Soe Hok-Gie. Sumber: Historia |
Oleh: Jumardi Putra*
Pagi itu langit Ibu kota menyeruak cerah. Udara juga bersahabat.
Saya bergegas memesan gojek menuju museum Taman Prasasti di Jl. Tanah Abang I,
Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat. Perjalanan dari arah Jalan Cidurian,
Cikini-Menteng, ke lokasi museum memakan waktu kurang lebih 20 menitan. Jalanan
tampak sepi, mungkin karena hari Sabtu (29/05).
Ini kali pertama saya ke museum Taman Prasasti, yang dulunya dikenal sebagai Kebon Jahe Kober, dan itu lebih karena keinginan mengunjungi prasasti nisan aktivis pergerakan mahasiswa cum intelektual dekade 1960-an yaitu Soe Hok Gie, adik kandung dari ilmuwan-aktivis Prof. Arief Budiman (Soe Hoek Djin), yang keduanya merupakan anak dari Soe Lie Piet (Salam Sutrawan), sastrawan cum wartawan di masa pergerakan nasional pada zaman Jepang (Baca lebih lanjut: Membaca Soe Hok-Gie)
Sesampai di lokasi saya segera menuju meja petugas penerima tamu.
Pria yang saya jumpai adalah Mas Yudi, yang hari-hari bekerja sebagai
pramuwisata di museum ini. Melaluinya saya mendapat penjelasan secara umum
tentang museum taman prasasti ini dan sekaligus membantu saya mendaftarkan
secara online setelah sebelumnya membayar uang masuk sebesar
lima ribu rupiah.
Bangunan utama museum ini dirancang dengan gaya Yunani dengan ciri
khas pilar-pilar besar di bagian depannya. Sebelum diresmikan sebagai Museum
Taman Prasasti pada tahun 1977 oleh Gubernur Ali Sadikin, lokasi ini
dulunya merupakan pemakaman para petinggi dan Bangsawan Belanda. Pemakaman seluas 5,5 ha ini dibangun
tahun 1795 untuk menggantikan kuburan lain di samping gereja Nieuw
Hollandsche Kerk (sekarang Museum Wayang), yang penuh. Tersebab
perkembangan kota, luas museum ini kini menyusut tinggal hanya 1,2 ha.
Pemakaman Belanda di Museum Taman Prasasti. |
Pemakaman ini menyimpan koleksi nisan dari tahun-tahun sebelumnya
karena sebagian besar dipindahkan dari pemakaman Nieuw Hollandse Kerk pada
awal abad 19. Nisan yang dipindahkan ini ditandai dengan tulisan HK, Hollandsche
Kerk. Barulah mulai tahun 1950 sampai 1970 dilakukan pemindahan
jenazah ke tempat lain, tetapi ada juga yang dibawa keluarganya ke negara asal
masing-masing.
Kebon Jahe Kober dijadikan museum dan terbuka untuk umum dimulai
pada tanggal 9 Juli 1977. Di area pemakaman ini terdapat koleksi prasasti,
nisan, dan makam sebanyak 1.372 yang terbuat dari batu alam, marmer, dan
perunggu. Selain itu, simbol-simbol agama Katolik dapat dikenali pada berbagai
nisan, mulai dari lambang salib, alfa-omega, dan figur malaikat.
***
Udara pagi yang cerah, pohon yang rindang dan suasana yang tenang
membuat Taman Prasasti ini lebih teduh. Usai melewati pintu utama museum,
selain koleksi prasasti nisan kuno dari zaman kolonialisme, berdiri pilar-pilar
berwarna putih. Keadaan demikian seolah mengiring saya memasuki dimensi lain.
Sunyi-sepi. Di pemakaman ini kusaksikan karya seni dari masa lampau tentang
kecanggihan para pematung, pemahat, kaligrafer dan sastrawan menjadi satu
kesatuan untuk dipikir-refleksikan.
