Rumah Sayyid Idrus (sebelah kiri). Sumber: Tropenmuseum |
Oleh: Jumardi Putra*
Dua pekan lalu saya bersama istri dan putra bungsu mengunjungi bangunan bersejarah di Seberang
Kota Jambi yakni Rumah Batu peninggalan Sayyid Idrus Hasan Al-Jufri beralamat di
jalan KH. Abdul Qodir Ibrahim RT. 02, Kecamatan Danau Teluk, seberang Kota
Jambi.
Disebut Rumah Batu oleh warga setempat karena konstruksinya
berbahan utama semen dan batu. Selain warga Belanda, sukar untuk membayangkan sekitar abad ke-18 memiliki rumah bagus bila bukan dari kalangan berpunya. Dan Sayyid
Idrus Hasan Al-Jufri memang dikenal saudagar, selain penyiar agama Islam.
Selain menghadap ke Batanghari (dulu
sungai merupakan jalur utama transportasi), Rumah Batu ini berada tepat di
samping Pesantren As’ad dan berjarak ratusan meter dari Pesantren Nurul Iman.
Kedua Pesantren tersebut tergolong tonggak penting lembaga pendidikan Islam di kawasan Seberang kota Jambi.
Pesantren yang ada di kawasan
Seberang Kota Jambi telah berhasil mencetak ulama Jambi bereputasi
internasional. Sayangnya, selain kabar soal itu luput menjadi perhatian cendekiawan
muslim di Jambi, juga tidak banyak santri setelah mereka berhasil melanjutkan
estafet peranan intelektual di kancah global.
Pesantren Nurul Iman (berdiri sejak 1333 H / 1915 M) |
Itu mengapa Seberang Kota Jambi saya sebut sebagai oase. Betapa tidak, Seberang Kota Jambi adalah wajah Kota Jambi sebenarnya, tempat warga Melayu Jambi (utamanya Islam) tumbuh dan berbaur dengan ragam budaya beserta adat istiadatnya, serta tempat peninggalan bersejarah (tangible) yang masih bertahan dan terjaga baik dari gerusan zaman. Sementara Kota Jambi, galibnya kota-kota di tanah air penuh ruko dan mulai sesak.
Sayyid Idrus Hasan Al Jufri merupakan keturunan Yaman yang lahir sekitar tahun 1822. Tentu saja Sayyid Idrus bukan satu-satunya orang Arab yang tinggal di Seberang Kota Jambi. Orang-orang keturunan Arab banyak tinggal di kampung Olak Kemang, tempat Sayyid Idrus berada. Sedangkan orang-orang keturunan Cina tinggal di Olak Kemang Hilir, Ulu Gedong, Tengah dan Jelmu.
Sayyid Idrus (nomor 1: duduk dan memegang tongkat) antara tahun 1850-1900. |
Sayyid Idrus memperoleh gelar Pengeran Wiro Kusumo melalui pernikahannya dengan Ratumas Maryam, anak Sultan Ahmad Nazaruddin, yang tak lain paman dari Sultan Thaha Syaifuddin, sultan terakhir Kesultanan Melayu Jambi.
Gelar itu juga digunakan pada tahun 1853
sebagai anggota “Kraton” (keluarga dari penguasa elit di istana Jambi) dan juga
menandakan sebagai pejabat tinggi pemerintah yang memiliki tugas menggantikan
Sultan ketika tidak ada dan juga sekaligus sebagai pengawas istana. Sultan
Nazaruddin memercayainya dalam bidang manajemen dan administrasi kesultanan.
Pada tahun 1875 Sultan Nazaruddin dan
Pangeran Ratu (putra mahkota/perdana menteri) meninggalkan kekuasaannya kepada
Pangeran Wirokusumo untuk mengatur dan mengurus semua urusan kerajaan seperti monopoli
garam, candu, wilayah dataran rendah yang luas (di sebelah timur provinsi jambi)
dan mendirikan Masjid Jami Al-Ikhsaniyah.
Menurut sejarahwan Elsbeth Locher Scolten,
pangeran Wiro Kusumo memainkan peran penting dalam rentang tahun 1858-1881
ketika Sultan Nazaruddin lebih banyak memilih mengasingkan diri ke tempat yang
jauh dari keraton untuk menjaga jarak dengan penguasa penjajah Belanda di
Jambi.
