Menjelang Olimpiade Tokyo. REUTERS/Athit Perawonmetha |
Perhatian banyak negara setahun berjalan ini tertuju untuk
memutus matarantai Covid-19. Masuk akal karena pertumbuhan ekonomi dunia maupun
nasional melamban akibat efek domino bawaan virus tak kasat mata itu.
Tiada hari tanpa berita di layar tivi soal virus yang telah
menelan lebih dari 4,1 juta nyawa warga di planet bumi ini. Bahkan akhir-akhir
ini, di banyak daerah di tanah air suara serine ambulans kerap bersahutan bersamaan
dengan kabar duka si fulan bin fulan
yang menggema dari toa masjid-masjid kampung. Belum lagi jumlah warga terpapar
corona yang memilih isolasi mandiri, yang tentu saja tidak terdata jumlah
riilnya.
Mobilitas warga pun menurun bersamaan deret ukur pasar yang
terkoreksi. Warga yang menggantungkan pendapatan harian dibuat pening tak
kepalang. Pabrik-pabrik tidak beroperasi penuh. Kaum buruh dirumahkan. Jumlah
penduduk rentan miskin melonjak tidak tertanggungkan.
Skala program prioritas pemerintah yang dibebankan pada APBN
maupun APBD setahun berjalan ini (2020 dan 2021) mengalami koreksi bersamaan
kebijakan refocusing anggaran dalam
jumlah yang besar untuk percepatan penanganan pandemi Covid-19 di tiga sektor
utama yaitu pelayanan kesehatan, pemulihan ekonomi dan penyediaan jaring
pengaman sosial.
Hal itu tampak jelas pada pelaksanaan APBN maupun APBD tahun
2021 berjalan ini. Alokasi dana penanganan Covid-19 dan PEN (Pemulihan Ekonomi
Nasional) tahun 2021 sebesar Rp744,75 Triliyun untuk kesehatan, perlindungan
sosial, vaksinasi, bantuan dan subsidi (seperti bantuan sosial, subsidi beras,
subsidi tagihan listrik dan abonemen listrik, hingga subsidi kuota belajar),
insentif dunia usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) serta korporasi, kartu
prakerja, serta pengmbil alihan bantuan langsung tunai dana Desa (bisnis.com,
17/72021).
Alokasi dana yang sedemikian besar itu tidak menutup
kemungkinan masih akan berlangsung pada APBN maupun APBD tahun mendatang
(2022). Desiminasi dan finalisasi penyusunan Peraturan Menteri Dalam
Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun 2022 yang sempat saya ikuti bulan Mei
lalu di Jakarta mengamininya. Melalui desiminasi itu pula, hampir semua daerah
di tanah air mengakui merasa kelabakan melakukan “utak-atik” anggaran untuk
percepatan penanganan Covid dengan kemampuan APBD yang terbatas, selain
persoalan regulasi dari pemerintah pusat yang muncul berkali-kali dalam satu
tahun anggaran berjalan, sehingga membuat bingung pemerintah daerah. Bahkan kebingungan
itu berujung pada rendahnya inisiatif perangkat daerah untuk segera
mengeksekusi skala prioritas program dan kegiatan berkaitan dengan percepatan
penanganan corona.
Bagaimana dengan janji-janji politik para kepala daerah yang
memenangi kontestasi Pilkada serentak tahun lalu dan hanya tersedia waktu untuk
merealisasikan hingga 3,5 tahun mendatang (2004)? Saya tidak bisa menjawab
secara pasti, kecuali mereka perlu memeras ide dan kerja ekstra dalam tempo
yang tidak biasa-biasa pula.
Keselamatan jiwa warga negara tentu hal yang utama.
Program-program mercusuar yang tidak berhubungan lansung dengan hajat hidup
masyarakat jelas tidak menjadi relevan untuk dibebankan kepada APBN maupun APBD
yang secara substantif sekaligus bermakna
strategis serta dilaksanakan secara bertanggungjawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih-lebih dalam situasi darurat kesehatan
sekarang ini, masyarakat tidak meminta banyak, kecuali kerja pemimpin dengan
ditopangi birokrasi yang mumpuni, cepat, tepat dan terukur untuk menjawab persoalan
multisisi yang ditimbulkan akibat pagebluk corona.
