Menyoal Duta Baca Provinsi Jambi

 

ilustrasi: literasi. sumber: kompas.com

Oleh: Jumardi Putra*

Pemilihan Duta Baca Provinsi Jambi tahun 2021 sepi dari pembicaraan (kalau bukan diskusi). Ritus dua tahunan Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Jambi ini sempat menjadi obrolan sesama pegiat literasi di sebuah grup aplikasi perpesanan Whatsapp yang kebetulan saya tergabung di dalamnya. Mungkin saja di media sosial dan medium interaktif lainnya seperti facebook, twitter dan istagram, perhelatan pemilihan Duta Baca ramai dipercakapkan.  

Galibnya obrolan di aplikasi perpesanan berumur pendek dan dalam tempo yang singkat berganti dengan macam-macam informasi lainnya. Begitulah internet, tempat semua hal tumpah ruah tak beraturan. Mulai dari perkara serius sampai hal remeh temeh hadir bersamaan. Kuantitas menggantikan kualitas. Semua campur baur. Batas antara pengetahuan dan pendapat dengan gosip, candaan, gerundel, ngedumel, dan caci maki menjadi sumir. Jempol mendahului pikiran. Otak mendahului kesadaran. Dan, inilah dunia kita sekarang, tempat kita hidup hari ini. Barangkali benar, evolusi berjalan pincang.

Hingga sekarang wacana literasi di provinsi Jambi masih merupakan kerja-kerja sunyi mereka yang bersetia membuka lapak baca di pinggiran jalan protokol dan ruang-ruang publik, para penulis dengan gagasannya, koran maupun media online yang menyediakan rubrikasi pemikiran, mobil keliling milik perpustakaan daerah yang kadang jalan kadang mangkrak, serta para civitas akademika di ruang-ruang kuliah maupun medium akademik lainnya, yang kesemuanya itu belum terhubung antar satu sama lain ke dalam satu gerakan bersama meningkatkan kesadaran literasi masyarakat di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah.

Bahwa jumlah pendaftar Duta Baca Provinsi Jambi tahun 2021 meningkat dari tahun-tahun sebelumnya adalah suatu yang patut kita syukuri, meski tidak menghilangkan ruang bagi kita untuk bertanya ulang yaitu apa arti Duta Baca di tengah perkembangan ilmu pengetahuan, pemutakhiran teknologi dan masih kuatnya tradisi lisan masyarakat? Bersamaan juga ekses dari perkembangan teknologi dan informasi seperti hoax, ujaran kebencian dan kian pudarnya “self cencorship” nitizen saat berselancar di dunia maya yang dicirikan kecepatan tinggi sekaligus nir-teritori itu.

Pengarusutamaan literasi oleh institusi pemerintah pusat maupun daerah tampak berjalan, meski dalam intensitas yang jarang, namun belum mampu menggiring wacana literasi dari posisi peri-peri ke “tengah” untuk kemudian menjadi bagian integral dari pembangunan daerah berbasis kewargaan yang memiliki kemampuan untuk mengakses, memahami, mengelola, dan menggunakan pengetahuan serta informasi yang dipilih secara cerdas. Pendeknya, melek literasi, bukan lagi sebatas melek huruf. 

Hasil penghitungan indeks aktivitas literasi baca masyarakat provinsi Jambi tahun 2018 secara nasional masuk dalam kategori rendah yaitu di angka 37,32. Nilai itu tersusun dari 4 dimensi yaitu dimensi kecakapan sebesar 75,92, dimensi akses sebesar 23,09, dimensi alternatif sebesar 40,49, dan dimensi budaya (habitus) sebesar 28,50.

Kita boleh saja tidak sepenuhnya percaya pada temuan tersebut, yang mengadopsi konsep Miller dan McKenna dalam buku World Literacy: How Countries Rank and Why it Matters (2016) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas literasi, tetapi setidaknya dengan temuan tersebut kita bisa melakukan apa dan melangkah dimulai dari mana.