Ketika Sultan Thaha Saifuddin memperluas pengaruhnya
pada 2 dekade terakhir di abad 19, pangeran Wirokusumo menikahi putrinya dengan
Sultan Thaha. Dalam pada itu, pangeran Wiro Kusumo terus memainkan peran
sebagai mediator dan negosiator dengan pihak Belanda.
Rumah Pangeran Wiro Kusomo (sudut depan). Sumber: Tropenmuseum |
Pangeran Wiro Kusumo meninggal dunia pada 13 Syawal 1319 H atau 23 Januari tahun 1902 seperti tertulis di nisannya. Di buku sejarahwan Elsbeth Locher Scolten, “Kesultanan Sumatra dan Pendudukan Kolonial: Jambi dan kebangkitan imperialisme Belanda, 1830-1907” disebutkan pangeran Wiro Kusumo wafat pada tahun 1905.
Makam Pangeran Wiro Kusumo berada tepat di
sisi kanan Masjid Al-Ikhsaniyah dan sekaligus di pinggir jalan KH. Abdul Qodir
Ibrahim RT. 02, Kecamatan Danau Teluk, seberang Kota Jambi. Di hadapannya tegak
papan keterangan yang menyebutkan makam tersebut sebagai cagar budaya dan karenanya
dilindungi oleh Undang-Undang.
Makam Sayyid Idrus |
Di setiap Haul Sayyid Idrus Hasan Al-Jufri masjid dan makamnya ramai dikunjungi warga dan unsur pemerintah lokal, umumnya perhelatan haul Habaib atau Kyai-kyai di banyak daerah di tanah air.
***
Rabu, 11 Agustus 2021, bukan kali pertama
saya mengunjungi bangunan abad ke-18 ini setelah sebelumnya pada tahun 2014 dan
berlanjut 2016 sampai 2018. Ketika itu lantai dua Rumah Batu ini masih terlihat
jelas meski sudah lama tidak dihuni oleh ahli waris terhitung terakhir kali
pada tahun 1997.
Kondisi terkini bangunan rumah batu makin memperihatinkan. Hanya tersisa lantai satu dan sudah tidak utuh lagi. Dinding-dindingnya ditumbuhi lumut, tumbuh-tumbuhan pakis, dan rerumputan. Di semua bagian sisa rumah ini dipasangi kayu penyanggah untuk menjaga agar tidak runtuh. Di dalamnya tumbuh beberapa batang pohon pepaya dan ubi kayu.
Rumah ini yang dulunya megah kini hanya
tinggal puing-puing. Data arkeologis, sejarah dan administratif dari bangunan
ini lamban laun ditelan waktu bila tidak segera disikapi oleh pemerintah Kota
Jambi dan para pihak terkait untuk melakukan penyelamatan.
Kondisi terkini Rumah Batu Olak Kemang. Dok. JP |
Di sebalah kanan Rumah Batu (dari arah jalan utama) terdapat sebuah rumah milik ibu Syarifah Aulia, yang tak lain adalah salah satu di antara keturunan Sayyid Al Jufri. Bersamanya saya sempat bercakap-cakap seputar bangunan rumah batu ini. Bu Syarifah merupakan pegawai Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jambi yang bertugas sebagai juru pelihara bangunan ini. Profesi ini diakuinya melanjutkan tugas kakak dan orangtuanya jauh sebelum ini.
Menurutnya status rumah batu ini masih
menjadi milik keturunan Sayyid Al-Jufri. Tanah dan bangunan di atasnya belum
dibebaskan oleh pemerintah kota Jambi.
“Karena rumah ini berada di wilayah
administrasi Kota Jambi tentulah Wali Kota yang memiliki kewenangan melakukan
pembebasan lahan tersebut. Dari tahapan itu barulah bisa dilakukan revitalisasi
untuk kepentingan pemugaran dan pelestarian sehingga menjadi daya tarik wisata
bagi publik luas. Sayangnya, sampai sekarang belum ada tindakan kongkrit dari
pemerintah Kota,” imbuhnya.
