Hiburan Buai Keliling di Desa Empelu |
Oleh:
Jumardi Putra*
Orang-orang di
kampung saya, Desa Empelu, menyebut hiburan rakyat ini sebagai Buai Keliling (bentuk lain dari jenis Komedi
Putar). Perbedaan antara kedua permainan ini yaitu di samping Buai Keliling terbuat dari bahan kayu
dan rotan, ia juga masih mengandalkan tenaga manusia sebagai faktor penggerak
utama. Sedangkan komedi putar, umumnya yang kita saksikan di pasar malam atau
di pusat-pusat belanja modern, seluruhnya terbuat dari besi sekaligus
digerakkan oleh mesin.
Buai keliling terdiri dari sebuah tiang kayu utama
setinggi 6,5 meter yang ditancapkan pada kedalaman tanah 2 meter, lesung
sepanjang 1,5 meter dengan lebar 70 sentimeter, kayu apit sepanjang 2 meter
dengan lebar 40 sentimeter. Kemudian bola tolok peluru 1 buah, rotan sepanjang
6 meter sebanyak 16 batang serta tong atau bangku duduk sebanyak 4 buah berukuran
panjang 3 meter dan lebar 1,5 meter. Sedangkan kayu atas sebagai perekat
keseluruhan bagian buai keliling terdiri
dari empat jenis ukuran yaitu kayu sepanjang
8 meter sebanyak 2 batang, kayu 4 meter sebanyak 4 batang, kayu
sepanjang 5 meter sebanyak 4 batang dan kayu sepanjang 2 meter sebanyak 4
batang. Tidak heran, dibutuhkan orang dewasa bertenaga di atas rata-rata untuk menggerakkan
tiang utama buai keliling tersebut secara
bergantian.
Saya tidak
tahu pasti angka tahun kali pertama
permainan ini dimulai di kampung saya, Desa Empelu, kecamatan Tanah Sepenggal, kabupaten Bungo. Orang-orang tua di kampung menceritakan hiburan di kala lebaran idul fitri ini sudah ada
sejak era tahun 1970an.
Galibnya penyelenggaraan buai keliling diinisiasi secara bergantian oleh Rumah Pengajian yang terdapat di Desa Empelu. Belakangan kelompok remaja Masjid juga berperan menyelenggarakan iven tahunan ini. Hiburan Buai Keliling tidak semata milik warga Empelu, melainkan juga mudah dijumpai di banyak desa di Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun, yang setiap daerah memiliki sebutan sendiri-sendiri.
Lazimnya
tempat yang menghadirkan kerumunan, di sekitar area Buai Keliling berjejer pelaku ekonomi kecil, seperti penjual pecel,
bakso, mie ayam, kacang goreng maupun rebus, es tebu, kembang api dan mercon,
dan masih banyak menu makanan lainnya.
Di kampung
saya, desa Empelu, peresmian Buai Keliling
kerapkali oleh perangkat pemerintahan Desa bersama pegawai syara' dan tetua adat. Buai
keliling mulai beroperasi pada hari lebaran kedua, tepatnya setelah warga
melaksnakan ziarah kubur/makam keluarga hingga ditutup pada hari keenam bulan
Syawal. Tetapi tak selalu demikian alias bisa lebih dari satu minggu.
Situasional.
Hiburan Buai Keliling di Empelu era 1980an |
Semasa saya mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Dasar (SD: tahun 1992-1998) hingga menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP: tahun 1998-2000) atau bahkan bagi generasi jauh sebelum saya, Buai Keliling menemukan masa keemasannya. Tak syak, saban malam di sepanjang perayaan lebaran Idul Fitri, karcis yang disediakan panitia baik kategori umum maupun cataran (istilah mentereng bagi kaum muda-mudi di masa itu) ludes terjual. Panitia harus mondar-mandir bekerja ekstra mengatur jadwal, memastikan penonton tidak memasuki arena Buai Keling sekaligus sigap saat menaikkan peserta buai serta menurunkannya kemudian dengan aman. Ketika itu bisa dipastikan semua pasang mata warga sekampung mengarah ke tempat hiburan tersebut. Selain buai keliling, sebenarnya ada musabaqah tilawatil quran dan hiburan seperti pacu perahu, pertandingan sepak bola dan balap motor. Namun buai keliling boleh dikata menjadi hiburan paling ramai dikunjungi warga ketika lebaran tiba.
