Kiri-kanan: Penulis, Prof. Yudian dan MH Abid |
Oleh: Jumardi Putra*
Diajak intelektual muda Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Taha Saifuddin (STS) Jambi, Bung Husnul Abid, pagi hari sekira pukul 08.30-an diskusi bersama Prof. K.H. Yudian Wahyudi, Ph.D. (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) di ruang Muhammad Iqbal, Pascasarjana UIN STS Jambi. Diskusi ini dihadiri terbatas dosen pascasarjana UIN STS Jambi.
Secara umum diskusi mengetengahkan kembali wacana integrasi keilmuan di perguruan tinggi islam. Prof. Yudian memberi penjelasan tentang sesuatu yang hilang dalam perjalanan panjang sejarah keilmuan di dunia Islam yaitu keilmuan eksperimental (alam). Pasca meninggal Ibnu Rusyd dapat dilacak kenapa hal tersebut terjadi sampai sekarang.
Begitu juga corak
pengetahuan yang dikuasai intelektual muslim (produk STAIN dan IAIN-contoh) dominan
pada keilmuan metafisik. Keadaan ini juga bisa ditelusuri pasca Ghazalian
menjadi rujukan utama dalam kurikulum pendidikan di madrasah-madrasah.
Masih dalam
satu tarikan nafas, Prof. Yudian membedah sosok Ibnu Sina baik sebagai filusuf
maupun (yang hilang dalam keilmuan Islam) dirinya sebagai saintis. Penjelasan lulusan Harvard ini lebih kepada menyingkap keilmuan Islam menjadi
dikotomis dan gagap menjawab tantangan zaman.
Menurut
Prof. Yudian UIN ke depan mesti menghapus dikotomi kedua hal itu, yakni
metafisika-fisika. Dua hal yang senyatanya merupakan satu kesatuan. Bukan islamisasi ilmu
seperti santer terdengar hingga sekarang. Singkatnya Menjadi UIN adalah
menjadikan Al Muttaqun (Yudian
menyebutnya orang-orang plus). Analoginya ITB + IAIN = UIN.
Hanya saja
nomenklatur kebijakan pendidikan tinggi kita sejak lama tidak membuka
kesempatan yang sama (fair) dalam setiap rekrutmen pekerjaan/profesi, sehingga
yang "plus" dari UIN menyerah kalah sebelum unjuk kompetensi di
lapangan pekerjaan. Begitu juga yang lebih penting dalam penerimaan mahasiswa
baru. Universitas atau Kampus umum lebih menjadi pilihan utama. Faktanya, pada
tahapan administrasi seringkali faktor gelar dan lulusan perguruan tinggi Islam
membuatnya tersisihkan.
Apakah
integrasi keilmuan pasca Prof. Amin Abdulllah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menunjukkan kebaruannya,
sebagaimana tadi sempat dia singgung pandangan dirinya (untuk menyebut
penyempurnaan) terhap "jaring laba-laba" Prof. Amin Abdullah? Atau
masih saja pada tataran modernisasi manajemen kelembagaan dengan ditandai hadirnya prodi-prodi
baru dan biaya kuliah yang terus meninggi? Saya tidak tahu banyak soal itu.
Saya tadi
mencatat Prof Yudian punya mimpi sekaligus rencana desain kebijakan untuk
mencapai ke arah sana. Utamanya dimulai dari satuan pendidikan menengah
(generasi emas) hingga perguruan tinggi.
Bagaimana
dengan UIN STS Jambi yang belum lama ini menanggalkan status IAIN-nya? saya
juga tidak tahu.
Yang jelas,
kita berharap konversi dari IAIN menjadi UIN bukan berhenti sebatas modernisasi
kelembagaan semata, yang ujung-ujungnya hanya persoalan ikut-ikutan (kalau
bukan gengsi), kehadiran prodi-prodi baru yang tidak diimbangi kualitas SDM dan
sarana prasarana, kucuran dana besar-besaran dari lembaga keuangan
internasional seperti IDB (Islamic Development Bank).
Publik tentu
mengimpikan UIN STS Jambi dengan iklim akademik yang berkualitas, hadirnya
jurnal keilmuan islam bergengsi, ilmuwan produktif, lembaga penelitian dengan
publikasi keilmuan mumpuni, dan mampu menjadi lokomotif pengetahuan di Jambi. Demikian
itulah hemat saya abai di Jambi.
Tidak terasa
hampir tiga jam diskusi berjalan. Susul menyusul pertanyaan. Meski lalu lalang
istilah-istilah yang biasa kita kenal dalam diskursus filsafat, diskusi ini
berjala santai. Peserta diskusi kembali disegarkan pada alam pikiran beberapa
intelektual muslim ternama, untuk menyebut contoh, seperti Hasan Hanafi, Al
Jabiri, Al Farabi, Ibnu Sina, Imam al Ghazali hingga Ibnu Rusyd dan beberapa
cendikiawan muslim tanah air.
Di sela-sela
itu, Prof Yudian juga menyinggung beberapa peristiwa mutakhir di tanah air,
salah satunya tentang rapuhnya pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tentang sistem Khilafah. Ya, diskusi
semacam ini sangat jarang di Jambi.
Demikianlah catatan singkat saya. Sebelum Prof. Yudian bertolak ke Jogja, saya dan Bung Abid, sesama alumni UIN Jogja, foto bersama.
"Kamu
alumni mana, Jumardi?" tanya Prof. Yudian.
"Arena,
Prof," jawabku sekenanya.
Alaah...Arena
toh. UIN Sukijo donk. Siip.
Kami pun satu per satu meninggalkan ruangan diskusi.
*Kota Jambi, 2018.
0 Komentar