Niat awal ingin segera mengunjungi prasasti nisan Soe Hok Gie,
setelah diberi petunjuk lokasi oleh Mas Yudi, saya urungkan karena menimbang
banyak informasi yang bisa saya kumpulkan dari sejarah museum ini. Benar
adanya. Selain prasasti nisan Soe Hok Gie, ada banyak nama tokoh penting yang
dulunya dimakamkan di sini, sebut saja seperti A.V. Michiels (tokoh militer
Belanda pada perang Buleleng), Dr. H.F. Roll (Pendiri STOVIA atau Sekolah
Kedokteran pada zaman pendudukan Belanda), J.H.R. Kohler (tokoh militer Belanda
pada perang Aceh), Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles,
mantan Gubernur Hindia Belanda dan Singapura), dan Kapitan Jas, dan Miss
Riboet, tokoh opera pada tahun 1930-an.
Makam Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles). |
Keberadaan makam dan nisan-nisan mereka masih terbaca dengan jelas, meski di banyak nisan lainnya cukup sulit karena faktor usia. Meskipun demikian, kondisi makam dan nisan di pemakaman ini terawat baik oleh petugas yang saban hari bekerja membersihkan. Ketika saya berkunjung ke sini, tak kurang dari enam petugas kebersihan asyik menunaikan tugasnya.
Berbeda halnya dengan kondisi pemakaman Belanda (Kerkhof) di Kota
Jambi (dekat jembatan Makalam), yang pernah saya kunjungi sekira lima tahun
lalu. Meski tercatat sebagai situs cagar budaya, umumnya kondisi fisik makam
dalam kondisi rusak, sekaligus identitas jenazah yang dikebumikan di area
tersebut sulit terbaca pada nisannya. Jelas selain karena faktor cuaca dan
usia, juga karena tidak dirawat. Bahkan, diakui warga di sekelilingnya, area
bekas pemakaman warga Belanda ini sering dijadikan tempat pacaran maupun
mencari peruntungan.
***
Tak jauh dari pintu utama masuk ke area pemakaman Kebon Jahe Kober
ini, di sebelah kiri terdapat patung Crying Lady yang merefleksikan penderitaan
seorang pengantin yang suaminya baru meninggal karena wabah malaria di Batavia.
Selanjutnya hanya berjarak sekira 4 meter dari patung itu, terdapat dua peti
mati yang ditutupi kaca dan dilindungi atap. Karena penasaran saya segera
mendekati peti tersebut. Benar saja, menurut penuturan mas Yudi, kedua peti
tersebut digunakan untuk mengangkut jenazah Sukarno dari RSPAD Gatot Soebroto
menuju Wisma Yaso (kini dikenal sebagai Museum Satria Mandala), dan jenazah
Bung Hatta menuju tempat peristirahatan terakhirnya di TPU Tanah Kusir, Jakarta
Selatan.
Dari arah patung Crying Lady, saya pun melangkah ke sisi kiri area
pemakaman ini, dan tampak dua kereta lama berukuran besar dan satu peti
jenazah. Kata Mas Yudi, dua kendaraan dan satu peti tersebut adalah orisinil,
yang biasa digunakan saat pemakaman warga Belanda dulunya. Sekarang sudah tidak
dipakai, dan menjadi koleksi museum ini. Tak jauh dari bangunan beratap itu
terdapat makam pendiri STOVIA atau Sekolah Kedokteran pada zaman pendudukan
Belanda. Posisi makam H.F. Roll maupun pondok kendaraan dan peti jenazah
sama-sama berdekatan dengan gedung pengelola museum.
Saya pun melanjutkan mengeksplorasi ke bagian belakang dari sisi kiri.
Dari bagian ini, tepatnya di sebelah Kantor Walikota Jakarta Pusat, saya
menemukan makam Olivia Marianne Raffles. Laiknya makam pembesar, makam istri
Thomas Stamford Raffles, mantan Gubernur Hindia Belanda dan Singapura, ini juga
demikian adanya. Karena itu tidak sulit bagi pengunjung menemukan posisi makam
Olivia di tengah makam-makam lainnya.