Sebagai
hiburan rakyat, penyelenggaraan Buai
Keliling selalu menghadirkan banyak sisi. Pernah terdapat peserta yang jatuh
dari bangku buai lantaran tidak sabar
ingin menaiki atau sebaliknya saat turun dari tong atau buai. Begitu juga peristiwa lainnya, sebut saja seperti keributan
antar remaja entah karena apa sebab pastinya. Namun secara keseluruhan pesta
rakyat ini berjalan lancar di setiap tahun penyelenggaraannya.
Perbedaan kategori
tiket umum dengan cataran menunjukkan
pada rentang lama-singkat putaran Buai Keliling. Tiket kategori umum lebih banyak digemari anak-anak. Sedangkan cataran lebih banyak oleh kaum remaja
dan dewasa. Kehadiran musik remix lagu khas Jambi acapkali menambah riuh rendah
pesta rakyat tersebut. Lebih-lebih di malam hari.
Pada tiket
kategori cataranlah atmosfir Buai Keliling
menggema di seantero kampung. Apa pasal? Pelbagai kelompok muda-mudi, tidak
saja berpacu memastikan lama waktu putaran (sesuai jumlah karcis yang dibeli),
tetapi juga kegenitan menamai kelompok-kelompok cataran mereka dengan nama-nama
atau istilah beken pada masanya. Penamaan kala itu merujuk judul film atau sinetron,
atau istilah yang tren di masa itu,
sebut saja seperti Cataran si Buta dari
Gua Hantu, Kapak 212, Tutur Tinular, Cinta Segitiga, Tersanjung, Nada dan
Dakwah, Gelora Cinta, Bujang Lapuk, Anak Perantauan, dan masih banyak
nama-nama lain yang merepresentasikan kemasyhuran alam, manusia/tokoh, serta
hewan-hewan tangguh. Bahkan, meski tidak selalu, cataran kerap digunakan
sebagai momen-romen romantis bagi mereka yang tengah menikmati indahnya momen berpacaran
:) dan atau mereka yang baru melepas status lajang :)
Begitulah
kisah hiburan rakyat ini dulunya. Kini Buai
Keliling seolah menemukan dirinya yang tak lagi digemari oleh publiknya
sendiri. Saban lebaran diadakan, sepanjang itu antusiasme warga terus melorot
tajam. Seolah ia dibuat tak lebih dari sekadar ASAL ADA. Romantisme belaka. Bukan lagi sebagai ruang publik, tempat masing-masing warga bertegur sapa
sembari bercakap-cakap perkara kepublikan dan hal-hal menarik lainnya secara
bersahabat tanpa disekati oleh status sosial dan ekonomi.
Seiring kaum remaja dan orang dewasa
di kampung saya memiliki telepon cerdas dengan dukungan fitu-fitur canggih
membuat kultur yang semula senang berkumpul melalui wahana hiburan Buai Keliling, kini berganti menjadi serba masing-masing. Dengan
kata lain, hiburan Buai Keliling yang
dulunya primadona, kini harus berhadapan dengan generasi sekarang yang
asyik menikmati era internet dengan kehadiran jejaring media sosial, sebut saja seperti aplikasi facebook, twitter, dan WhatsApp serta sihir game online
yang bergerak masif dan seolah tidak tergantikan sebagai teman mengisi waktu.
*Catatan ini saya buat ketika menaiki Buai Keliling bersama buah hati Kaindra Gafna Al Farisi pada lebaran Idul Fitri tahun 2017 di kampung halaman Desa Empelu. Tahun 2022 Buai Keliling masih dilaksanakan.
2 Komentar
Di kampung saya juga ada hiburan serupa. Buai keliling ini memang menjadi hiburan primadona ketika lebaran. Biasanya diputar sampai larut malam. Saya ada pengalaman tersendiri menaiki buai keliling ini. Makasih catatannya Bung Jum. This note provokes my memory to reminisce.. :-)
BalasHapussiap. ayo tulis pengalamannya
BalasHapus