ilustrasi. sumber: https://pikabu.ru |
Munawarman tertunduk lesu.
Lidahnya kelu. Kuajak bicara ia tidak segera merespon. Aku pun tidak meneruskan
percakapan. Barangkali ia memang butuh waktu untuk sendiri. Pikirku sekenanya.
Selang satu jam setelahnya ia
menghampiriku dengan tergopoh-gopoh dari ruang tengah.
“Gempa bumi melanda Kota Padang,
Provinsi Sumatra Barat,” ujarnya dengan nafas tersengal-sengal.
Jelas aku dibuat kaget.
“Gimana kondisi keluargamu di Padang?” sambungku.
Ia tidak segera menjawab,
melainkan menunjukkan raut wajah kebingungan. Matanya berkaca-kaca menahan air mata.
“Mari berdoa dan mencari
tahu keberadaan keluargamu,” imbuhku seraya menguatkannya.
Kesedihannya sangat beralasan.
Rumah orangtuanya berada di kaki perbukitan dusun Tandikek, tidak jauh dari pusat
gempa.
Tidak jauh dari posisi duduk kami
berdua, tivi-tivi nasional mewartakan situasi terkini di pusat gempa di Kota
Padang. Warga Pariaman yang tinggal di
kaki perbukitan dikabarkan tertimbun akibat tanah longsor saat gempa melanda.
"Saya hanya bisa pasrah.
Semoga Allah memberi keselamatan kepada emak, bapak dan adik Izzati di kampung
halaman,” imbuhnya sambil mengusap pipi yang dibaluti air mata.
Jarak pulau Jawa-Sumatra membuat uda Munawarman, begitu ia sehari-hari disapa, memikirkan situasi terkini keluarga di
kampung halaman.
Wajahnya muram. Aku yang diminta
menemani kegalauannya tak kuasa menahan tangis. Namun yang bisa kulakukan membuatnya tidak terus murung dalam kesedihan. Saya
menyarankan kepadanya menghubungi sanak saudara yang ada di provinsi Sumatra
Barat atau daerah lain.
"Semua nomor handphone keluarga di Padang tidak
aktif,” keluhnya sambil mondar-mandir di ruang tamu rumahnya.
"Sabar uda. Mereka yang
memiliki keluarga di pusat gempat tentu khawatir dan berusaha mencari tahu
keberadaan keluarga masing-masing. Mudah-mudahan keluarga Uda Munawarman
selamat," Imbuhku berulangkali menenangkannya.
Benar adanya. Semua kolega sesama
perantau asal Padang baik di Jakarta maupun Bandung saat dihubungi menjawab
sama yakni belum bisa berkomunikasi dengan sanak keluarga masing-masing
lantaran listrik dan jaringan telekomunikasi terganggu.
Dua hari gempa berlalu. Belum ada kabar pasti mengenai keluarga uda Munawarman. Sedangkan
jumlah korban meninggal dunia terus bertambah. Hari-hari Munawarman tak pernah
luput menonton berita di layar kaca tivi.
Menyadari kabar dari kampung
halaman tak kunjung pasti, uda Munawarman memilih berangkat menuju kota Padang
menggunakan pesawat. Meski ongkos pesawat melonjak tinggi sampai tiga juta
rupiah, tak ada pilihan lain buatnya selain menengok langsung orang tua dan adiknya di
kampung halaman.
***
Kampung Tandikek rata oleh tanah.
Gedung dan rumah-rumah warga hancur. Kampung halamannya yang dulu asri kini
porak-poranda. Ia bergegas menelusuri tenda-tenda pengungsian. Nihil. Sanak
familinya tidak terlihat sama sekali. Begitu juga dua rumah sakit terdekat.
Tidak ada nama pasien atau jenazah dari pihak keluarganya.
la memutuskan meluncur ke pusat
kota Padang, tepatnya Hotel Ambaçang. Munawarman duduk termangu di tengah
kerumunan orang yang melihat proses evakuasi korban yang tertimbun tanah, beton rumah dan gedung perkantoran serta pusat belanja dan hotel.
Di tengah pencarian, apatah lagi saat
fisiknya terkuras dan hati yang diliputi iba, Munawarman mendengar petugas
evakuasi menyebut nama seorang perempuan yaitu Munawaroh Izzati Melati umur 22
tahun. Perempuan tersebut bekerja di Hotel Ambacang sebagai resepsionis. Ia berhasil
diselamatkan setelah terhimpit reruntuhan beton selama 4 hari.
