Kabar terpilihnya Datuk Hasan Basri Agus
(HBA) bergelar Tumenggung Jayodiningrat sebagai Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM)
Provinsi Jambi periode 2021-2026 segera menyebar di linimaya dan menjadi
perhatian pelbagai kalangan.
HBA jelas bukan orang asing di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Sebelum
terpilih sebagai anggota DPR-RI Dapil Provinsi Jambi periode 2019-2024 dari
Fraksi Partai Golkar, pria kelahiran 30 Agustus 1953 itu merupakan Gubernur
Jambi periode 2010-2015 dan Bupati Sarolangun periode 2016-2010. Lulusan Pesantren Asad Olak Kemang Jambi
tahun 1975 itu boleh dikata sosok birokrat yang menaruh perhatian terhadap
budaya Melayu Jambi. Meski belumlah ideal, patut menjadi contoh di antara
Gubernur selepasnya sampai sekarang yang masih memosisikan budaya sebagai
periferi.
Kepiawaian HBA sebagai birokrat dan politisi
jelas tidak diragukan. Tetapi sebagai Ketua LAM
Jambi masih perlu bukti. Apatahlagi LAM Jambi yang berdiri sejak tahun
1975, empat tahun sebelum terbitnya Undang-Undang Tentang Pemerintahan Desa
(1979), kian ke sini seolah terasing dari lapangan kulturalnya. Paling banter
LAM Jambi sayup-sayup disebut warga Jambi bila berurusan dengan upacara
pernikahan dan penganugerahan gelar adat. Bahkan sulit menyangkal adanya anggapan LAM Jambi sekadar gerbong
berisikan para pendukung atau tim sukses rezim Gubernur terpilih.
Pelestarian adat Melayu Jambi dewasa ini,
dalam wujudnya yang beragam dengan intensitas yang kian jarang, serta penerapan
hukum adat Melayu Jambi sesuai icopakai
sebagai jalan alternatif penyelesaian sengketa di tengah masyarakat justru
berada di level Desa. Itu pun lebih karena dedikasi, konsistensi dan kafasitas
individual pemuka adat ketimbang kerja organisasional maupun berkat dukungan
penuh dari pemerintah daerah.
Tulisan ini tidak berpretensi menjawab
persoalan LAM Jambi dengan segala dinamikanya baik internal maupun eksternal,
seperti polemik yang sempat mengemuka usai pentabalan HBA sebagai ketua LAM
Jambi oleh Gubernur Al-Haris yaitu LAM Provinsi Jambi tidak boleh diketuai
oleh individu yang terlibat sebagai pengurus partai politik, sebagaimana termaktub
pada pasal 19 huruf (e) Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 2 Tahun 2014
tentang LAM provinsi Jambi.
Wacana seputar syarat dan ketentuan pengurus
LAM Jambi pernah menjadi pembicaraan serius sebelum peraturan daerah tersebut disahkan
pada tahun 2014, tepat saat HBA menjabat sebagai Gubernur Jambi. Mulanya larangan itu bukan saja berlaku bagi ketua, tetapi seluruh
pengurus LAM tidak boleh dari mereka yang aktif menjabat di partai politik.
Alasan mendasar yaitu demi menjaga netralitas dan sekaligus menjaga warwah LAM
Jambi sebagai organisasi otonom.
Sifat otonom LAM Jambi diutamakan karena
kewenangan yang diembannya yaitu (a) memberikan pendapat dan saran baik diminta
maupun tidak diminta kepada pemerintah provinsi dalam meningkatkan peran serta
masyarakat adat untuk menggerakkan pelaksanaan pembangunan serta pelestarian
nilai adat Melayu Jambi; (b) Sebagai
penengah dalam kasus adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat
Kabupaten/Kota; (c). Menyusun dan
menetapkan kebijkan pelestarian dan pengembangan adat Melayu Jambi yang akan
dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
(d) Menyusun dan menetapkan standar pengawasan dan pelaksanaan
pengawasan pelestarian dan pengembangan adat Melayu Jambi; dan (e) Memberikan penghargaan kepada tokoh
dan pelaku yang berprestasi sekaligus peduli terhadap pelestarian dan pengembangan
adat Melayu Jambi.
