Nurul Fahmy |
Berselang dua hari pasca dilantik Gubernur Jambi, Al Haris, komisioner Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Jambi, Nurul Fahmy, menghembuskan nafas terakhir kalinya di sela mendengarkan khutbah Jumat di Masjid Ar-Raudhah, Telanaipura, Kota Jambi (27/05). Kepergian yang mendadak itu jelas menyisakan rasa tidak percaya bagi mereka yang hari-hari bergaul dengannya. Tidak terkecuali saya pribadi.
Optimisme menyerah kalah pada ketetapan Tuhan. Bung Nurul Fahmy, begitu saya kerap menyapanya, benar-benar dipanggil ke haribaan-Nya di waktu dan tempat yang baik, sesuatu yang barangkali menjadi dambaan umat Muslim.
Berita lelayu Nurul Fahmy segera menyebar ke bilik-bilik perpesanan pribadi. Pertama kali saya mendapat kabar tersebut melalui aplikasi perpesanan WhatsApp grub kolega kantor, lengkap foto dan video almarhum dalam posisi terbujur kaku dan ditutupi kain sarung. Allahuyarham.
Ucapan dukacita sekaligus doa datang silih berganti untuk pria kelahiran 18 Mei 1978 itu. Portal berita online di Jambi maupun di linimasa facebook yang menghubungkan warganet dari pelbagai daerah, dalam tempo yang singkat ramai oleh kehadiran tulisan mengenang momen perjumpaan sekaligus dialektika mereka dengan Nurul Fahmy semasa hidup.
Dari tulisan yang terserak itu tampak jelas patahan-patahan narasi yang mengggambarkan sosok Nurul Fahmy semasa hidup. Penilaian semacam itu menandai interest-interest yang mewarnai perjumpaan antar mereka dalam rentang waktu yang beragam. Tetapi setidaknya hemat saya, keseluruhannya berpangkal pada kesadaran bahwa Nurul Fahmy adalah individu yang terlibat di gelanggang intelektualisme, aktivisme di ranah jurnalistik dan seni budaya, utamanya sastra, dimana Nurul Fahmy merupakan lulusan program studi ilmu sastra di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas, Sumatera Barat. Dalam pandangan saya, sastra sebagai disiplin ilmu menjadi bekal bagi dirinya meniti karir hingga ia dikenal sampai sekarang sebagai penulis, jurnalis dan sekaligus dipercaya memimpin organisasi Ikatan Wartawan Online (IWO) provinsi Jambi.
Pilihan dirinya merespon isu-isu aktual seputar pembangunan di provinsi Jambi, salah satunya hadir melalui tarung gagasan semasa pemilihan Gubernur Jambi tahun 2020 melalui tulisan-tulisannya di media online (tidak terkecuali melalui Inilahjambi.com, portal berita online Jambi dimana ia merupakan pemilik sekaligus pemimpin redaksi). Sekalipun ia tidak bisa menampik bias yang ditimbulkan oleh pilihan isu-isu yang ditilik olehnya sekaligus keterlibatannya menjadi bagian dari tim sukses Al Hari-Sani, utamanya counter atas tagline, hal-hal konsepsional serta strategi pemenangan yang diusung oleh masing-masing kontestan, tetap saja hal yang demikian itu merupakan sumbangan pemikiran yang perlu dicatat, dan karenanya itu menjadi bagian dari proses pengayaan tafsir atas simbol, gagasan dan sikap di tengah praktik politik lokal yang acapkali terjerembab dalam kejumudan, namun tetap tidak bisa dilihat dengan kacamata kuda.
Saya pertama kali berjumpa Nurul Fahmy tahun 2011, tepatnya saat peluncuran ulang website Angsoduo.net, sebuah kanal pemikiran, terutama wadah yang diniati oleh para inisiator (selain Nurul Fahmy ketika itu antara lain hadir Muhammad Khusyairi (MHs Ce’gu) dan Ratna Dewi) untuk mendorong tumbuh suburnya diskursus pemikiran (terutama sastra) di Provinsi Jambi. Pada momen yang berlangsung di Taman Budaya Jambi (TBJ) itulah saya berkenalan dan sempat bercakap-cakapnya dengannya, yang notabene ia juga bekerja sebagai redaktur sastra koran Harian Jambi Independent. Masih ingat ketika itu saya menyapanya dengan kata Bung. Alhamdulillah ia menyambut balik dengan sapaan serupa kepada saya.
Sejak itu komunikasi antara kami, meski terbilang tidak intens, berjalan baik. Lebih-lebih bila saya mengirimkan tulisan baik opini maun puisi untuk dimuat di koran Jambi Independent. Barangkali perjumpaan antara kami lebih banyak melalui tukar pikiran dalam bentuk tulisan, lebih-lebih facebook memudahkan siapa saja bertukar informasi tanpa harus bertemu. Benarnya adanya, di ranah seni budaya Jambi, kami kerap dipertemukan, seperti melalui iven-iven seminar atau diskusi seni (terutama sastra) di TBJ, Kantor Bahasa Provinsi Jambi maupun di Dewan Kesenian Provinsi Jambi (DK-Jambi) periode tahun 2011-2014.
