ilustrasi |
Oleh: Jumardi Putra*
Hujan sudah berhenti. Aku khawatir kau juga akan begitu. Makin jauh dari penglihatanku. Kala hujan kusediakan payung. Tidak untuk menolak kehadirannya, melainkan aku ingin melihat dari jarak terdekat saat rerintik hujan jatuh perlahan di bucu matamu, lalu mengairi sabana pipimu. Sanggupkah aku menjumlahkan rintik hujan yang jatuh dari ujung dagumu? Bukan itu yang kutuju, karena jernih hujan tak lain adalah bening matamu.
**
Hutan senang bila kau menjelajahinya dengan kaki telanjang. Begitu juga pepohonan riang tak kepalang melihat rambut panjangmu terurai disaksikan riuh dedaunan. Bersamaan rinai hujan, angin meliuk-liuk tak tergapai mengabadikan setangkup bibir tipismu yang piawai merapalkan tembang rindu dalam balutan kenangan.
**
Hujan bukan perlambangan dari kesedihan mahapanjang. Sama sekali bukan. Hujan adalah bahasa paling purba tentang kesediaan mengasihi. Ia hadir tidak lantas menggantikan senja maupun malam yang disertai purnama. Hujan, sebagaimana takdirnya jatuh berkali-kali, dan tidak pernah mengeluh karenanya.
Senja keburu berganti malam, tetapi sukar membayangkan bila sehari penuh tanpanya. Tersebab fajar memercikkan embun sebelum mentari menyiangi, senja juga begitu, yang bersukacita membersamai matahari pulang ke peraduannya sekaligus menyambut bintang-bintang dan rembulan menjalani takdirnya. Senja, sekalipun singkat, darinya kita memungut serpihan makna, yang bila tanpanya tiada purna.
**
Tetiba aku ingat sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Hujan Bulan Juni. Sajak sederhana, tapi memikat. Sajak yang berhasil memungut saripati ketabahan, kebijaksanaan, kearifan, dan puncaknya cinta yang melampaui konvensi.
Belakangan hujan kerap melanda. Sapardi menyadari baik Juni maupun bulan-bulan lainnya, itu tak lain hanya dipisahkan oleh karena manusia menubuhkan tanda-tanda untuk merengkuh makna dari segala suasana.
Cinta adalah cinta. Tidak disekati oleh nama-nama bulan yang dihapal di luar kepala. Cinta sejatinya menyusup ke dalam segala suasana dengan cara sederhana, bahkan terkadang tiba tak terduga.
**
Bila saya dipertemukan dengan Sapardi Djoko Damono, sekalipun dalam mimpi, saya hendak bertanya apa resep sajak semenarik Hujan Bulan Juni?
Aku ingin belajar menuliskannya dengan cara sederhana. Bukan sajak laksana bunga-bunga yang layu sebelum berkembang, dan gagal meruapkan wewangian rona.
Karena Sapardi telah tiada, dan mimpi itu tak kunjung tiba, maka tugas saya menyelami sajak-sajaknya, yang bila jasad tak ada lagi, tetap tidak akan pernah sendiri karena mengabadi dalam bait-bait sajak bergelimang arti.
*Kota Jambi.
0 Komentar