Ilustrasi. (Antara Foto/M Risyal Hidayat) |
Oleh: Jumardi Putra*
Saya berkawan baik dengan beberapa pemiliki Café di Kota Jambi.
Umumnya mereka pendatang baru di jagad bisnis yang meniscayakan kegigihan,
selain kecerdasan membaca potensi pasar.
Meski didukung modal yang minim, keberadaan café milik mereka
terus tumbuh sejak dibuka kali pertama medio 2019. Memasuki gerbang
2020 pengunjung datang silih berganti. biaya operasional teratasi. Omset harian
membuat hati mereka berbunga-bunga. Menekuni bisnis café sepertinya opsi yang
menjanjikan.
Bahkan, kehadiran Café di Kota Jambi bak cendawan di musim hujan.
Sepanjang jalan kota Jambi hampir bisa dipastikan warna-warni oleh kerlipan
cahaya dari satu café ke cafe lainnya. Babak baru yang menandai eksistensi
ekonomi tanah pilih pusako betuah kota Jambi.
Diakui mereka, jalan bisnis ke depan tampak lempeng (untuk
menyebut optimistik), meski menyadari memilih bisnis café tidak lain mencoba
peruntungan di tengah persaingan dan ekspansi pemodal kelas kakap, lebih-lebih
dalam situasi ekonomi domestik maupun dunia yang melamban.
Tidak muluk-muluk dalam angan mereka. Cukup untuk membiayai
operasional, gaji karyawan, dan menabung untuk melanjutkan kehidupan
sehari-hari bersama istri dan anak tentunya.
Saya senang mengunjungi café milik mereka, karena selain menjajaki
minuman dan makanan khas dengan harga terjangkau, sesuai grand desain café
masing-masing, terdapat ruang diskusi berbagi pemikiran dan tak jarang
disediakan buku-buku bacaan bermutu bagi pengunjung.
Bak peribahasa, “Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak”, kegembiraan mereka hanya berlangsung sebentar. Terhitung sejak kasus
Covid-19 pertama kali ditemukan di tanah air, Maret 2020, keberadaan café
mereka mulai goyah. Pengunjung sepi bersamaan dengan penerapan pembatasan
sosial. Omset menurun drastis. Modal terus tergerus. Biaya operasional tidak
tertanggungkan. Mereka pun angkat bendera putih. Gulung tikar.
Memang ada sebagian dari mereka yang berusaha bertahan sampai satu
setengah tahun terakhir ini, sekalipun harus tertatih-tatih. Corona sempat
melandai dalam rentang akhir 2020 sampai awal 2021, tapi bersamaan agenda
vaksinasi hingga Juli 2021, angka warga terpapar maupun meninggal dunia akibat
Covid-19 kembali melonjak. Beberapa skenario PPKM telah diterapkan oleh
pemerintah, lengkap dengan otokritik dari warga dan para pakar. Sedihnya,
corona belum teratasi dengan baik.
Ini hanyalah cerita kecil di tengah pelbagai masalah mendasar di
masa pandemi corona di republik yang kita cintai ini. Keadaan demikian itu saya
jumpai juga pada para pemulung, pedagang buku, penjaja makanan, tukang gojek, dan
sederatan pekerja di sektor informal yang menggantungkan kehidupan pada
pendapatan harian.
Keselamatan jiwa adalah hal yang utama, tetapi corona jelas bukan
semata urusan kesehatan, tetapi juga berkait erat dengan urusan perut
(ekonomi). Pemerintah tidak bisa memaksa warga yang berkemampuan ekonomi miskin
bertahan hanya dengan merapal lagu Indonesia Raya saban hari sembari memekik
keras menolak terorisme dan radikalisme demi “NKRI harga mati”. Mereka butuh
bantuan kongkrit untuk bertahan dan menyambung asa. Tidak lebih.
Bantuan sosial dan modal dari pemerintah pusat maupun daerah harus
datang cepat dan tepat sasaran bagi mereka yang terdampak. Jangan ada korupsi
lagi, lagi, dan lagi. Itu tidak lain adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak
termaafkan.
*Kota Jambi, 16 Juli 2021.
0 Komentar