Masjid Muhammad Cheng Hoo di Kenali Asam Bawah |
Minggu, 25 Juli 2021, ditemani putra sulung dan bungsu, saya mengunjungi masjid Muhammad Cheng Hoo di kelurahan Kenali Asam Bawah, Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi. Jarak tempuh dari tempat tinggal kami untuk sampai ke lokasi masjid itu kurang lebih 35 menit.
Saya perhatikan
lamat-lamat, gerak-gerik pengunjung selama di Masjid Cheng Hoo ini menunjukkan
ketakjuban (kalau bukan keingintahuan) karena melihat langsung gaya bangunan rumah
ibadah tersebut di luar yang umum mereka lihat sehari-hari.
Mimbar dan tempat shalat Imam masjid Muhammad Cheng Hoo |
Bangunan Masjid Muhammad Cheng Hoo ini didesain oleh Ir. Retno Wiriati dan diresmikan pada 12 Februari 2021 atau bertepatan dengan tradisi imlek. Melihat masjid ini dengan seksama mengingatkan kita pada konstruksi Kelenteng, rumah peribadatan warga Tioghoa, terutama umat Konghucu. Pembangunan masjid ini terinspirasi dari Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya, masjid pertama bergaya arsitektur budaya Tionghoa di Indonesia.
Arsitektur masjid Cheng Hoo ini kental gaya Tionghoa dan itu terlihat jelas dari tiap bagian Masjid. Kubah utamanya berbentuk berundak-undak menyerupai pagoda yang menjadi ciri khas rumah ibadah warga Tionghoa. Sementara atap yang terpatri dari masjid itu di setiap ujungnya berbentuk sanding tunggal dengan tingkat kemiringan yang menjuntai ke atas, yang juga khas arsitektur bangunan Tionghoa.
Masjid ini memiliki
tiga pintu utama yang berbentuk bulat yang dibalut warna hijau tua. Begitu pula
tempat imam salat di dalam masjid juga berbentuk bulat. Perpaduan warna merah,
kuning dan hijau tua membuat masjid ini tampak khas. Di bagian dalam masjid terdapat
mimbar, jam berukuran besar berbahan kayu jati dan rak tempat menyimpan alquran
dan kitab yasin serta pembatas antara
jamaah perempuan dan laki-laki.
Selain bergaya arsitektur Tionghoa, bangunan masjid ini juga memuat unsur Arab dan Melayu. Unsur Arab tampak pada ukiran dan kaligrafi pada beberapa bagian dinding masjid, seperti ukiran arab berupa lafaz Allah dan Muhammad pada dinding bagian atas mimbar atau tempat imam shalat. Sedangkan unsur budaya Melayu terlihat pada bagian teras masjid.
Bagian dalam masjid Muhammad Cheng Hoo |
Kehadiran masjid Muhammad Cheng Hoo di Kota Jambi ini, sebagaimana bangunan rumah ibadah umat Islam Tionghoa di banyak daerah di tanah air, menghadirkan pesan dengan satu tarikan nafas yang sama yaitu kemajemukan. Sesuatu yang patut kita apresiasi karena menunjukkan bukti nyata perjumpaan beragam identitas dan budaya di daerah yang sekarang dikenal sebagai Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah.
Sejurus dengan sejarah
panjang Jambi, yang dimulai dari Melayu Kuno (Hindu-Budhis) hingga masuk fase Islam
dan sampai sekarang selalu berinteraksi dengan budaya Cina, Arab, India dan
beragam budaya lokal Nusantara lainnya seperti Melayu, Jawa, Minang dan Bugis.
Tak syak, masjid ini bisa menjadi salah satu masjid yang tepat untuk dikunjungi
bagi traveler muslim dan sesiapa saja
yang menaruh perhatian pada keragaman agama dan budaya di Nusantara.
Sebelum memasuki
ruangan utama masjid Laksamana Muhammad Cheng Hoo ini, pengunjung akan melewati
tangga berkeramik abu-abu dan di bagian tengahnya terdapat karpet berwarna merah.
Keberadaan dua tiang berukuran cukup besar dengan dilengkapi lampion pada sisi kiri
dan kanan pada atap bagian depan masjid makin membuatnya elok dipandang dan
karenanya akan selalu dikenang. Galibnya warga memilih berswafoto di
depan pintu utama masjid ini, saya bersama Kaindra dan Rendra juga mengabadikan
peristiwa serupa.
Pintu depan Masjid Muhammad Cheng Hoo |
Masjid berukuran 20X
20 meter ini menyediakan dua sisi bangunan tempat bersuci (wudhu) bagi jamaah.