Mendengar nama tersebut
Munawarman bergegas menuju sumber suara. Usai mengamati detail identitas
perempuan tersebut, ia meyakini bahwa perempuan itu tidak lain adalah adik
kandungnya. la pun membuntuti rombongan petugas Palang Merah Indonesia (PMI)
yang mengantar Izzati, panggilan sehari-hari adiknya, dari lokasi ditemukan menuju Rumah
Sakit Haji Jamil, rumah sakit utama bagi korban gempa di Kota Padang.
Kondisi fisik Izzati memperihatinkan. Kedua mata dan telinga kirinya memar. Tulang punggungnya retak.
Kedua kakinya patah. Di hadapan Izzati, Munawarman berusaha tegar, tetapi ia
gagal. Ia tak mampu menahan tangis saat melihat adiknya terbaring kaku di
atas ranjang sekaligus mengerang kesakitan.
Dokter yang melihat kakak-adik ini mengatakan bahwa Izzati akan sembuh dan bisa berkumpul dengan
keluarga. Munawarman tahu sang dokter sedang memotivasi dirinya dan adiknya,
lebih-lebih dua kakinya yang patah harus segera dioperasi.
"Auih bana Izzati, Uda.
Indak tahan dek Izzati lai (Haus benar Izzati, Kak..... Tidak tertahan lagi oleh
Izzati...)," rintihnya. Hanya tangan kanan yang bisa digerakkan Izzati untuk
menggapai kakaknya, Munawarman yang bersetia duduk di sebelahnya.
"Uda, agiahlah ala Izzati, Uda..... (Kak, berilah air minum adik)," kembali Izzati merintih.
"Sabarlah yo. Izzati harus
puasa. Setengah jam ke depan Izzati menjalani operasi," ujar Munawarman
menenangkan.
Operasinya berjalan sukses. Izzati pun dipindahkan ke tenda darurat, mengingat pasien lain mengantre giliran
operasi. Ceceran darah menjadi potret biasa di rumah sakit Jamil. Begitu juga
bau anyir tercium kuat di sepanjang lorong rumah sakit.
Izzati pun siuman setelah
sebelumnya menjalani operasi. Ia sesekali merintih kehausan, bibir tampak
bergetar dan wajah pucat pasi. Di tengah cuaca panas dan bertumpuk pasien dalam satu tenda, Izzati tertidur lelap. Munawarman terus mengipaskan
ke wajah adiknya dengan menggunakan serpihan kertas karton yang bertebaran di sekitarnya.
Sebagaimana Izzati, Igor bocah
laki-laki berusia sebelas tahun, korban gempa lain yang sedang dirawat di rumah
sakit Jamil, juga terus merintih kesakitan dan kepanasan. Bahkan, tangisannya lebih keras dan membuat suasana tambah sumpek. Igor tertimpa runtuhan di pasar
swalayan, tidak jauh dari Hotel Ambacang. Kepala bagian kanannya terluka. Kaki kirinya patah.
"Bedanya Igor segera
dievakuasi 11 jam setelah gempa. Syukur selamat. Ayahnya yang sedang di
rumah meninggal karena terkepung di kamar mandi," ungkap Muslihah, ibu Igor,
pada Munawarman.
Bersama Igor dan ibunya serta
korban gempa lain di rumah sakit itulah hari-hari Munawarman.
Sesekali ia menghubungi istri dan dua buah hatinya di Yogyakarta sekadar
memberi kabar kondisi selama di Padang. Begitu juga ia kerap mengabarkan kepada saya, sahabatnya selama
merantau di Yogyakarta.
Malam makin larut. Suasana masih
terang-terang sayup karena penerangan masih mengandalkan generator yang
terbatas jumlahnya. Sedangkan jumlah pasien ribuan. Di tengah keheningan malam Izzati menceritakan saat dirinya berusaha menyelamatkan diri saat Hotel Ambacang
ambruk dan akhirnya ia tertimbun rentuhan bangunan. Tidak hanya itu, Izzati sempat menanyakan kabar emak-bapak di bukit Tandikek yang sama-sama dilanda
gempa.