Memang bantuan sosial dalam beragam skema dan paket yang
terserak di banyak lembaga vertikal (kementerian) maupun horizontal (perangkat
daerah) sudah mulai turun, tetapi belum menjawab persoalan keakurasian data
bagi penerima. Tak syak, muncul nada sumbang dari warga yang merasa belum
mendapatkan sentuhan tangan negara. Apatahlagi melalui media jejaring sosial
seperti facebook, twitter dan tik tok serta aplikasi perpesanan pribadi macam whatsapps dan telegram, nada sumbang itu makin kencang dalam beragam wujud
protes, mulai dari yang paling keras berupa kecaman hingga meme yang silih berganti. Acapkali kita dibuat tertawa melihatnya,
meski dalam kegetiran yang paripurna.
Muncul keheranan (kalau bukan gugatan) di hati saya, kenapa
soal “satu data” yang sejatinya bisa menjadi rujukan semua lembaga baik pusat
maupun daerah masih menjadi kendala, padahal tahun 2020 adalah sebaik-baiknya
pengalaman menghadapi pandemi karena masih ditemukan warga yang belum dan atau
tidak tepat tapi ikut menerima bantuan sosial?
Belum lama ini di layar tivi saya menyaksikan Menteri Sosial
Republik Indonesia, Ibu Tri Rismaharini saat inspeksi mendadak penyaluran
bantuan sosial di Kota Tanggerang, Provinsi Banten, menemukan oknum perangkat
daerah memotong dana bantuan sosial yang diterima warga. Jelas saja Mantan Wali
Kota Surabaya ini marah sejadi-jadinya dan meminta kepada perangkat daerah
penyalur bantuan untuk tidak menyunat dana sosial yang merupakan hak warga
terdampak corona. Sukar untuk membayangkan bila hal serupa terjadi di semua
daerah di tanah air.
Kemampuan APBN maupun APBD sangat terbatas dan karenanya
tidak mampu menanggung biaya hidup seluruh warga negara bila pemerintah pusat
menetapkan kebijakan lockdown total.
Sejatinya bermacam level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak
kasus corona kali pertama di temukan di tanah air pada awal Maret 2020 sampai level
4 pada Agustus 2021, selain menunjukkan kegamangan pemerintah dalam mengambil
kebijakan tidak populer, juga menyadari cadangan anggaran yang terus tergerus
di tengah program pembangunan infrastruktur yang telah dicanangkan pada periode
kedua kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Kapan sesungguhnya pandemi corona ini berakhir? Pertanyaan
ini kerap muncul dalam obrolan lepas saya bersama sejawat di tempat kerja
maupun warga di tempat saya tinggal. Tidak ada jawaban yang memuaskan sejauh
ini. Ramalan (untuk menyebut analisa) para pakar sejauh ini umumnya
terbantahkan. Bahkan Covid-19 muncul dengan varian baru. Namun demikian,
pangarusutamaan vaksinasi di seluruh daerah di tanah air, dengan segala
dinamika di lapangan, setidaknya merupakan ikhtiar bersama untuk menciptakan “herd
immunity” dalam upaya menghadapi gempuran corona.
Ke mana lagi tempat kita bertaut? Adakah tempat bagi kita
menggantungkan harapan selain pada negara (penguasa, elit dan pejabat)?
Apatahlagi pembicaraan seputar corona selama ini lebih tertuju pada pelayanan kesehatan
dan pemulihan ekonomi. Keduanya jelas penting dan saya tidak pula berniat
membantahnya. Namun bagaimana evaluasi menyeluruh terhadap jalannya penyelenggaraan
pendidikan pada semua level satuan pendidikan (Sekolah Dasar sampai perguruan
tinggi) dalam masa pandemi Covid-19 ini? Kualitas generasi macam apa yang dihasilkan
oleh sistem pendidikan jarak jauh (daring) selama ini, yang mungkin di banyak
daerah di tanah air merupakan sesuatu yang baru dan karenanya belum teruji.
