Buku karya Gde Aryantha Soethama (Kompas, 2016) |
Oleh: Jumardi Putra*
Sulit menyangkal bahwa Bali adalah daerah tujuan wisatawan baik domestik maupun mancanegara terbanyak
dibandingkan destinasi wisata daerah lainnya di tanah air.
Bahkan, penulis buku ini
menyebutkan hampir 180 bangsa turis dunia menjadi saksi keindahan pulau
Dewata. Tak heran pula bila kehadiran kaum pelesir nyaris memenuhi alam pikiran
kita (terutama orang di luar Bali) tentang daerah berpenghuni lebih dari 4,2
juta jiwa itu.
Apakah semua orang
Bali memuja arus turisme? Nyatanya tidak. Buku berisikan 69 esai ini menganggit
dunia batin sekaligus kisah orang-orang Bali. Pahit dan getir.
Sekalipun penuh tantangan dan
tentu saja terjadi peminggiran budaya sebagai akibat pulau yang kian terbuka
disertai gurita industri pariwisata, Bali terus maju dengan wajah paradoksnya,
yaitu teguh pada adat, keyakinan penuh pada doktrin teologisnya, hingga perkara
migrasi orang-orang ke Bali bersamaan penguasaan atas lahan dan lapangan
pekerjaan, serta pandangan orang Bali terhadap uang dan jejaring kepariwisataan
yang terus meluas.
Bila kebanyakan orang terkesima
pada pariwisata Bali sehingga mengesampingkan pandangan tuan rumah Bali itu
sendiri, maka buku yang ditulis oleh Gde Aryantha Soethama ini, yang tak lain
adalah orang Bali sendiri, untuk menyebut contoh, merupakan satu dari yang
sedikit menempatkan sisi manusiawi Bali. Dengan kata lain, buku ini boleh
dikata sebagai kritik agar riset tentang pariwisata tidak melulu tentang bagaimana
mendatangkan wisatawan sebanyak mungkin.
Kenapa apa hal demikian itu
menjadi perlu? Pandangan-pandangan dunia luar tentang Bali selama ini mengesampingkan
pandangan tuan rumah. Jarang tulisan orang luar yang mewakili kegelisahan orang
Bali, kecuali tentang kaum plesir yang menikmati “bumi firdaus” itu sendiri.
Bertolak dari hal itu, masihkah sudut pandang kita (di luar Bali) menjadikan pariwisata bak kurs rupiah atau dollar (untuk menyebut mengikuti deret ukur pasar semata), peningkatan PAD, terbukanya lapangan pekerjaan, dan janji kesejahteraan bagi warga sebagai konsekuensi logis darinya? Jawabannya jelas tidak sesederhana hanya dengan mengatakan demi kesejahteraan warga.
Tidak sedikit contoh betapa kesejahteraan yang dijanjikan oleh kehadiran pariwisata dengan segala faktor turutannya telah mendatangkan problem-problem baru yang jauh lebih rumit penyelesaiannya dan bahkan tidak membawa dampak positif bagi kehidupan warga setempat karena mereka tidak lagi menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri.
Di tengah situasi itu, satu
hal yang pasti, oleh penulis buku ini disebutkan yaitu masyarakat Bali masih sanggup
menghadapi tantangan yang muncul, karena pandangan mereka tentang karma yang
selalu berpihak pada kebaijkan. Di situ lah kebudayaan seisinya. Senantiasa
digali, dirawat hingga menjadi laku.
Buku setebal 244 halaman ini ditulis
dengan bahasa yang mudah dicerna dengan tidak kehilangan bobot pengetahuan. Kisah-kisah
di buku terbitan Kompas (2016) ini akan mengakrabkan pembaca pada kehidupan sehari-sehari orang Bali,
yang keterhubungan dengan dunia luar tidak saja oleh sistem, kecanggihan
teknologi bidang pariwisata, tapi juga fisik. Di situ perubahan adalah medan
laga yang tidak sederhana, dan karenanya menuntut kesiapan dan pikiran terbuka.
*Kota Jambi.
0 Komentar