Dari Sorot Matamu, Aku Belajar Bahasa Bunga dan Siap Terkena Tusukan Duri Darinya

Perempuan Arab Saudi. Sumber: travel.detik.com

Oleh: Jumardi Putra

Dari sepasang matamu aku belajar bahasa bunga. Sebagaimana aku bersukacita menghirup aroma wewangiannya, diriku juga mesti siap terkena tusukan duri darinya.

**

Tersebab tidak semata laksana jendela, sepasang matamu adalah juga pintu-pintu, yang darinya aku bisa mengunjungimu dengan leluasa. Mata yang di dalamnya menyimpan kisah-kisah indah dan hal-hal tak terduga.

**

Sepasang matamu adalah lautan. Dari jarak terdekat aku melihat deburan ombak makin membuatnya menakjubkan. Saat pasir tempatku melukiskan kenangan tentang kita di bibir pantai digulung ombak, kaulah lautan yang mendekapnya begiru erat.

**

Sepasang matamu serupa lautan. Darinya aku belajar tidak mengutuk badai yang datang. Aku tahu ini tidak mudah, seperti pantai yang berulangkali diterjang ombak oleh angin mengaduh dan  bergelombang. Aku masih di sini, memilih mengarungi samudera lepas sembari mengenggam sebuah nama: prajna dengan sorot matanya yang menawan.

**

Bila malam ini didera sepi, kau boleh meminjam riuh ingatanku. Kuceritakan jika pada kedua telapak tanganmu pernah kutulis sajak-sajak cinta paling masyhur yang belum pernah kau dapati dari pujangga lain di jagad ini.

**

Malam yang makin larut benar-benar tidak mudah dilalui bagi mereka yang dipisahkan. Mengingatmu membawaku pada sebuah kurun waktu dimana aku pernah berjuang ingin memilikimu. Berkali-kali jatuh dan tidak lantas membuatku menolak kehadiranmu. 

**

Dalam kesendirian aku belajar mengenali waktu. Ibarat angin yang tidak terelakkan beterbangan dan bahkan saat aku ingin menggenggamnya, tidak lantas membuatku mengutuknya. Kesendirian sebagai anugerah tidak lain adalah waktu paling berarti yang menautkanku padamu dalam segala musim dan suasana.

**

Di puncak malam aku menyulam kata-kata. Sukar untuk tidak membayangkan hal-hal indah dan kisah mendebarkan lainnya. Selamat malam. Selamat menemukan sudut tepat untuk merengkuh pengertian yang melampaui makna harfiahnya. Waktu kerapkali ditakar sebagai komoditi. Tidakkah ia adalah anugerah, dan karenanya meniscayakan usaha memasukinya sampai pada lapis paling dasar? Kedirianku di tengah semua ini.


*Kota Jambi

0 Komentar