Momen Pernikahan Bapak-Emak di kampung, Juli 1983 |
Oleh: Jumardi Putra*
Hari ini, 5 Juni 2024, tepat tujuh tahun bapak meninggalkan kami (sekira pukul 20.31 WIB, 5 Juni 2017). Selama tujuh tahun itu pula tiap lebaran Idul Fitri kami tidak lagi bersamanya. Sebagaimana kami, tiga bersaudara-anak-anaknya, terutama sepeninggalan almarhumah yuk Jumarnis Putri, emak lah yang merasa paling kehilangan.
Bukan tanpa sebab, karena emak yang terbiasa hidup berdua bersama bapak, bahkan kini harus menjalani hidup seorang diri, terutama makin terasa usai dirinya purnatugas pada Oktober tahu lalu sebagai guru
sekolas dasar di kampung halaman, Desa Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo. Saya bersyukur lantaran keluarga kecil adik saya di Dusun bersetia menemani hari-hari emak, terutama malam hari. Doa saya buat emak semoga senantiasa
sehat dan dimudahkan dalam segala urusan oleh Allah SWT. Amin
Ketetapan Allah SWT tiada yang bisa
merubah. Tapal batas usia kehidupan seseorang, tiada memandang status sosial,
pendidikan dan ekonomi adalah hak prerogatif Tuhan. Menyadari hal itu membuat kami sekeluarga belajar untuk kuat sekaligus tabah menerima, terutama awal menerima kabar kepergian bapak tujuh tahun lalu, utamanya saat menjalani pengobatan bolak-balik
antara Kota Bungo-Padang, Sumatera Barat. Apatahlagi kepergian bapak hanya berselang sebulan pasca kelahiran putera kedua saya yang kami beri nama Agrata Rendra Raffasya.
Secara fisik bapak telah tiada,
tetapi tidak dengan kasih sayang, tunjuk ajar dan pengorbanannya sebagai kepala
rumah tangga, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Demikian itu tidak
akan membuat kami, anak-anaknya, lupa apalagi durja.
Saya berkeyakinan, sebagaimana mendiang puteri sulungnya wafat saat menuntut ilmu di ujung timur bagian utara Pulau Jawa, 24 tahun yang lalu
di Pesantren Salafiyah Syafi’iah, Sukorejo-Situbondo-Jawa Timur, kepulangan bapak saat Ramadan baru berjalan beberapa hari, sejatinya keduanya sama-sama berada di sebuah 'madrasah' menuju ke haribaan-Nya. Bahagialah di sana, Pak. Amin. Toh, entah kapan di waktu mendatang, kami juga akan menyusul ke sana.
Penghormatan terakhir kepada almarhum dari rekanan guru |
Setelah kepergian bapak, saya menemukan secarik kertas berisikan seloko adat Jambi yang mulai lusuh dan beberapa kartu penanda jenjang tugasnya sebagai Umar Bakri. Dari dalam dompetnya juga saya mendapati foto putera sulungku Kaindra Gafna Al Farisi, tak lain adalah cucu pertamanya. Di dinding facebook, saban tahun selalu muncul momen kebahagiaan, terutama saat bapak membonceng saya dan Kaindra melewati jembatan gantung penghubung antara Desa Empelu dengan Desa Sungai Mancur menuju umo, ladang miliknya. Kaindra, si bungsu masih ingat betul saat sang kakek mengajak mengunjungi umo saat musim buah duku. Bila kami sekeluarga balik ke Dusun dari Jambi, galibnya sang kakek mengambil beberapa kelapa muda di kebun kecil di belakang rumah miliknya. Pada momen-momen semacam itu kenangan itu kian menebal.
Bapak menurut saya tipikal pekerja keras dan tidak
banyak bicara. Bapak juga tidak mudah mengucapkan cinta dan
kasih sayang secara verbal kepada anak-anaknya. Yang saya tahu bapak sepenuhnya
mewujudkan kasih sayang dalam bentuk tindakan. Bapak juga tergolong
pengarsip yang rapi. Tidak sedikit buku dan berkas-berkas lama milik kakek maupun
miliknya bersama emak semasa menjalani profesi sebagai guru hingga kini
tersimpan baik di rumah sehingga saya bisa membacanya.
Saya masih ingat, selain selepas
magrib merupakan waktu terbaik buat anak-anak sebaya kami belajar Al-quran
di rumah guru ngaji, juga dilanjutkan sesudahnya belajar memantabkan kemampuan
membaca dan menghitung bersama bapak dan emak di rumah. Ketika itu
listrik kerap mati. Toh, jenset belum punya. Teplok maupun strongking
adalah alternatif penerangan malam hari di masa itu. Barulah beberapa tahun setelahnya
orang-orang di kampung kami, Desa Empelu, beralih menggunakan mesin genset.
Begitu juga kenangan kami,
anak-anaknya, saat pergi bersamanya ke umo
maupun talang, sebut saja seperti
menanam benih karet, menebas rumput maupun ilalang yang meninggi, panen duku
maupun padi, serta mandi sembari membersihkan motor maupun mobil di sungai
dekat kebun miliknya di jalan tepi lintas sumatera, Desa Sungai Mancur.
Ingin nian saya menceritakan detail
sosok bapak yang saya ketahui, tetapi belum bisa
terealisasi hingga saat ini. Tidak terkecuali pengalaman yang saya rasakan saat berpisah dengannya karena melanjutkan sekolah di Jombang-Jawa Timur maupun Yogyakarta. Hal itu semata sebagai pengingat bagi saya pribadi maupun adik-adik
saya. Saya yakin, kedua adik saya, selain alarmuham ayuk, juga memiliki pengalaman spesifik bersama bapak
semasa hidup yang sulit dilupakan. Penggalan catatan perjalanan saya bersama bapak ke Jawa Timur dapat dibaca di sini: https://www.jumardiputra.com/2021/04/dari-empelu-sampai-yogyakarta-penggalan.html.
Satu hal yang pasti, bapak maupun emak memastikan kewajiban menuntut ilmu benar-benar dipegang
teguh oleh kami, anak-anaknya. Kerelaan bapak-emak memberi kesempatan kami belajar di pulau Jawa (ayuk, saya dan Hatta), serta Manto di
Sumatera Barat, jelas membuat kami tidak banyak waktu bersama di kampung
halaman. Barangkali Idul Fitri lah momen bagi kami bisa kumpul bersama, itu pun
dengan catatan tidak setiap tahun pula kami, terutama saya dan ayuk, bisa pulang
kampung dalam rentang waktu tahun 1998 sampai tahun 2009.
Kesungguhan bapak-emak menyekolahkan kami jelas faedahnya hingga saat ini
dan insyallah sampai giliran sang pemilik kehidupan menjemput masing-masing kami, dan
akhirnya kami semua kelak dapat berkumpul bersama di surga
Allah SWT. Amin.
Mengingat bapak hari ini, menghubungkan saya pada sebuah sajak karya penyair Sapardi Djoko Damono (Mata Jendela, 2001). berikut ini:
Akulah si telaga: berlayarlah di
atasnya;
Berlayarlah menyibakkan riak-riak
kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
Berlayarlah sambil memandang
harumnya cahaya;
Sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja perahumu biar aku yang menjaganya.
*Kota Jambi.
0 Komentar