Demonstrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 |
Oleh: Jumardi Putra*
Mahasiswa
sebagai salah satu entitas sosial masyarakat yang strategis dalam mensemestakan
gagasan nasionalisme demokrasi kerakyatan dan memberantas budaya bisu (culture silence) warga Indonesia, yang selama ini dikerangkeng oleh ideologi
konservatif, agaknya mulai menemukan kebuntuan. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa
mengalami kebingungan mengambil posisi sekaligus menawarkan solusi untuk mengakhiri "sandiwara" kaum elite bersama oligark dari semua tuntutan masyarakat
yang selama ini belum terealisasi.
Dalam
sejarahnya, gerakan mahasiswa merupakan ruang eksperimentrasi dari sebuah
penyatuan antara idealisme dan realitas sehingga menghendaki sebuah tindakan
yang menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat (intelektual organik).
Namun, kondisi saat ini gerakan mahasiswa terkesan tertidur lelap karena kemapanan dan logika kewajaran, sehingga gagal menemui titik produktif sebagai insan yang memiliki tanggung jawab atas pelbagai masalah di
sekitarnya.
Sudah
seharusnya generasi mahasiswa saat ini mengingat kembali peran gerakan
mahasiswa seperti pada tahun 1912-1926-1930-1945-1966-1974-1978-1998, di mana
mereka konsisten membangun karakter generasi bangsa Indonesia yang tidak mau
dijajah dan dibodohi oleh sistem kapitalisme global.
Namun, karena
ulah pejabat maupun elit rezim Orde Baru yang membuka pintu neo liberalisme
seluas-luasnya bagi para investor asing, mengakibatkan kesenjangan ekonomi
semakin tidak bisa dihindari. Tak pelak, negara karena berada di bawah tekanan
pemodal melahirkan diskriminasi melalui berbagai bentuk kebijakan baik secara
lansung maupun tidak lansung (direct or indirect).
Di tengah
kondisi bangsa yang masih terkurung dalam krisis multidimensi, sudah barang
tentu kesadaran kritis kaum gerakan menjadi mutlak. Sebuah kesadaran transformatif dimana
setiap warga negara mampu melihat dengan jeli apa yang sedang terjadi di
republik ini. Dengan demikian, partisipasi masyarakat bisa menjadi alat kontrol
bagi sebuah rezim pemerintahan.
Pada tahun
1930-an, peran pendidikan yang didirikan oleh Jepang untuk Bumi Putera, sebagai
bentuk kerjasama melawan Hindia Belanda nyatanya memberi pengaruh yang kuat membangun spiritualitas kerja dan mempercepat proses kemederkaan bangsa
Indonesia. Hal itu terbukti melalui segelintir pemuda yang mengenyam sekolah
serta keterlibatan masyarakat menjadi embrio awal bagi kelahiran
nasionalisme untuk perubahan di bumi Ibu pertiwi.
Kita bisa
mengetahui sederetan nama besar dan organisasi bawah tanah yang justru lahir
dari pendididikan di bawah sistem penjajahan. Sebut saja seperti Sutan Sjahrir,
Amir Syarifuddin, Laksamana Maeda, dan masih banyak pejuang di balik layar
revolusi kemerdekaan bersama-sama membangun satu model kekuatan dari
persoalan sosial menjadi persoalan politik yakni kemerdekaan dari setiap
penindasan.
Setakat hal
itu, kemunculan nasionalisme diawali dari sikap solider yang pada akhirnya
mampu mengatasi persoalan etno-sentrisme yang selama proses penjajahan oleh
kolonialisme Belanda maupun Jepang dijadikan alat legitimasi kelompok tertentu
untuk mengikis habis sikap nasionalisme kebangsaan pada masa itu.
Hemat saya,
ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian gerakan mahasiswa saat ini dan perlu disemestakan
sebagai bentuk penyadaran kolektif di tengah situasi bangsa saat ini. Pertama,
menempatkan sejarah sebagai pijakan memahami persoalan yang menimpa
kondisi Indonesia saat ini. Kedua, memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai pisau analisa
sosial kemasyarakatan, di samping sebagai counter
terhadap persoalan normatif yang selama ini belum menjadi satu model produksi
masyarakat.
Ketiga, menjadikan ideologi sebagai word view, instrumen dialektika dan keyakinan terhadap perubahan di masa yang akan datang. Keempat, membangun karakter di tingkatan kader-kader gerakan mahasiswa agar tidak tercerabut dari akar kesejarahannya, sehingga membentuk satu kesadaran massa yang tidak hanya berkutat dalam kondisi "kemarahan yang senyap", tapi benar-benar marah jika melihat Ibu Pertiwi sampai sekarang masih mencengkam di balik jeruji besi kapitalisme global.
*Yogyakarta, 13 Juni 2008.
0 Komentar