ilustrasi. sumber: kontan.co.id. |
Oleh: Jumardi Putra*
Berikut ini penggalan percikan permenungan saya, yang mulanya saya tulis singkat sebagai status di aplikasi perpesanan whatsapp di tengah pagebluk corona yang belum sepenuhnya berakhir melanda negeri kita tercinta. Mungkin saja ada gunanya.
***
Pandemi corona merubah segalanya. Aktivitas sehari-hari semuanya tidak sebagaimana galibnya (untuk menyebut perlunya penyesuaian dengan kebiasaan baru).
Meski peritiwa makan bersama mudah kita jumpai di ruang-ruang publik
sekarang ini, tapi harus membuat jarak. Bahkan hotel-hotel tempat saya menginap
dalam sebulan terakhir ini, meniadakan makan dengan cara perasmanan. Makanan diantar
ke kamar-kamar penginapan.
Penyanitasi tangan tidak boleh tertinggal dalam tiap kesempatan,
karena itu sebuah ikhtiar yang menentukan agar tranmisi virus corona tidak
masuk ke area-area vital di tubuh kita. Di ruang publik, memakai masker menjadi
sebuah kesemestian agar tidak terpapar virus yang telah menelan ribuan nyawa
manusia di planet bumi ini. Pemberlakuan jam malam bagi warung-warung di tepi
jalan terus diberlakukan. Begitu juga pada tempat-tempat yang mengundang
keramaian.
Keberangkatan melalui jalur udara mensyaratkan swab antigen, dan itu hanya berlaku
selama 2 x 24 jam. Demikian itu sebagian kecil dari praktik penyesuaian
yang tidak bisa tidak menjadi perhatian bersama untuk dipatuhi selama dalam
masa pagebluk Corona.
Perhatian dan kepatuhan pada protokol kesehatan tersebut menjadi
kunci utama kita sebagai pembelajar, selain tentu saja tidak melupakan
keberadaan alam dan Tuhan sebagai pemberi kehidupan. Mari tiada henti
bermunajat padaNYA untuk meminta pertolongan sepenuh-penuhnya.
(20 Februari 2021)
Sebagaimana ekonom, epidimolog, hukum, dan kesehatan, ketika membicarakan dan
meneliti musabab datangnya virus mematikan corona, esais dan penyair Afrizal
Malna juga berusaha melihat corona dalam perspektif kebudayaan.
Afrizal
meneroka manusia dalam lintas sejarah yang panjang secara ontologis. Ia juga
berupaya mendekonstruksi dalam garis waktu yang panjang (sedari wabah Athena)
melalui genre seni dan teknologi. Teknologi di sini tidak dimaksudkan
sebagaimana kita membaca buku-buku tutorial membuat sebuah perangkat lunak,
melainkan sebuah usaha masuk lebih jauh dan dalam mengamati sekaligus
mendewasakan makna simbol-simbol kebudayaan dalam perjalanan peradaban manusia.
Covid-19
tidak bisa dibaca melalui kacamata hitam-putih, melainkan sebagai peristiwa
bersegi banyak. Karena itu meniscayakan beragam pendekatan dan sudut pandang.
(14
Februari 2021)
Covid-19 belum berakhir. Bahkan menunjukkan grafik peningkatan.
Beberapa negara berhasil menekan angka penularan, tapi tidak sedikit negara di
planet bumi ini masih terus berjuang dengan jumlah warga meninggal dunia yang
terus melonjak.
Dunia ilmu pengetahuan tiada henti mengidentifikasi virus
mematikan ini dengan harapan menemukan solusi. Vaksin jelas membuat sedikit
lega, kendati realitas pengendalian virus Corona belum sepenuhnya membuat kita
sepenuh-penuhnya yakin.
Kurun satu tahun ini Covid-19 menelanjangi sikap gegabah institusi
negara (birokrasi) dalam merespon pandemi, dan batas antara negara maju dengan
negara berkembang menjadi kabur. Covid-19 tidak terkendalikan. Sistem kesehatan
dan ekonomi nasional betul-betul berada di bibir jurang.
Kritik atas ekonomi politik secara global terus menguat, lebih
pada paradoks yang selama ini diakibatkan oleh neoliberalisme yang memosisikan
negara lemah di bawah kuasa modal yang menelorkan kebijakan ekstraktif atas
sumber daya alam, dan berujung pada gagalnya mewujudkan keseimbangan.
Covid-19 kembali mengajak seluruh warga di planet bumi berpikir keras
tentang solidaritas global.
(16 Januari 2021)
Dalam
pelaksanaan penanggulangan Covid-19, saya melihat ada ketidakjelasan
(sehingga berkonsekuensi pada keakurasian dengan variabel-variabelnya) yakni
data jumlah sasaran warga terdampak Covid-19 antar lembaga pemerintah daerah
maupun pusat yang tidak siap pakai dalam tempo yang cepat, sehingga membuat
realisasi bantuan sosial yang bersumber dari APBN maupun APBD provinsi terlambat
diterima oleh masyarakat terdampak.
Belum
lagi soal tumpang tindih kebijakan dan mis-koordinasi antara pemerintah
provinsi dan kabupaten/Kota. Dalam pada itu, efektifitas pelayanan kesehatan
juga belum membuat masyarakat merasa lebih aman dan nyaman.
Pemerintah
provinsi Jambi bersama Kabupaten/Kota juga belum memiliki peta (grand-desain)
percepatan penanggulangan Covid-19. Fatalnya, sekalipun kita menyadari sedang
berhadapan dengan virus yang tidak terjamah ini, yang bisa menempel sekaligus
bertahan dalam rentang waktu yang bervariasi pada permukaan benda, namun kerja
mesin birokrasi di tengah pandemi tak ubahnya penanggulan bencana alam yang
jelas teritori dan terang benderang pola eksekusi sekaligus pelokalisirannya.
Begitu
juga paradigma penanggulangan Covid-19 di provinsi Jambi masih bersifat parsial
dan kuratif, dan sayangnya, itu pun kedodoran. Paradigma penanggulangan bencana
nonalam demikian tidak saja berbiaya tinggi, tapi juga terkendala oleh
fasilitas kesehatan mupun tenaga medis yang terbatas.
(23 September 2020)
Keterangan:
Berikut artikel saya seputar Pandemi Covid-19:
1) Piknik di Tengah Pandemik: Catatan Perjalanan Ke Masjid Muhammad Cheng Hoo di Kenali Asam Bawah (25 Juli 2021)
2) Amuk Corona dan Bias dr Lois (15 Juli 2021)
3) Pandemi Corona dan Wajah Buram Kita (6 Juli 2021)
4) Kisah Mas Rudin di Pasar Kenari (19 November 2020)
5) Dari Palasari Ke Pasar Kenari (15 November 2020)
6) Corona Berjalan Ke Rumah Kita Sebagai Monster yang Tidak Asing (27 September 2020)
7) Muhammad Febiansyah, Covid-19 dan Hal-hal Yang Belum Selesai (23 September 2020)
8) Kisah Ramdani Sirait Berjuang Melawan Corona (11 September 2020)
9) Piknik Ke Candi Muarojambi di Tengah Pandemi (2 Agustus 2020)
*Catatan di atas perlu dibaca sesuai konteks, sebagaimana penanggalan pada setiap catatan tersebut di atas.
0 Komentar