Para pengambil kebijakan, utamanya sektor pendidikan, perlu
meresapi pertanyaan demikian itu dan segera mencarikan solusi jitu. Kita semua
tentu tidak ingin corona dengan kagarangannya lantas membuat penyelenggaraan
pendidikan sekadarnya saja (untuk menyebut tidak jelas peta jalan pendidikan di
masa pandemi). Bak kata pepatah, sudah
jatuh tertimpa tangga pula.
Di tengah persoalan bersegi banyak itu, tetiba tersiar kabar
bahagia nun jauh di sana yaitu pasangan ganda puteri Greysia Polii/Apriyani
Rahayu berhasil meraih emas cabang olahraga bulu tangkis di Olimpiade Tokyo
2020 (dilaksanakan 2021) setelah menyingkirkan pasangan Chen Qing Chen/Jia Yia
Fan dalam rubber set langsung 21-19
dan 21-15.
Sontak warga di seantero negeri ini bersukacita. Seluruh
lensa juruwarta dunia tertuju pada kedua sosok perempuan hebat ini. Lagu
Indonesia Raya berkumandang sejajar dengan negara-negara lain yang melalui
atletnya berhasil meraih medali emas di berbagai cabang olahraga yang
dipertandingkan dalam ajang bergengsi empat tahun sekali tersebut. Belum lagi
kemenangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu merupakan raihan medali emas pertama
bagi kontingen Indonesia setelah di cabang olahraga lainya berguguran. Istimewanya
lagi capaian pasangan ganda putri ini membersamai
perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 yang hanya
tinggal beberapa hari lagi (17 Agustus 2021).
Saya sendiri ikut menonton aksi heroik kedua pasangan
tersebut di layar tivi, dan jujur saya dibuat senam jantung selama mereka
berlaga mengingat lawannya juga bukan atlet bulu tangkis kaleng-kaleng. Puncaknya,
saat menyaksikan pasangan ganda putri ini menghadap ke arah bendera merah putih
yang sedang berkibar serta medali emas yang dikalungi keduanya, hati saya bungah dan hampir saja menitikkan air
mata bahagia. Apa sebab?
Di saat sektor lain di negeri ini melempem akibat terserang virus
corona, olahraga seolah menjadi oase,
tempat bagi sesiapa saja menautkan harapan. Olahraga menjadi obat penyemangat
untuk memastikan bahwa optimisme tidak boleh menyerah kalah pada pesimisme,
sekalipun kita tidak menampik bahwa realitas ekonomi, politik, hukum dan
pendidikan di republik ini baik sebelum maupun setelah pasca Greysia
Polii/Apriyani Rahayu meraih medali emas di Olimpiade Tokyo masih sama. Belum
ada perubahan fundamental.
Saya tidak hendak membentangkan beragam teori ekonomi
pembangunan di tengah gempuran corona sekarang ini, sebut saja mulai
diragukannya sistem kapitalisme yang berlaku di banyak negara bersamaan dengan
runtuhnya Uni Soviet pada Desember 1991, salah satu negara adikuasa pemenang Perang
Dunia II dan sekaligus pusat dari aliansi negara komunis Blok Timur selama
Perang Dingin, dengan ditandai menguatnya sistem pasar bebas dan intervensi
negara yang terus melonggar. Keraguan pada kapitalisme lebih didasari, selain
telah menciptakan kesenjangan luar biasa antara orang kaya dan miskin (dengan
demikian gagalnya ide negara sejahtera), juga akibat kehendak mengumpulkan laba
yang sebesar-besarnya tapi saat bersamaan merusak sumber daya alam sehingga
mendatangkan banyak malapetaka maupun penyakit aneh atau virus sebagai ekses
daripada tindakan menafikan keseimbangan alam.
Benarkah Kapitalisme bisa hancur lebur oleh pandemi
corona? Tidak sedikit juga pemikir maupun analis ekonomi global meragukan potensi
kehancurannya. Menyitir magnum opus
Francis Fukuyama yaitu The End of History
and the Last Man (1992), yaitu kelahiran demokrasi liberal Barat mungkin
menandakan akhir dari evolusi sosial-budaya umat manusia dan bentuk
pemerintahan manusia paling akhir. Di sini lah kapitalisme mendeklarasikan awal
kemenangannya.
