Prof. Buya Syafii Maarif |
Oleh: Jumardi Putra*
Berita wafat Buya Syafii Maarif pada Jumat pukul 10.15 WIB, di RS PKU Muhammadiyah, Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, segera meluas (27/5/2022). Pelbagai kalangan di tanah air menyampaikan ucapan belasungkawa sekaligus doa untuk Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta ini, yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hal itu menunjukkan sosok Buya Syafii semasa hidup dekat dengan masyarakat dari pelbagai latar belakang baik pendidikan, politik dan agama.
Karya tulis pria kelahiran Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1931 itu saya baca pertama kali tahun 2001 di Jombang-Jawa Timur hingga mendapat akses sumber literatur lebih luas saat menempuh studi di Yogyakarta. Pernah beberapa kali saya berpas-pasan saat beliau masih aktif mengajar di Pascasarjana UIN Sunana Kalijaga Yogyakarta dan saat dirinya tampil sebagai pembicara kunci dalam seminar. Selebihnya saya kerap membaca resonansinya di koran Republika, sesekali opini di Kompas, atau menonton ceramahnya di kanal Youtube. Beliau sosok yang ramah dan bersahaja.
Meski dipisahkan oleh jarak antar pulau (Yogyakarta-Jambi), sampai sekarang saya kerap mengikuti kabar tentang beliau melalui media jejaring sosial facebook. Dari kanal itu selalu saja ada nitizen yang menuliskan kisah perjumpaan dengan Buya Syafii Maarif, yang menghadirkan oase (untuk menyebut keteladanan) di tengah tandusnya lapangan politik dan kekuasaan di republik ini. Sesuatu yang makin jarang kita jumpai dari para pejabat maupun elit politik paling kiwari.
Buya Syafii Maarif oleh Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) disebut sebagai salah satu dari "tiga pendekar” Chicago. Dua pendekar lainnya yaitu Prof. Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Prof. Amien Rais. Julukan pendekar itu untuk menyebutkan ketiganya adalah generasi pertama cendekiawan Muslim yang belajar dan meraih gelar pendidikan jenjang doktoral (Ph. D) di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Ketiganya juga dibimbing intelektual muslim kenamaan asal Pakistan yang mengajar di universitas tersebut yaitu Prof. Dr. Fazlur Rahman.
Ketiga sosok itu memiliki persamaan tapi sekaligus perbedaan. Hanya saja pemikiran Syafii Maarif lebih dekat dengan Nurcholis Madjid yang lebih mengutamakan aspek kultural Islam. Lebih-lebih pasca Cak Nur (meninggal Agustus 2005) maupun Gus Dur (meninggal 30 Desember 2009), perhatian Buya Syafii Maarif terhadap perjalanan negeri ini di tengah ancaman radikalisme keagamaan yang dapat menciptakan segregasi sosial, memaksanya ‘turun gunung’ meski sudah berusia senja.
Buya Syafii Maarif semasa hidupnya, sekalipun tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tetap konsisten menyebarluaskan gagasan islam inklusif di ruang-ruang publik, mimbar akademik maupun melalui tulisan-tulisan, sebagai counter atas gagasan keagamaan eksklusif-ekstrem (beliau kerap menyebutnya teologi maut), yang dalam praktiknya kerap muncul baik melalui kanal politik praktis maupun dalam kerja-kerja terselubung dan terorganisir yang ujung-ujungnya hanya memuluskan kepentingan jangka pendek para pejabat, elit politik dan pemodal yang memanfaatkan ‘otoritas langit’ melalui kelompok atau pemuka agama yang ter(di)libat(kan) dalam wadah politik.
Meski senantiasa menawarkan islam inklusif yang mengedepankan dialog serta kerja-kerja kebudayaan yang kongkrit untuk mensemestakan Islam rahmat bagi semesta, Buya Syafii Maarif adalah juga organisatoris. Selain melalui lembaga semacam Maarif Institute for Culture and Humanity, perwujudan nilai-nilai keislaman melalui organisasi Muhammadiyah seperti di bidang pendidikan, kesehatan dan wirusaha, sebagai faal sosial untuk meningkatkan taraf kehidupan umat Islam, adalah juga hal penting yang perlu mendapat sokongan para pihak, tidak terkecuali umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Apa pasal? Umat Islam merupakan golongan mayoritas dalam negara ini namun jauh tertinggal kualitasnya.
Dengan demikian, memasuki pusat-pusat kekuasaan (power centers) harus dimaknai sebagai salah satu jalur untuk memastikan agar negara tercinta ini tidak dibajak oleh mereka yang berpaham keagamaan sempit maupun para pejabat dan elit yang hanya mengenal sekaligus mengejar kepentingan sesaat.
Krisis Multidimensi
Kalimat menggugah dari cendekiawan muslim cum sejarahwan Prof. Ahmad Syafii Maarif yang paling saya ingat adalah “Seandainya di dalam al-Quran ada perintah untuk putus asa (pesimis), sayalah orang pertama yang akan melakukannya”.
Kalimat tersebut sejatinya menyimpan "marah besar", kalau bukan kekecewaan Buya Syafii Maarif melihat situasi Indonesia yang tak kunjung berhasil keluar dari krisis multidimensional sejak reformasi. Dimulai di bidang politik, krisis kepemimpinan terjadi karena diisi oleh politikus "rabun ayam" yang jangkauan pandangannya amat terbatas pada kepentingan diri dan kelompoknya. Begitu juga struktur politik yang dibangun di atas landasan budaya agraris-feodalistik yang dipupuk bersamaan pengikisan budaya maritim yang dicirikan pada keterbukaan sekaligus progresifitas.