Gudang penyimpan kayu dari lantai II Rumah Batu. Dok. JP |
Ia menambahkan menimbang faktor cuaca dan sekaligus
menghindari dari ulah tidak bertanggung jawab manusia, pada akhir tahun 2019 BPCB
provinsi Jambi melakukan penyelamatan kayu-kayu dari lantai II rumah batu ini. Di
sisi kiri rumah batu ini berdiri semacam gudang berisikan kayu-kayu dari sisa
bangunan tersebut.
Dalam sejarahnya, mula pembangunan rumah batu
milik Sayyid Idrus Hasan Al-Jufri ini mendapat saran dari Datuk Sintai, seorang
pedagang dari negeri Cina. Lewat tangan Datuk Sintai inilah rumah batu menjadi
rumah yang begitu menonjol di masa itu.
Gaya rumah berlantai dua ini merupakan perpaduan
dari arsitektur Islam, Cina dan Arab. Motif batik pada bagian sisa bangunan di
lantai satu masih tampak. Unsur lokal dari rumah batu ini yaitu berupa rumah
panggung, umumnya rumah-rumah warga di Seberang Kota Jambi. Pengaruh Cina terlihat
pada bentuk atap, gapura dan ornamen-ornamen berbentuk naga, awan, bunga dan
arca singa.
Sisa bangunan Rumah Batu Olak Kemang. Dok. JP |
Sementara di pilar bagian dalam tampak relief bertuliskan huruf-huruf Arab. Begitu juga unsur Eropa terlihat dari tiang-tiang panggung yang terbuat dari bahan bata dan semen berbentuk pilar menyangga bangunan di atasnya.
Pada lantai bawah dilapisi ubin terakota,
sedangkan pada lantai kedua berupa papan kayu. Kedua lantai ini dihubungkan
dengan tangga semen seperti layaknya tangga rumah bertingkat yang banyak
dipakai pada bangunan indis. Hanya saja tangga semen tersebut sudah rusak berat
dan hanya tersisa dua-tiga anak tangga paling bawah. Ada juga tangga penghubung
lantai I ke II terbuat dari bahan kayu dan tidak lagi sempurna. Saya tidak tahu
persis tangga kayu tersebut apakah sezaman dengan tangga berbahan semen di
rumah batu ini atau dibuat jauh setelahnya.
Rumah bekas peninggalan Pangeran Wiro Kusomo ini tidak mudah diketahui dari jalan utama (jalan KH. Abdul Qodir Ibrahim RT. 02, Kecamatan Danau Teluk, seberang Kota Jambi) lantaran tertutup seng. Beda halnya pada tahun 2014 masih terlihat jelas dari arah jalan dimana warga lalu lalang hari-hari.
Sisa tangga semen Rumah Batu. Dok. JP |
Diakui Bu Syarifah penutupan seng pada bangunan
ini untuk menghindari dari ulah pemuda-pemudi yang kerap menjadikan bangunan
ini sebagai tempat pacaran. “Kita tidak ingin terjadi sesuatu yang bertentangan
dengan agama dan adat-istiadat di sini,” ungkapnya.
Dalam banyak liputan berita maupun catatan
perjalanan para pengunjung, rumah batu ini kerap disebut sebagai tempat wisata
dan oleh pemerintah sendiri dicap sebagai situs cagar budaya, tetapi faktanya
ia belum didukung sarana prasarana wisata yang memadai. Bahkan papan keterangan
situs cagar budaya yang terpancang di hapadan rumah batu ini tidak terbaca
lagi.
Sampai sekarang situs wisata ini sepertinya
hanya sebagai referensi untuk observasi sejarah bagi kalangan terbatas, sebut
saja seperti peneliti dan mahasiswa. Selebihnya Rumah Batu ini kerap didatangi
pengunjung untuk keperluan foto prawedding
atau sekadar berkunjung untuk melihat-lihat saja.
Melihat dari dekat sisa bangunan bersejarah ini
menegaskan puing-puing ingatan dari masa silam. Masa yang panjang dari
perjalanan Kesultanan Melayu Jambi dengan segala pernak-perniknya, yang kian ke
sini tidak lagi menjadi perhatian.
Referensi:
- Elsbeth Locher Scolten, “Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial. Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, terj. Noor Cholis, (Jakarta: KITLV dan Banana, 2008).
- Sayyid Idrus bin Hassan al Djufri, dalam http://aladamyarrantawie.blogspot.com/2012/12/sayyid-idrus-bin-hasan-al-jufri.html
0 Komentar