Fase perkembangan literasi di tanah air, tidak terkecuali di Provinsi Jambi, tidak berjalan linear dari mulai tradisi lisan, cetak, tulisan, audio visual dan hingga sekarang era internet. Pada kesemua fase itu sesungguhnya masih kita temukan tradisi lisan dalam praktek sehari-hari masyarakat sehingga menunjukkan anomali. Faktanya, akses terhadap televisi jauh di atas kebiasaan membaca koran maupun mendengarkan radio. Bahkan, akses terhadap internet jauh lebih tinggi ketimbang membaca buku.

Masyarakat sekarang lebih suka mendapat informasi yang dibacakan, sehingga penonton berlaku sebagai pembaca pasif yang dengan tenang mengunyah segala persepsi yang muncul melalui program-program di televisi. Fenomena demikian itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan karena sumber informasi lebih bersifat audio-visual.

Potret demikian sejalan dengan budaya baca-tulis yang belum benar-benar mendarah daging di tanah air. Budaya lisan primer yang belum terkikis oleh hadirnya budaya baca-tulis kini telah tergantikan oleh gempuran budaya lisan baru lewat media televisi dan sekarang bertransformasi secara massif melalui kehadiran jaringan internet, yang memunculkan medium interaktif baru seperti media sosial facebookyoutube, tiktok, instagram dan perangkat lunak lainnya. Pendeknya, budaya “lisan baru” tersebut justru telah menyihir masyarakat Indonesia, tidak terkecuali di Provinsi jambi, dan karenanya tak perlu heran bila tradisi membaca buku dan menulis kian sepi dari pembicaraan.

Di luar soal itu, sarana prasarana perpustakaan dan taman bacaan di Provinsi Jambi belum semuanya tersedia memadai. Padahal, sejatinya dukungan sarana tersebut bisa menjembatani masyarakat dalam mengakses bahan bacaan tanpa harus mengeluarkan uang. Ironinya, kini banyak perpustakaan yang representatif, tetapi jumlah pengunjungnya sangat rendah. Dengan demikian, skema peningkatan literasi masyarakat perlu direformulasi kembali sesuai perkembangan zaman, seperti salah satunya memaksimalkan keberadaan perpustakaan digital (ipustaka) yang dibuat pemerintah Provinsi Jambi maupun kabupaten/kota dengan tetap membangunan kesadaran kritis melalui diskusi sebagai wadah pertukaran atau pengayaan pemikiran.

Begitu juga ketersediaan koleksi buku-buku di perpustakaan sekolah dasar sampai menengah atas dan pojok baca di kampung-kampung, yang umumnya masih didominasi buku-buku bahan ajar ketimbang sumber bacaan beragam yang mengasah imajinasi dan kecakapan berpikir siswa. Singkat cerita, masih banyak indikator lainnya yang menjelaskan betapa urusan meningkatkan literasi masih menjadi pekerjaan rumah negeri ini, tidak terkecuali di provinsi Jambi, dan karenanya perlu menjadi perhatian seorang Duta Baca.

Saya berpandangan mereka yang mendaftarkan diri sebagai Duta Baca tentulah mereka yang bersedia bertungkus lumus dalam dunia literasi dengan segala pernak-perniknya. Menjadi Duta Baca tidak sekadar mengajak atau menghimbau warga agar gemar membaca, melainkan memahami dinamika literasi dalam spektrum yang lebih luas dan karenanya mampu berjejaring dengan stakeholder terkait, sebut saja seperti pegiat literasi, akademisi, peneliti, lembaga swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas senafas lainnya.  Apa sebab? Jauh sebelum ada Duta Baca sebagai sebuah program dan kegiatan, kerja partisipatoris untuk meningkatkan budaya membaca dan menulis telah lebih dulu ada.

Bahwa salah satu syarat untuk menjadi Duta Baca, sebagaimana termaktub di dalam brosur pendaftaran yaitu berpenampilan menarik, adalah selain absurd juga mengikuti deret ukur pasar (good looking) sehingga tidak perlu menjadi faktor penentu utama. Kita tidak sedang mencari Duta Kecantikan maupun Duta Ketampanan. Itu semua relatif dan tidak lebih dari konstruksi pasar.

Pandangan sekaligus sikap konsisten untuk meningkatkan budaya literasi (lebih-lebih dalam abad serba digital sekarang) merupakan hal yang utama, dan karenanya harus menjadi pijakan seorang Duta Baca selama dalam pengabdian.

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal: www.jamberita.com

0 Komentar