Sejurus kemudian, menandai perlunya reorganisasi ekonomi
global, yang tidak lagi bergantung pada mekanisme pasar bebas, tapi semacam
organisasi global yang dapat mengatur dan mengendalikan ekonomi dunia, yang
bisa saja membatasi kekuasaan negara-bangsa. Solusi yang dibayangkan yaitu
masyarakat dengan solidaritas baru, yang berbeda dengan bentuk solidaritas
sebelumnya. Filusuf Slavoj Zizek menyebutnya “menemukan
kembali komunisme”. Jelas pikiran demikian menimbulkan respon keras dari beragam
kalangan lantaran istilah "komunisme" itu sendiri. Namun maksud Zizek
sederhana, yaitu situasi pelik yang melanda dunia sekarang ini telah mampu
melahirkan solidaritas global di mana perbedaan-perbedaan kelas, agama, etnik,
ras, dan sebagainya menjadi tidak berarti, karena kita semua menurut Zizek
sedang berusaha mencari solusi, yang melampaui perbedaan identitas tersebut.
Begitu juga muncul tawaran sistem ekonomi politik seperti
yang diterapkan negara China dengan paham komunisme, yang tidak sepenuhnya
menolak pasar bebas (kapitalisme), tetapi negara masih berlaku sebagai pemegang
kendali. Tawaran ini muncul dengan pembaharuan-pembaharuan dengan belajar pada
kegagalan komunisme jauh sebelum ini. Tetapi benarkah “komunisme” jalan baru
bagi pengentasan problem ekonomi politik global sekarang hingga jauh di masa mendatang? Belum ada
jawaban pasti. Pertukaran pemkiran di kancah global masih terus bermunculan
bersamaan dengan belum berakhirnya pandemi Covid-19.
Demikian. Melewati dengan susah payah pandemi Covid-19 ini
juga bagian dari proses menjadi Indonesia. Begitu juga ikut merasa bahagia atas
kemenangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu di ajang Olimpiade Tokyo beberapa hari
lalu adalah proses menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia itu berarti menjadi
“kita” (bertemunya saya dan anda menjadi kita) dengan segala paradoksnya. Ibarat identitas diri (subyek), ia akan terus
bertumbuh. Dinamis. Tidak boleh jatuh dalam staganasi. Itu artinya, menjadi
Indonesia menyadari jalan panjang bagi setiap upaya peneguhan kedirian dalam
bingkai keindonesiaan. Nasionalisme selama ini yang selalu dijejali melalui
beragam ritus mesti berpijak pada sejarah, kesadaran kritis dan sekaligus
kehendak untuk senantiasa meluaskan cakrawala pemikiran dan relasi untuk sampai
pada maqam berdaulat secara politik,
mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
*Tulisan ini terbit pertama kali pada 5 Agustus 2021 di portal jamberita.com
Keterangan:
Berikut artikel saya seputar Pandemi Covid-19:
1) Piknik di Tengah Pandemik: Catatan Perjalanan Ke Masjid Muhammad Cheng Hoo di Kenali Asam Bawah (25 Juli 2021)
2) Pandemi Corona dan Wajah Buram Kita (6 Juli 2021)
3) Kisah Mas Rudin di Pasar Kenari (19 November 2020)
4) Dari Palasari Ke Pasar Kenari (15 November 2020)
5) Corona Berjalan Ke Rumah Kita Sebagai Monster yang Tidak Asing (27 September 2020)
6) Muhammad Febiansyah, Covid-19 dan Hal-hal Yang Belum Selesai (23 September 2020)
7) Kisah Ramdani Sirait Berjuang Melawan Corona (11 September 2020)
8) Piknik Ke Candi Muarojambi di Tengah Pandemi (2 Agustus 2020)
*Catatan di atas perlu dibaca sesuai konteks, sebagaimana penanggalan pada setiap catatan tersebut di atas.
0 Komentar