaminannya. Di sini juga ada songket Silungkang yang mendunia serta pernak-pernik seni budaya menarik lainnya.
Di belakangnya, persis di samping tungku uap terdapat sebuah bangunan yang difungsikan sebagai ruang administrasi pengelola museum Goedang Ransoem. Lalu terdapat Galeri Nominasi Warisan Dunia "Ombilin Coal Mining Haritage of Sawahlunto". Jauh sebelumnya bangunan ini dijadikan sebagai pabrik es. Sedangkan di sebelahnya terdapat Iptek Centre, sebagai wahana untuk pengetahuan dan praktek sains bagi pengunjung.
Tungku Pembakaran (Steam Generator) di Goedang Ransoem |
Selain Goedang Ransoem, masih ada beberapa bangunan peninggalan Belanda lainnya yang sempat saya kunjungi di kota Sawahlunto. Misalnya, lubang bekas Tambang Mbah Soero, gedung PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin, dan destinasi wisata menarik lainnya. Catatan perjalan saya ke lokasi tersebut menyusul di portal ini.
*Tulisan ini
terbit pertama kali tanggal 12 Juni 2021 di rubrik jejak portal kajanglako.com
Referensi:
- Andi Asoka, dkk, (2016). Sawahlunto,
Dulu, Kini dan Esok (Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya),
LPTIK Universitas Andalas.
- Aulia Rahman, (2019). Moderniasi
Teknologi Kereta Api di Sumatera Barat (1871-1933) dalam
Siddhayatra: Jurnal Arkeologi. Vol. 24 (1), Mei 17-36.
- Erwiza Erman, (2005). Membaranya
Batu Bara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat (1892-1996),
Jakarta:Deswantara.
- Pamflet tentang Museum Kereta Api, Goedang Ransoem, Lubang Bekas Tambang Mbah Soero, Dinas Pariwisata Pemerintah Sawahlunto.
0 Komentar