Arief Budiman dan Leila Ch. |
Oleh: Jumardi Putra*
Saya tergolong terlambat membaca pikiran-pikiran intelektual cum aktivis Prof. Arief Budiman. Tahun 2003 saya baru mulai membaca buku dan tulisan-tulisan pria kelahiran 23 Januari tahun 1941 itu, yang tersebar di koran dan majalah.
Justru saya lebih awal mengenal
tulisan-tulisan adiknya, Soe Hok Gie, ketimbang Soe Hoek Djin alias Arief
Budiman yang tak lain adalah kakak kandungnya. Salah satu buku Soe Hok Gie pertama
kali saya baca adalah Catatan Seorang
Demonstran terbitan tahun 1983. Kedua sosok ini adalah tokoh penting
menandai periode jatuhnya rezim Soekarno dan beralih ke rezim Orde Baru
Soeharto.
Gagasan penolakan Arief Budiman pada
modernitas dan ketergantungan negara lemah pada negara maju (lebih-lebih
selepas ia studi doktoral di Hardvard) menjadikan sosialisme maupun ilmu sosial
menemukan lapangannya yang dinamis, terus hidup dan menginspirasi serta
mengubah semangat zaman generasi pada masanya.
Tidak ada yang meragukan kritisisme seorang
Arief, terlebih pada masa Orde Baru, yang meski di awal kelahirannya ikut andil
memberi jalan. la menolak demokrasi terpimpin Bung Besar sekaligus sinis
melihat elite pada masanya yang hidup di atas penderitaan rakyat. Saya teringat
kata Jean Ziegler, dalam Les Nouveaux Maitres du Monde (2002) “Semakin miskin
sebuah bangsa, seringkali semakin mewah kehidupan dan "perilaku
aneh" elite penguasanya”.
Sebagaimana adiknya, Arief memilih tidak masuk ke dalam gerbong kekuasaan maupun derap politik praktis, di mana sebagian kawan-kawannya memilih masuk ke dalam sistem. Arief Budiman contoh ilmuwan yang tidak berumah di atas awan. Ia intelektual publik dengan gagasan yang sistematis dan mudah dicerna.
Saya tidak perlu lagi menulis panjang di sini tentang kritik apa saja yang membuat pria kelahiran Jakarta ini pernah menjadi sosok yang meresahkan bagi rezim Orde Baru, dan bahkan pernah dipenjara.
Demikian pandangan singkat saya tentang sosok Guru Besar di Universitas Melbourne, di Australia ini. Masih jauh dari kata memadai menimbang pikiran, sikap maupun pengalaman gerakannya yang merentang panjang sedari orde lama, orde baru hingga reformasi.
Buku tentang Arief Budiman (2018) |
Namun, dalam kesempatan ini izinkan saya berbagi pengalaman membaca salah satu tulisan Leila Ch Budiman yang tergabung di dalam buku berjudul Arief Budiman (Soe Hok Djin): Melawan Tanpa Kebencian. Buku yang diterbitkan oleh New Merah Putih pada tahun 2018 ini saya beli setelah tidak lama diumumkan secara luas melalui media jejaring sosial facebook.
Buku ini ditulis oleh kawan-kawan dekat
bahkan istri dan anak Arief Budiman dan tentu juga kritikusnya. Pembaca akan menemukan
di dalam buku setebal 267 halaman ini sesuatu yang sangat personal, memorabilia
foto dan kisah-kisah untold stories
yang belum termuat dalam buku-buku yang lain dan juga memuat serpihan-serpihan
kenangan masa lalu yang melibatkan Arief Budiman dalam peristiwa politik,
persahabatan, pergolakan pemikiran dan konflik interest, dan tentu saja sense
humanismenya.
Isi kisah tulisan Leila, begitu ia akrab disapa, adalah sebuah kesaksian tentang Arief Budiman, yang tak lain adalah suaminya. Perjalanan mereka berdua mengarungi samudera pernikahan yang penuh gejolak. Rajutan kisahnya memukau, tapi tidak menutup-nutupi situasi pelik di mana mereka pernah dalam kondisi jatuh terpuruk.
Leila mengisahkan perjalanan hidup mereka yang nyaris lima puluh tahun (sejalan dengan terbitnya buku tersebut tahun 2018) ke dalam 12 halaman penuh (bolak-balik). Tulisannya dibagi ke dalam beberapa sub, yakni awal perjumpaan; diusir orangtua; tidak ada yang mau menikahkan; dipenjara entah di mana; di Paris; Di USA, kritik tidak diteror; dilatih hidup miskin; dipecat tidak dengan hormat; Romo Mangun, dan dipungkasi Parkinson, penyakit yang menyerang tubuh Arief hingga ajal menjemputnya pada 23 April tahun 2020.
Meski dibagi ke dalam beberapa sub, bukan
berarti berdiri sendiri-sendiri. Melainkan saling bertautan. Pembaca mendapati
bentangan kisah hidup menyejukkan dan tak jarang membuat kita mesti berpikir
sekaligus merefleksikan ulang sejalan dengan situasi dan problematika yang
dihadapi sekarang, terutama bagi seorang akademisi maupun aktivis.