Publik mungkin pernah mendengar istilah Tiga Tali Sepilin yaitu kerapatan adat
yang terdiri dari unsur pemerintahan, pegawai syarak (refresentasi dari alim
ulama, imam, khatib, bilal, orang yang dalam struktur masyarakat Melayu Jambi
menempati posisi terhormat sebagai tokoh agama yang memberikan pengetahuan
keagamaan sekaligus intelektual Muslim), dan pemangku adat (sekelompok orang
pilihan refresentasi dari penghulu, nenek mamak, tuo tengganai dan cerdik pandai). Singkatnya, forum tiga tali sepilin dalam perjalanannya terkonstruksi menjadi modal politik, sosial
dan agama yang disimbolkan dengan modal
kultural.
Seiring perkembangan zaman, semula
nomenklatur institusi yang berkompeten mengurusi persoalan hukum, sosial dan agama
adalah kerapatan adat sejak masa kerajaan Melayu Jambi, berubah menjadi lembaga
adat Melayu provinsi Jambi yang kita
kenal sekarang ini. Dalam proses itu
peran LAM Jambi bergeser menjadi wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, sosial dan agama. Bahkan LAM menjadi
lembaga tunggal yang diberi mandat untuk melestarikan adat Melayu Jambi. Meski
kali lain LAM Jambi tampil menjadi “tukang” stempel terhadap proyek pembangunan
dari satu rezim pemerintahan ke rezim berikutnya. Pada titik ini unsur
pemerintahan menjadi lebih dominan ketimbang dua unsur lainnya dalam
pengambilan keputusan di lembaga adat.
Problem dan Tantangan
Adat Melayu Jambi dan dinamikanya mewariskan
nilai, norma dan kearifan yang universal, aneka kebiasaan sosial berpola
(untuk menyebut tradisi), maupun artefak-artefak bendawi (tangible) dan tak
bendawi (intangible). Di masa kini, warisan itu menghadapi pendangkalan makna,
pelemahan fungsi, penyempitan ruang gerak yang pada gilirannya menjadi terlupakan.
Setakat hal itu, pandangan hidup masyarakat
Melayu Jambi seperti yang tersirat dalam seloko; Titian teras betanggo batu, cermin yang tidak kabur, lantak nan tidak
goyah, dak lapuk dek hujan dak lekang dek panas, kato nan saiyo, adat bersendi
syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato, adat memakai, perlu
diejawantahkan dalam kerja-kerja kongkrit dan berkesesuaian dengan semangat
zaman serta berkelanjutan sehingga memberi pengaruh positif bagi masyarakat
luas.
Bertolak dari hal di atas, izinkan saya
merespon dinamika kelembagaan adat Melayu Jambi kepengurusan periode 2021-2026
di bawah kepemimpinan Datuk HBA.
Pertama, sekalipun diklaim Datuk HBA bahwa
jumlah pengurus LAM Jambi periode 2021-2026 berkurang signifikan dibandingkan
kepengurusan periode sebelumnya, tetapi hemat saya masih terlihat tambun. Lebih
dari 170 orang. Belum lagi dua lembaga yang terintegrasi dengan LAM Jambi. Tugas
dan fungsi pada setiap level jabatan menjadi tidak efektif lantaran sarat
tumpang tindih. Sukar membayangkan
koordinasi maupun pengambilan keputusan seperti para wakil ketua, sekretaris
dan bendahara yang berderet-deret. Belum
lagi masing-masing bidang. Konsepsi dan komposisi demikian itu hemat saya belum
sejalan dengan semangat restrukturisasi kelembagaan adat yang menjadi salah
satu alasan mendasar di balik revisi Perda Nomor 5 Tahun 2007 menjadi Perda
Nomor 2 Tahun 2014 tentang LAM Jambi.