Saya masih ingat di masa awal pendirian Buletin Tembilang DK-Jambi, dimana saya bersama Rini Febriani Hauri, CH. Yurma, dan MHs Ce’gu berdiskusi merancang format sekaligus muatan media informasi dan pertukaran gagasan seputar seni budaya itu. Nurul Fahmy ikut menyumbang empat tulisan untuk Tembilang edisi IV, April tahun 2012. Ia menulis catatan perjalanannya bersama sastrawan Gustafrizal Busra atau lebih dikenal Gus tf Sakai ke situs purbakala tinggalan abad ke-7 sampai abad ke-13 yang merekam jejak peradaban Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya itu.
Terekam jelas usaha Nurul Fahmy mengungkit kegemilangan masa lampau Jambi sekaligus kegelisahannya melihat situs itu kini terancam karena keberadaan terminal timbunan batubara (stockfile), industri Crude Palm Oil (CPO) dan ketiadaan konsep wisata air pemerintah provinsi Jambi untuk membangkitkan kembali peran Sungai Batanghari, tidak terkecuali wisata jalur sungai menuju dermaga Candi Muarajambi.
Waktu terus berjalan. Kami larut dalam kesibukan masing-masing. Meski website Angsoduonet tidak lagi aktif (untuk kedua kalinya gugur setelah pertama kali diluncurkan pada tahun 2005). Saya tidak tahu persis alasan kenapa media tersebut gulung tikar. Begitu juga Nurul Fahmy saya ketahui tidak lagi di Jambi Independent, melainkan bekerja di Kantor Berita Antara Jambi, lalu membangun media online sendiri yaitu Masurai.com, tetapi berhenti di tengah jalan dan bangkit lagi melalui corong baru yaitu Inilahjambi.com, sebuah media online yang ia rawat dan kelola sampai tutup usia.
Saya kerap mengikuti tulisan-tulisannya yang terbit di media online. Pandangannya tidak selalu sejalan dengan saya, dan hal itu lumrah adanya. Yang tidak berubah dari tulisan Bung Nurul Fahmy dalam pandangan saya yaitu tetap bernada kritis, tanpa tedeng aling-aling, khas dirinya agar tidak terjebak dalam kungkungan eufimisme. Mungkin bagi sebagian pembaca tulisannya terasa sinis. Kalaupun benar ada kecenderungan ke arah itu, saya memaknai itu bagian dari keterusterangannya pada lembaga ataupun kekuasaan (baik pemeritah pusat maupun pemerintah daerah) sebagai objek kritiknya, seperti tulisannya berjudul Wajah Pendidikan di Jambi (baca di sini: Wajah Pendidikan di Jambi). Tampak jelas ia marah, tetapi tetap dengan dukungan data dan argumentasi.
Itu hanya salah satu dari banyak tulisan lepas yang pernah ia goreskan baik di media cetak koran maupun media online semasa hidup. Tuan dan Puan bisa berselancar sendiri di lini maya untuk membaca pikiran-pikiran kritisnya. Selain itu, yang tidak kalah penting, bagian dari upaya membaca pemikiran Bung Nurul Fahmy yaitu kita perlu membaca buku kumpulan esai berjudul Lagak Budak Jambi (2013).
Melalui buku yang dijadikan sebagai kado pernikahannya dengan Nurul Ernawati, Ibu bagi tigak anaknya sekarang, pembaca akan mengetahui hamparan pengetahuan, penguasaan terhadap sumber literatur, kritik terhadap pengambil kebijakan di Jambi, kegelisahan atas sejarah dan budaya Jambi, dan hal-hal lain yang menegaskan posisi Nurul Fahmy sebagai individu, sekalipun jauh dari kilatan kamera televisi, ikut terlibat secara sungguh-sungguh memikirkan Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah ini.
Selamat jalan Bung Nurul Fahmy. Kepergianmu yang mendadak serta rasa kehilangan yang mendalam dari orang-orang yang mengenalmu, sejatinya menyiratkan sebuah pesan yaitu sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memberi manfaat buat orang lain. Saya sepenuhnya yakin hidupmu telah memberi manfaat buat orang banyak. Lahu Al fatihah.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal jamberita.com pada Selasa, 28 Mei 2022.
*Tulisan saya lainnya:
(1) Langkah Sunyi Bung Firdaus
(2) Setelah Fakhrudin Saudagar Tak Ada Lagi
(3) Selamat Jalan Budayawan Junaidi T. Noor
(4) Syamsul Watir, Pers Jambi (tanpa) Pusat Dokumentasi
0 Komentar