ilustrasi. sumber: kumparan |
Oleh: Jumardi Putra
Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati.
Berikut ini penggalan permenungan dalam rentang bulan Oktober sampai Desember 2021, meneruskan edisi sebelumnya (Dari Hari Ke Hari: Fragmen I, II, III, IV, V, dan VI) yang saya tulis secara singkat sebagai status di aplikasi perpesanan Whatsapp. Mungkin saja ada gunanya.
***
Usia kepemimpinan yang singkat serta kemampuan keuangan daerah yang terbatas ibarat peristiwa tendangan penalti dalam sepakbola. Bila berhasil menjebol gawang lawan jelas itu karena kepiawaian dan seluruh mereka yang terkait dengannya ikut bersukacita.
Namun sebaliknya, bukan saja bagi pelatih, pemain dan suporter di stadion yang menanggung beban, adalah juga semua pecinta klub, yang dari segala penjuru menaruh harapan dan manautkannya dalam doa-doa. Maka, bagi kepala seorang daerah mengerti kemampuan skuadnya adalah keniscayaan.
(18 November 2021)
Alokasi
anggaran yang demikian besar pada sebuah lembaga yang tidak siap dimulai dari
perencanaan sampai pada skema penganggaran jelas beresiko. Selain malfungsi,
juga melenceng dari kebijakan umum yang menjadi pijakan bagi pembiayaan
terhadap seluruh program/kegiatan.
Dalam
situasi keuangan yang terbatas, pengarusutamaan prioritas pembangunan harus
mampu melampaui wacana permukaan yang seolah ingin tampak gagah dan populer,
tapi sesungguhnya keropos dari dalam.
Yang
diberi amanah gagal merencanakan. Sementara nun jauh di sana, rakyat menunggu
sambil harap-harap cemas akankah janji-janji suci sang penguasa benar-benar
terealisasi. Atau, galibnya berkali-kali suksesi, mereka tidak lebih sebagai
matapencaharian lima tahunan belaka.
(18
November 2021)
Si
Boy yang borjuis konservatif maupun Lupus yang progresif, yang keduanya kita
kenal melalui layar tivi atau novel adalah tokoh fiktif. Dan Gie adalah
kenyataan. Kenyataan yg terpaut jauh dari saya. Saya baru membaca lembar-lembar
halaman buku Catatan Seorang Demonstran tahun 2001.
Jelas
terlambat dari sejak tulisan itu ia buat, tapi tak mengapa dan saya bersyukur
bisa membaca dan mendiskusikan pikiran dan surat-surat yang tersembunyi miliknya,
yang dikenal kritis dan tanpa tedeng aling-aling. Sosok non partisan ini adalah
pribadi cerdas, berani dan sangat populer dari angkatan 66.
la
menolak demokrasi terpimpin Bung Besar sekaligus sinis melihat elite pada
masanya yang hidup di atas penderitaan rakyat. Saya teringat kata Jean Ziegler,
dalam Les Nouveaux Maitres du Monde,(2002) “Semakin miskin sebuah bangsa,
sering kali semakin mewah kehidupan dan "perilaku aneh" elite
penguasanya”.
Soe
Hok Gie memilik empati pada rakyat kebanyakan dan melalui penanya ia hadir
menyuarakan kepada kekuasaan. Ia kerap gamang memandang politik dan kekuasaan.
Suatu keadaan berjarak antara ide dan kenyataan.
Ia
seperti sang progresif yang kesepian, tapi gagasannya tetap menggerakkan
generasi-genetasi sesudahnya.
(12
November 2021)
Saya
membaca kembali kumpulan cerita pendek berjudul Corat-coret di Toilet karya Eka Kurniawan. Yang pertama kubaca
adalah salah satu cerpen yang menjadi judul dari buku ini. Jauh sebelum gawai
jadi pegangan tak tergantikan setiap orang saat ini, dulu dunia mahasiswa
ditandai dengan diskusi, buku, demonstrasi dan advokasi.
Tahun
1998 boleh dikata puncak dari proses panjang dari sebelumnya mahasiswa menuntut
turunnya Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan karena dinilai telah gagal
membawa bangsa ini keluar dari krisis akut dan makin menguatnya praktik KKN.
Meski
ditulis renyah, penuh banyolan dan tanpa tedeng aling-aling, sehingga membuat saya
tertawa, tetap memberi kesat kuat laiknya membaca jejak sejarah. Pemilihan
toilet, alur cerita dan karakter tokoh menunjukkan kepiawaian si penulis,
karena dari situ narasi politik-ideologis mengemuka.