Sebenarnya Buya Syafii Maarif berharap pada pendidikan untuk menghadirkan generasi yang mampu menjawab persoalan-persoalan fundamental negeri ini, tapi agaknya itu tak lebih dari harapan tak berkaki, karena pendidikan tetap feri-feri, di urutan paling buncit di bawah ekonomi sebagai panglima dalam beberapa kali pergantian rezim di republik ini.
Memang Presiden Jokowi pada periode kedua kekuasaan ini menjatuhkan prioritas pada pembangunan sumber daya manusia, tetapi harus diakui kerja pengarusutamaan pada bidang pendidikan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia serta Lembaga-lembaga terkait lainnya sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Bahkan seolah republik ini merasa kesulitan keluar dari problem akut saat ini, selain tentu saja faktor turutan multisektor akibat hantaman pendemi Covid-19 dua tahun terakhir ini.
Bagaimana penegakan Hukum? Meski sudah berganti beberapa kali Presiden, nyatanya hukum masih belum juga berhasil menjadi alat efektif untuk memastikan praktik korupsi sirna di negeri ini. Justru sebaliknya, praktik korupsi terjadi di semua lini dan tingkatan lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Buya Syafii Maarif merasa perihatin terhadap situasi demikian, dan karena itu pula beliau senantiasa mengingatkan para pejabat, elit politik, dan terutama para penegak hukum agar bekerja bersungguh-sungguh membawa negeri ini keluar dari jebakan krisis multidimensi. Dan kita sama-sama tahu bahwa korupsi merupakan persoalan krusial yang ikut menyumbang terjadinya kemiskinan struktural.
Bertolak dari problem akut tersebut di atas, bisakah Islam menjadi jawaban? Harusnya bisa. Bisa menurut Buya Syafii Maarif hemat saya tidak dimaksudkan sebagaimana gagasan yang digaungkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dewasa ini melalui sistem Khilafah. Islam dalam konteks pikiran-pikiran kritis dan kerja-kerja kongkrit Buya Syafii Maarif tetap berada dalam bingkai keindonesiaan (UUD 1945, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Buku Buya Syafii Maarif berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Mizan, 2015), hemat saya jelas dan tegas membentangkan sebuah paradigma bahwa Islam harus memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan bagi semua orang yang tinggal di bumi Indonesia, tanpa ada diskriminasi, apa pun latar belakang agama yang diikutinya atau tidak diikutinya.
Untuk mewujudkan itu semua, menurut Buya Syafii Maarif tugas penganut semua agama adalah berlomba-lomba menegakkan kebajikan, tidak hanya untuk diri sendiri atau kelompok sendiri. Perlombaan dalam kebajikan juga tidak boleh merongrong bangunan kebhinekaan Indonesia sebagai negara-bangsa milik bersama dan tidak boleh pula melenceng keluar dari koridor “kemanusiaan yang adil dan beradab” seperti termaktub di dalam butir-butir Pancasila.
Kepergian Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan kehilangan bagi negeri ini. Tulisan-tulisannya menyoal pelbagai persoalan di tanah air, mulai soal Islam, sosial, politik, ekonomi dan potret buram penegakan hukum, mengantarkan pembaca pada hamparan pengetahuan, refleksi mendalam, sekaligus kemungkinan-kemungkinan solusi jangka panjang dari Buya Syafii Maarif untuk perbaikan negeri ini.
Berikut rentetan karya tulis Buya Syafii Maarif yang saya baca dan koleksi sampai sekarang yaitu antara lain Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (LP3ES, 2006. Buku ini merupakan terjemahan dari disertasi penulis di Universitas Chicago, Amerika Serikat); Mencari Autentisitas dalam Kegalauan (PSAP, 2014); Menerobos Kemelut: Refleksi Cendiakawan Muslim (Grasindo, 2005); Al-Quran dan Realitas Umat (Republika, 2010); Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Mizan, 2015); Membumikan Islam: Dari Romantisme Masa Silam Menuju Islam Masa Depan (Ircisod, 2019); Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (Bunyan, 2018), Percaturan Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (Ircisod, 2021. Buku ini berasal dari tesisnya di Universitas Ohio, USA); Ahmad Syafii Maarif: Memoar Seorang Anak Kampung (Ombak, 2013); dan Gilad Atzmon, Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan Zionisme (Mizan, 2012 ).
Menutup tulisan ini, selain mengirimkan doa terbaik untuk guru bangsa Buya Syafii Maarif beserta keluarga yang ditinggalkannya, menziarahi ulang karya-karya tulisnya adalah juga bentuk penghormatan kita atas dedikasi beliau semasa hidup untuk Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan. Lahu Al fatihah.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com dan jamberita.com
*Tulisan saya lainnya:
(1) Gus Dur: Santri par Exellence
(5) Mengenal Prof. C.W. Watson
(6) Mengenal Dr. Fiona Kerlogue
(7) Mengenang Romo Iman Budhi Santosa
(8) Mengenal Demografer Politik Riwanto Tirtosudarmo
(9) Prof. Sri Soedewi, Sosok di Balik Masjchun Sofwan
(10) Mengenal Jang Aisjah Muttalib
(11) Mengenal Prof. Erwiza Erman
(12) Mengenal Mukty Nasruddin
(13) Mengenal Ben dan Nafsiah Mboi
0 Komentar