Mendengar itu, Munawarman tidak
segera melanjutkan pembicaraan. Keingintahuan saat Izzati bertahan di bawah reruntuhan bangunan hotel Ambacang ia tangguhkan. Begitu juga Munawarman tidak menjawab pertanyaan Izzati tentang emak dan bapak. Menyadari Izzati masih diliputi trauma, Munawarman meminta adiknya
itu beristirahat sampai kondisi tubuhnya benar-benar membaik.
***
Azan subuh bergema. Izzati membangunkan
Munawarman dari kursi yang tak jauh dari ranjangnya. Munawarman lantas
menunaikan shalat dan melanjutkan membaca Al quran. Lepas shalat ia tak
henti-henti memohon kepada Allah kesembuhan bagi Izzati dan keselamatan emak-bapaknya yang hingga
sekarang belum ada kabar pasti.
Usai shalat subuh ia kembali
menemui Izzati yang ternyata dalam posisi terjaga. Ia pun menghibur Izzati dengan
menceritakan kehidupannya selama di kota gudeg Yogyakarta. Setelah agak panjang
bercerita, Izzati menampakkan gelagat mencurigakan. Mulanya Munawarman berpikir
Izzati tertidur karena mendengar kisahnya.
Tiga puluh lima menit berlalu, deru nafas
Izzati tidak lagi terdengar. Sekujur badannya tampak kaku. Munawarman panik dan segera memanggil dokter relawan yang hilir mudik di tenda-tenda korban.
"Maaf pak, izzati telah
berpulang," ujar dokter kepada Munawarman sambil meminta dirinya bersabar
dan berdoa untuk almarhumah, sang adik.
"Ya Allah kenapa sesingkat
ini. Kenapa semua harus pergi meninggalkan saya," pekik Munawarman.
Suasana segera menjadi hening. Orang-orang di sekitarya ikut sedih, lalu menyemangatinya.
***
Di hadapan gundukan tanah merah,
Munawarman izin pamit karena esoknya akan berlabuh kembali di tanah rantau. Kembali
ke Yogyakarta jelas keputusan terberat yang mesti ia ambil.
Tidak kurang empat minggu uda Munawarman di
Kota Padang. Izzati akhirnya pergi untuk selamanya usai berjuang dari sakitnya setelah sebelumnya berhasil
selamat dari timbunan reruntuhan bangunan hotel di tempat ia bekerja setahun
terakhir ini. Begitu juga kabar emak-bapak di bukit Tandikek dinyatakan oleh tim
evakuasi pemerintah setempat meninggal dunia bersama warga kampung lainnya di lokasi
tersebut. Munawarman hanya bisa berdoa yang terbaik untuk emak-bapaknya.
Sebelum meninggalkan kota Padang,
ia disambangi oleh Siti Muslihah, ibu Igor yang sebelumnya tinggal bersama
Munawarman di satu tenda darurat di rumah sakit Jamil. Ia mengeluarkan sepucuk surat dari tasnya lalu diserahkan kepada
Munawarman.
"Sewaktu Uda Munawarman tidur,
Izzati meminta kepada saya menuliskan apa yang ingin ia sampaikan. Jadi inilah suratnya untukmu," kilahnya sambil menyeka air mata.
Uda Munawarman,
Saya rindu emak-bapak. Saya tidak tahu kondisi emak-bapak di kampung setelah gempa.
Tolong cari emak-bapak ya. Semoga mereka berdua selamat. Jika bertemu mereka sampaikan salam sayangku kepada mereka berdua. Mohon jaga mereka dan bawa mereka melanjutkan kehidupan bersama Uda di Yogyakarta.
Jika pun mereka diambil oleh Allah, saya hanya bisa berdoa emak-bapak pergi bersama kebaikan yang pernah mereka perbuat semasa hidup. Sebab pastilah Allah tidak akan mengubah kebaikan menjadi keburukan.
Uda, Izzati sayang uda. Hanya uda yang tersisa dalam hidupku.
Munawarman tak kuasa menahan tangis membaca isi surat Izzati, adik semata wayangnya.
Dunia seolah runtuk seketika.
*Cerita pendek ini terbit pertama kali di majalah Al Madina, Surabaya, dengan judul Surat dari Pariaman pada 6 Oktober 2009. Cerpen ini telah mengalami perbaikan dari versi sebelumnya.
0 Komentar