Sebagai
pengguna toilet, entah di kampus, terminal, gedung wakil rakyat, dulu boleh
dikata di dalamnya penuh coretan kalimat atau kata-kata lucu, cerdas, politis,
dan bahkan sumpah serapah. Nah bagaimana toilet sekarang? Saya kerap
menemukannya, tapi tidak lagi seterang benderang bersamaan animo reformasi
1998. Banyak lucu dan bertitimangsa pada
urusan domestik dan perkara jatuh dari cinta. hehehe
(12
November 2021)
Saya
tergolong terlambat membaca pikiran-pikiran intelektual cum aktivis Prof. Arief
Budiman. Gagasan penolakannya pada modernitas dan ketergantungan negara lemah
pada negara maju (lebih-lebih selepas ia studi doktoral di Hardvard) menjadikan
sosialisme maupun ilmu sosial menemukan lapangannya yang dinamis, terus hidup
dan menginspirasi serta mengubah semangat zaman generasi pada masanya.
Saya
justru lebih awal mengenal tulisan-tulisan adiknya, Soe Hok Gie, ketimbang Soe
Hoek Djin alias Arief Budiman yang tak lain adalah kakak kandungnya. Keduanya
adalah tokoh penting menandai periode jatuhnya rezim Soekarno dan beralih ke
rezim Orde Baru Soeharto.
Kritisisme
Arief tak ada yang meragukan, tidak terkecuali pada Orde Baru, yang meski di
awal kelahirannya ikut memberi jalan. Sebagaimana adiknya, ia tidak masuk ke
dalam gerbong kekuasaan maupun derap politik praktis, di mana sebagian
kawan-kawannya memilih masuk ke dalam sistem.
Arief
Budiman contoh ilmuwan yang tidak berumah di atas awan. Ia intelektual publik dengan
gagasan yang sistematis dan mudah dicerna.
(14
Oktober 2021)
Seminggu
terakhir ini nama Profesor Kishore Mahbubani ramai dipercakapkan publik tanah
air lantaran artikelnya memuji efektifitas kepemimpinan Jokowi, dan karenanya
perlu menjadi perhatian publik luas, terutama negara-negara maju yang mengalami
kebuntuan seiring menguatnya politik identitas, keterbelahan sosial pasca
pemilihan kepala negara yang tak kunjung lerai, hingga kegagalan menemukan
'reasoning' untuk kembali menciptakan kohesifitas nasional-global, yang
terancam eksistensinya lantaran demokrasi prosedural yang belum segaris dan
sebangun bagi terwujudnya kesejahteraan.
Pujian
Mahbubani bisa diteropong dari berbagai sudut, baik yang pro atau kehendak
untuk mengoreksinya. Kishore sebagai ahli kebijakan publik menempatkan Jokowi dalam
konteks makro pembangunan nasional dalam kaitan krisis legitimasi kepemimpinan
politik di kancah global dewasa ini.
Bahwa
urusan detail ekses kebijakan pembangunan nasional sejak kepemimpinan Jokowi sampai
sekarang seraya menguatnya oligarki adalah alarm
yang juga penting diamati dan dikritisi oleh kaum cerdik cendekia.
(12
Oktober 2021)
Hari-hari
ini sosok Baim Wong ramai dipercakapkan karena ulah dan konten seperti saksikan
di youtube maupun aplikasi lainnya.
Tumpah ruah. Masing-masing berebut tafsir. Ayat-ayat Tuhan dikontestasikan.
Podium penuh oleh retorika pasar dengan mengatasnamakan kemanusiaan.
Apa
di tengah semua ini selain kapitalisme tingkat lanjut selalu punya cara
menyihir kesadaran magis orang per orang di republik ini? Mari sejenak ke
"dalam" untuk menimbang keramaian di luar, yang tak ubahnya pasar
malam penuh dengan gunjingan dan sumpahserapah.
Begitulah
internet, tempat semua hal tumpah ruah tak beraturan. Mulai dari perkara serius
sampai hal remeh temeh hadir bersamaan. Kuantitas menggantikan kualitas. Semua
campur baur. Batas antara pengetahuan dan pendapat dengan gosip, candaan,
gerundel, ngedumel, dan caci maki menjadi sumir.
(13
Oktober 2021)
Membaca
buku berjudul "Miskin Itu Menjual" mengingatkan saya pada tulisan
mendiang budayawan Prie GS, yaitu kemiskinan itu sungguh begitu dekat, begitu
menjerat. Jeratan itu telah melilit kita bersama sehingga kita kebingungan
harus berbuat apa, menolong atau menertawaknnya.
Penuh
paradoks, memang. Tapi begitulah potret buram di negeri ini. Mengamati kemiskinan
yang direka sebagai komoditi. Tak jarang pula firman-firman Tuhan juga diperdagangkan
untuk meligitimasinya.