Bagian kanan khusus untuk lelaki dan sisi kiri bagi kaum perempuan. Di sisi
kanan maupun kiri masjid, selain laman parkir yang luas di hadapannya, dijadikan
pengunjung sebagai tempat rehat barang sejenak. Suasananya teduh dan nyaman
karena bersentuhan dengan angin sepoi-sepoi, lebih-lebih bila terik matahari paroh hari.
Masjid Muhammad Cheng
Hoo ini digagas oleh seorang mualaf yang dulunya merupakan mantan ketua
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Provinsi Jambi yaitu bapak Haji Rusli.
Pembangunan masjid seluas 2.380 meter persegi ini memakan waktu kurang lebih
sepuluh tahun dan sempat mangkrak hampir tiga tahun karena kendala biaya. Pembangunan
Masjid Laksamana Cheng Hoo sendiri merupakan kebutuhan bagi mualaf keturunan
Thionghoa yang ingin berkumpul dan memperdalam agama Islam.
Pentabalan nama Laksamana Cheng Ho pada masjid ini merupakan bentuk penghormatan pada sosok Cheng Hoo, laksamana asal Cina yang beragama Islam. Ia melakukan perjalanan ke kawasan Asia Tenggara dengan mengemban beberapa misi, di antaranya berdagang, menjalin persahabatan, serta menyebarkan ajaran agama Islam.
Lukisan dinding riwayat Laksamana Cheng Hoo |
Penjelasan singkat tentang masjid Muhammad Cheng Hoo ini dibuat oleh panitia pembangunan dalam bentuk lukisan dinding di sisi kanan masjid, tepatnya berdampingan tempat wudhu bagi pengunjung laki-laki. Pengunjung juga dapat melihat lukisan laksamana yang bernama lengkap Muhammad Cheng Hoo bersama kapal yang digunakan saat mengarungi Samudera Hindia.
Di situ pula dijelaskan mereka yang terlibat dalam proses pembangunan
masjid ini, yaitu atas prakarsa pengurus Yayasan Laksamana Cheng Hoo Jambi yang
berdiri pada tanggal 12 Desember tahun 2012 dengan notaris H. Syahrir Tanzi,
SH. Adapun pendiri Yayasan antara lain H. Ruslicatong, Hj. Linda Zulpida, H. Megawati
(Acu), Mubarok, Marfian Danny (Akim), Helmy, M. Bakri, Serwanto, Muhammad
Hendry (Akim), dan alm. H. Ibnu Hajar.
Peletakan batu pertama pembangunan masjid Muhammad Cheng
Hoo ini pada 12 Juli tahun 2012 oleh Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) dan
disaksikan oleh Ketua DPRD Provinsi Jambi (Efendi hatta), Wali Kota Jambi (Dr. Bambang
Priyanto), Ketua MUI Provinsi Jambi (Prof. Hadri Hasan), Kakanwil Kemenag
Provinsi Jambi (Mahbub Daryanto), Wakil Kapolda Jambi (Kombes Kristianto), H.
Anton Medan (mantan ketua DPP PITI Jakarta), dan H. Harden Saad (Pendiri
Peratusan Islam Tinghoa Indonesia Jambi).
Tidak hanya itu, di lukisan dinding yang sama terpahat
nama tukang fisik masjid ini yaitu Ahmad Yuli dan Slamet Boto (aric) serta
tukang pada bagian rangka atap yakni Maulani dan Alm. Hendra Wijaya Fashi, sang
mualaf. Melihat hal yang demikian, terlintas di pikiran saya, di luar nama-nama
beken para pejabat tersebut di atas, selalu ada “orang-orang kecil” yang
sesungguhnya telah berperan besar dalam pembangunan masjid ini.
Apresiasi demikian tentu sesuatu yang baik, dan saya
senang mengetahuinya. Bahkan, saya yakin masih ada nama-nama tukang lainnya yang
belum disebutkan di situ, sekecil apapun peran mereka. Pada mereka semua,
apapun latar belakangnya, terima kasih dan penghormatan layak ditambatkan.
Keterangan Pendirian Masjid Muhammad Cheng Hoo |
Melihat bangunan masjid ini sejatinya
menguatkan pemahaman saya bahwa agama sebagai keyakinan dan budaya sebagai
ekspresi yang bersinggungan dengan realitas masyarakat yang majemuk telah menghasilkan
kebudayaan yang dinamis sekaligus sarat akan nilai berbeda dalam persaudaraan
dan bersaudara dalam perbedaan.
Dengan demikian,
masjid laksamana Muhammad Cheng Hoo ini menegaskan bahwa Islam dalam sejarah
panjangnya tidak hadir dalam ruang “kedap suara”, melainkan senantiasa berjumpa
dengan ragam budaya di mana ia bertumbuh. Dalam makna tersebut, masjid menjadi simbol
perdamaian umat beragama di tengah realitas kebudayaan tanah air yang plural.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal jamberita.com pada Minggu, 25 Juli 2021.
0 Komentar