Selain belum sejalan dengan batasan
kewenangan, tugas, dan fungsi serta program strategis LAM Provinsi Jambi, yang
membedakannya dengan LAM Desa maupun LAM Kabupaten/Kota, juga makin menguatkan
kesan publik bahwa LAM Jambi tidak lain wadah untuk mengakomodir tim sukses
Gubernur terpilih ketimbang menjadikan LAM Jambi sebagai organisasi yang ramping,
profesional dan berakar kuat pada nilai-nilai adat Melayu Jambi, sehingga dalam
langkah-langkahnya berjalan lincah dan terhindar dari kendala teknis-prosedural
yang jelimet.
Bila anggapan publik tersebut tidak menjadi
perhatian baik oleh Ketua maupun para pengurus, bukan tidak mungkin secara
perlahan-lahan LAM Jambi ke depan mengalami krisis legitimasi. Apa sebab? Ia
tidak saja karena beralih total pada kerja-kerja formal-prosedural semata, yang
kualitas output kegiatannya menjadi
perhatian publik, tetapi juga perlahan-lahan terjadi ‘abrasi’ kepercayaan dalam
lapangan kulturalnya yang tua.
Kedua, penguatan kelembagaan adat Melayu
Jambi tertuju pada pembenahan manajemen organisasi yang menopang tugas utama yaitu penelitian, pembinaan dan kaderisasi, publikasi dan dokumentasi adat
Melayu Jambi untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, budaya, hukum, ekonomi,
ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak
heran dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang LAM Jambi disebut juga kelembagaan
strategis seperti Pusat Pendidikan dan Pelatihan Adat Melayu Jambi serta Pusat
Penelitian dan Pengembangan Adat Melayu Jambi yang terintegrasi dengan struktur
LAM Jambi Provinsi. Sejatinya hal itu menandai bahwa adat Melayu Jambi tidak
berada di ruang kedap suara, melainkan akan selalu berkelindan dengan pelbagai
aspek kehidupan di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, pendidikan
dan agama.
Ketiga, saya belum mengetahui rencana
strategis dan program prioritas LAM Jambi periode 2021-2026. Pendapat atau statemen
Datuk HBA selaku ketua LAM Jambi terpilih yang mengemuka di media-media online masih bersifat normatif dan belum
beranjak dari paradigma lama yaitu hukum, keamanan dan ketertiban. Sementara tujuan LAM Jambi yang digariskan
yaitu menggali, membina, melestarikan, memelihara, dan menggembangkan
nilai-nilai adat dan nilai-nilai sosial budaya Melayu Jambi sebagai landasan
memperkuat dan memperkokoh jati diri masyarakat Melayu Jambi.
Penentuan skala prioritas program dan
kegiatan LAM Jambi harus dimulai dari problem maupun tantangan masyarakat
provinsi Jambi sekarang ini, sebut saja seperti masih rendahnya mutu SDM dan
lembaga penyelenggara pendidikan, pengentasan
warga miskin dan sempitnya lapangan pekerjaan, peningkatan kualitas dan sarana
kesehatan, kerusakan lingkungan, konflik lahan antara masyarakat dengan
perusahaan (termasuk penyerobotan tanah wilayat atau tanah adat), prostitusi
dan perdagangan anak dan perempuan, pembakaran hutan, peredaran narkoba dan
sebagainya.
Demikian urun saran dari saya seraya berharap
LAM Jambi benar-benar kembali memainkan peran strategisnya untuk membangkitkan batang terendam yaitu melestarikan adat
Melayu Jambi dalam abad yang serba terhubung (nir-batas), kompleks dan berlari
kencang.
*Tulisan ini terbit pertama kali pada portal www.jamberita.com pada Kamis, 30 Desember 2021.
0 Komentar