Buku
karya Saiful Totona ini membongkar fenomena "reality show" tentang
orang miskin yang marak ditayangkan di tivi-tivi di tanah air sebagai hiburan yang
mengundang rating dan berujung pada meningkatnya pengiklan (itu artinya banyak
uang masuk sebagai keuntungan).
Bersamaan
massifnya kanal interaktif melalui jaringan internet sekarang, saya melihat
sebagian besar konten youtube juga
menjadikan kemiskinan sebagai barang dagangan, dan sialnya pandapatan yang
diterima orang-orang miskin tidak pula sepadan dengan hasil yang didapatkan
para kreator youtube tersebut.
(12
Oktober 2021)
Sekira
hampir dua tahun lalu saya menyampaikan pokok-pokok pikiran seputar
penyelenggaraan keolahragaan di provinsi Jambi di hadapan para pihak baik dari
unsur pemerintah provinsi, KONI, perwakilan cabang olahraga dan akademisi,
bersamaan pembahasan Ranperda Penyelenggaraan Keolahragaan Provinsi Jambi.
Gayung
bersambut Perda Provinsi Jambi tentang penyelenggaraan keolahargaan juga telah
disahkan belum genap tiga bulan sebelum ini. Akankah itu menjadi solusi
menyeluruh bagi peningkatan kualitas penyelenggaraan keolahragaan di provinsi
Jambi sehingga tidak lagi berjalanan secara sporadis, parsial dan tidak
berkelanjutan?
Akankah
ia benar-benar menjadi satu pijakan kuat yang nyatanya telah mendelegasikan
kewenangan serta tugas pokok dan fungsi para pihak sebagai dasar bagi
penyusunan kebijakan, program dan kegiatan secara terintegrasi dan terukur.
Harus
diakui pemerintah provinsi Jambi belum menempatkan keolahragaan dalam
visi-misinya untuk melakukan percepatan (short-cut) pertumbuhan ekonomi baru.
(9 Oktober 2021)
Saya
punya pengalaman unik nginap di sebuah hotel di Kota Bandung. Struktur dan gaya
bangunan sebuah hotel membuat rute jalan dari dan menuju lokus yang dituju
dilalui dengan tidak mudah. Dua-tiga kali gagal. Kadang tertawa dibuatnya, tapi
kerapkali menjengkelkan, lebih-lebih saat fisik diamuk kepenatan.
Dalam
situasi itu saya teringat peribahasa, "jatuh saat menari, lantai yang
disalahkan". Pointnya adalah betapa kecerdasan spasial menjadi urgen dan
signifikan. Kecerdasan yang di dalamnya memuat kemampuan membaca peta rute
jalan, dan itu sekaligus peta mental. Suatu kesadaran yang barangkali punah
oleh lesatan pemutakhiran teknologi dewasa ini yang dicirikan nirteritori.
Bisa
jadi problem beginian, di hulu sono, juga karena ilmu geografi dirasa tak
penting-penting amat dalam fondasi kurikulum pendidikan kita, selain seni dan
filsafat. Kerja memori dalam otak yang merekam tiap sudut atau lokasi yang kita
lalui dan kita tandai, menjadi sebuah peta mental.
Di
titik ini, dalam rute yang ruwet, saya kembali belajar tentang arti sebuah
kesadaran.
(7
Oktkober 2021)
Dibilang
sering tidak. Tetapi di sini saya kerap membeli Thai Tea. Pemuda yang hari-hari menjual minuman segar ini (di foto
ini) namanya Asep, mahasiswa semester 5 kampus STIKOM dan kawannya satu lagi
Kiki, mahasiswa ekonomi syariah UIN STS Jambi. Hari-hari mereka berjualan secara
bergilir di jalan 16. Kondisional. Buka sore hari sampai pukul 10 malam.
Sebelum
Corona melanda keuntungan dari jualan mereka terbilang menggembirakan. Biaya
kuliah tertanggungkan. Modal awal tertutupi. Sewa lokus lapak terbiayai.
Optimis, begitu mereka kerap mengatakan kepadaku.
Waktu
berjalan. Corona melanda. Jalan bisnis mulai terjal. Lebih-lebih dalam masa
PPKM di Kota Jambi, penghasilan mereka turun drastis. Tapi tidak ada pilihan
lain, kecuali meneruskan bisnis minuman yang sama-sama mereka bidani dimulai
dari "nol".
Belakangan
pelanggan mulai berdatangan dan kulihat senyum lebar Asep, dan semoga itu
pertanda penghasilannya mulai membaik. Apakah mereka termasuk dari kelompok
muda yang menerima suntikan modal dari pemerintah dalam masa pandemi? Saya belum
tahu. Doa terbaik untuk kalian berdua, Bung!
(7 Oktober 2021).
0 Komentar