Barulah dari makam Olivia Marianne Raffles, saya menuju prasasti
nisan Soe Hok Gie. Sebagaimana umumnya patung wanita dan representasi dari
malaikat bersayap mudah dijumpai oleh pengunjung di museum ini, begitulah pada
prasasti makam Soe Hok Gie. Bentuk nisan Gie sederhana dan tidak mencolok
bila dibandingkan makam pemesar maupun Bangsawan Belanda lainnya. Patung
malaikat perempuan berukuran kecil tampak berdiri di atas nisan yang hanya
bertuliskan nama Gie, tanggal kelahiran dan kematiannya, serta kutipan
bertulis: “Nobody knows the troubles I see; nobody knows my sorrow”. Dari
kalimat itu terekam kuat, betapa usaha Soe Hok Gie semasa hidup, meski terus
menerus melakukan kritik dan turun jalan dalam aksi-aksi demontrasi pada dekade
60-an, ia tetap anak muda yang dilanda kegalauan melihat situasi negeri di mana
ia bertumbuh dan besar.
Penulis di hadapan prasasti nisan Soe Hok Gie. |
Adik dari Arief Budiman ini semasa hidup dikenal luas sebagai seorang aktivis gerakan mahasiswa tahun 60-an dan juga pendiri Mapala Universitas Indonesia (UI). Bagi kalangan pendaki gunung Indonesia, Soe Hok Gie dikenal karena kiprahnya di alam bebas dan karya-karya tulisannya yang berani mengkritik kekuasaan yang menyimpang dari tujuanya yakni mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Meski berdarah Tionghoa, tidak membuatnya khawatir bersikap tegas dan sangat idealis memperjuangkan nilai-nilai kemanusia dan keadilan. Justru karakternya yang demikian itulah membuatnya dihormati, baik oleh mereka yang mendapatkan pukulan kritik maupun dari mereka yang merasa tercerahkan oleh tulisan-tulisannya yang bernas dan tanpa tendeng aling-aling.
Potensinya sebagai aktivis cum intelektual berhenti seraya
kematiannya di puncak Gunung Semeru, di Jawa Timur. Memang, pada bulan Desember
1969, Gie dan teman-temannya merencanakan untuk merayakan ulang tahunnya di
Gunung Semeru. Tak disangka, pada tanggal 16 Desember Soe Hok Gie wafat di usia
yang sangat muda, yaitu tepat 1 hari sebelum ulang tahunnya ke-27 karena
menghirup gas beracun dari puncak Mahameru. Gie sejatinya kerap mendaki gunung.
Ironisnya, gunung pula yang menjadi saksi kematian Gie. Tak syak, kepergiannya
yang begitu cepat itu menjadi pusat perhatian di jagat perpolitikan nasional
dan sekaligus kehilangan bagi kaum intelektual ketika itu.
Jasad Gie lalu dikebumikan di pemakaman Menteng Pulo, sebelum
dipindahkan ke pemakaman Kebon Jahe Kober, Tanah Abang, sebuah kompleks
perkuburan yang sebetulnya diperuntukkan bagi jenazah petinggi dan Bangsawan
Belanda. Namun beberapa rekannya ingat bahwa semasa hidupnya Gie pernah berkata
jika ia meninggal ingin dikremasi dan abunya ditebar di Lembah Mandalawangi
Gunung Pangrango. Hal itu dimaksudkan agar Gie bisa menyatu dengan alam bebas,
tempat di mana ia melepas kebisingan hidup sekaligis merengkuh nilai-nilai
pembebasan. Untuk mengenang tragedi itu pula, di puncak Mahameru dipasang
plakat In Memoriam Soe Hok Gie, namun sekitar tahun 2013, plakat tersebut
dipindahkan ke Cibodas, Jawa Barat.
Saat ini yang bisa dengan mudah kita temui adalah prasasti nisan
Soe Hok Gie yang berada di Museum Taman Prasasti Jakarta. Kini, Soe Hok Gie
sudah tenang di sana. Ia meninggal dengan cara yang menurutnya layak. Sama
seperti apa yang pernah ia tuliskan, "Nasib terbaik adalah tidak pernah
dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur
tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda".
Demikian Gie, sosok muda yang penting untuk dikenang oleh generasi
kini. Tentu saja untuk mengenang kiprahnya tidak perlu ke puncak Mahameru,
tetapi belajar pada konsistensi sekaligus membaca kembali pikiran-pikiran
bernasnya. Dari situ kita menemukan elan pembebasan sekaligus sebagai pengingat
bahwa negeri ini mesti dikelola dengan sungguh-sungguh dan sepenuhnya
diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
*Jakarta-Jambi, 30 Mei 2021. Tulisan ini terbit pertama kali di portal www.kajanglako.com
0 Komentar