Saya berpandangan, kisah hidup mereka berdua
jauh lebih kuat memberi kesan dan pesan dibanding kisah Dilan-Milea yang pernah
menjadi viral dan memuncaki tangga film nasional yang ditonton jutaan pemirsa pada tahun 2020.
Pada bagian awal perjumpaan, Arief, di mata Leila adalah pribadi lusuh, kurus dan seringkali menyendiri. Suatu waktu, meski Leila berpacaran dengan seorang lelaki, teman dari kakak Leila, Arief mengirimkan sepucuk surat kepadanya.
"Ah nggak ah, bukan selera saya",
sergah Leila merespon isi surat pertama dari Arief.
Beberapa bulan kemudian surat kedua datang
dari Soe Hok Djin (Arief Budiman),
bernada lebih cinta dari surat yang awal.
Dilalah surat itu datang tepat saat Leila
sedang bete, "bad
tempered".
"Ketika itu tepat saat sobat kakak saya,
pacar saya, lupa mengucapkan hari ulang tahun saya. Selain itu, diceritakan
Leila hubungan mereka selalu diisi dengan berselisih pendapat. Banyak
larangannya yang tidak masuk akal", kilah Leila tentang sosok pria sebelum
dirinya mengenal Arief.
Puncaknya, Leila memilih putus dengan sang
pacar tersebut. "Ah, betapa lega
rasanya, tidak ada sangkutan apa-apa lagi..!" Pungkas Leila.
Ternyata bukan Soe Hok Djin namanya kalau
mudah menyerah. Arief melakukan serangan lebih gencar lagi. Bukan hanya surat,
tapi dirinya juga menulis puisi untuk Leila. Bahkan ia memberikan buku berjudul White Nights karangan Fyodor Dostoyevsky.
Arief juga memperlihatkan tulisannya di Star weekly. Ia menulis perbedaan antara
cantik dan manis. Cantik memenuhi kriteria kesepadanan dan selesai, sedangkan
manis mempunyai nilai lebih dalam dan membekas. Diakhiri dengan kalimat,"
Leila kau cantik dan manis".
Membaca penggalan kisah demikian itu, mengingatkan saya pada sebuah artikel Bondan Winarno yang terbit di majalah Tempo pada kisaran tahun 1985/1986 berjudul Berpacaranlah di Perpustakaan.
Mendiang Bondan ini mengisahkan modus dirinya meminjamkan buku sejarah (dengan agak memaksa sih), kepada si doi, sembari menyelipkan surat cinta di dalamnya untuk kekasih Mini.
Sayang, hubungan mereka kandas seiring kepindahan Mini ke kota lain. Tetapi modus si Bondan tidak pernah berubah. Pada setiap perempuan lain, ia juga senantiasa pinjam-meminjam buku sembari di dalamnya terselip kekuatan aktif dalam diri manusia: cinta :)
Aha..Tulisan om Bondan apik. Melampaui
perkara pacaran dalam pengertian genit-genitan atau gombal-gombalan
sebagaimana yang kita kenal pada generasi kekinian. Artikel ini lebih tepatnya
menganggit tentang hakikat buku, perpustakaan dan dimensi manusia dalam relasi
antar ketiganya membentuk masyarakat melek pengetahuan.
Kembali pada kisah hidup Leila dan
Arief. Tulisan Leila tidak saja sebagai
seorang istri, melainkan juga saksi terdekat Arief, baik sebagai intelektual
dan manusia biasa. Di situ menarik buat
saya.
Berawal dari membaca kisah hidup tentang
Arief dan Leila (halaman 147), membuat saya lebih bertenaga untuk melahap
tulisan-tulisan lainnya dalam buku Melawan tanpa Kebencian ini, seperti
sebut saja tulisan intelektual Vedi R Hadiz, Yoseph "Stanley"
Adi Praestyo, FX, Rudy Gunawan, Goenawan Mohammad, Rizal Mallarangeng, Bonnie
Setiawan, St. Sularto dan lainnya.
Kamis, 23 April tahun 2020 Arief meninggal dunia dalam usia 79 tahun. Dua tahun setelah buku ini diterbitkan (2018). Mungkin saja generasi sekarang belum mengenal sosok ini, tetapi bagi mereka yang menekuni dunia pemikiran dan gerakan (aktivis), yang bersetia membangunan kesadaran terhadap bahaya laten kekuasaan, sosok Arief Budiman sulit dilupakan. Pergolakan pemikiran dan tentu saja sense humanismenya, barangkali dua hal itu yang membuat sosiolog kenamaan ini dihormati. Lahu, Al fatihah.
*Kota Jambi.
Tulisan senafas saya lainnya:
(2) Tak Perlu Ke Puncak Mahameru Menemui Gie
(3) Sutan Sjahrir: Hidup Yang Tak Dipertaruhkan, Tak Akan Pernah Dimenangkan
0 Komentar