Aktivitas Pelabuhan di Tepian Sungai Batanghari.(Arsip Nasional) |
Rona kebudayaan Jambi menyeruak di langit
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jambi (9/11). Seolah siuman dari tidur
panjang, kesenian menjadi jalan alternatif untuk dilalui sekaligus dirayakan penuh
sukacita.
Secara awam, melalui dekorasi unik (simbol bambu, akar kayu,
dan tempurung kelapa) yang meriasi dinding bagian depan gedung FIB, tetamu
seolah ditunjukkan maksud dan tujuan di balik tabir sarasehan yakni menuju
kebudayaan Jambi yang berkeadaban dan berkemajuan, sebagaimana sisi gemilang termaktub dalam sejarah
Jambi yang tidak saja membentang panjang, tetapi juga kompleks sekaligus
multidimensional.
Tiga
taruf berukuran sedang, meski terpisah, tegak menghadap ke satu titik pemusatan
yaitu panggung sarasehan. Sedangkan di lantai satu gedung utama FIB, tempat
lalu-lalang mahasiswa di hari-hari biasa diisi pameran artefak kebudayaan
Jambi masa silam. Begitu juga di sela-sela sarasehan, mahasiswa jurusan
Sendratasik dengan penuh penghayatan menandungkan “Rangkayo Hitam” dengan dukungan
aransemen musik nan aduhai serta jamuan tarian tradisi yang disambut gemuruh
tepuk tangan.
Di sana-sini terlihat ada kekurangan baik dari sisi
teknis maupun penuangan gagasan, tetapi perhelatan yang ditaja Cerano Art
Culture didukung FIB ini membawa angin segar (untuk menyebut oase) di tengah
gersangnya kapitalisme global dengan serangkaian sihir, sebut saja seperti konsumerisme,
hedonisme, materialisme, dan individualisme akut.
Harapan itu, setidaknya bagi saya bukan tanpa alasan. Mandalo (untuk menyebut UNJA dan IAIN STS Jambi sebagai representasi dari
intelektualisme dan keadaban) kalah gesit dibandingkan Telanaipura dan
Kotabaru, untuk menyebut contoh, dalam menghadirkan ‘gelangang’ kebudayaan baik dalam bentuk pertunjukaan kesenian maupun pensemestaan gagasan/pemikiran.
Meskipun demikian, dua wilayah itu, dalam amatan saya,
sama-sama sedang terjerembab dalam kubangan “lubang hitam” modernitas
(peribahasa: terlihat seperti gelembung sabun, yang meski indah tapi tidak
berisi), yang membuat siapa saja tidak kuasa mempertanyakan secara kritis
asumi-asumsi yang berlalu lalang dalam pikiran maupun tindakan.
Dengan kata lain, baik Mandalo maupun Telanaipura dan Kotabaru, merujuk arsitektur-cum sastrawan Avianti Armand, mengungkapkan “geliat Tanah Pilih Pusako Betuah (Kota Jambi) dewasa ini bak penggalan yang seperti perspektif hanya menyisakan satu sudut pandang.
Apa pasal? Seluruh
proyeksi mengarah pada komodifikasi ruang yang semakin total dan tak peduli.
Kota ini telah menjadi sekadar tempat bertahan hidup, bukan tempat hidup yang
mampu memberi arti keberadaan kepada penghuni yang tinggal di dalamnya.
Hulu Ke Hilir Batanghari
Terhadap ulasan kedua narasumber dalam sarasehan bertajuk
“Hulu ke hilir Batanghari: Representasi Kebudayaan Jambi yaitu arkeolog
Bambang Budi Utomo (BBU) dan perwakilan dari Balai Sungai Wilayah Sumatera,
Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Jambi, saya tak menaruh kontra yang berarti.
Hanya saja BBU belum menjelaskan secara gamblang konsep
hulu-hilir Batanghari dalam sejarah ‘hubungan’ Jambi dengan dunia luar di masa
silam dan rekontekstualisasi ke masa kini dengan disertai
kemungkinan-kemungkinan konsepsionalitas pembangunan kebudayaan Jambi ke masa
depan, sehingga pengulangan-pengulangan yang jamak diketahui salama ini tidak
terelakkan, ambil misal sumber berita Cina tentang I-Tsing, polemik istilah Mo-Lo-You yang diartikan secara tunggal
sebagai kesatuan ekspresi suku dan keagaman (untuk menyebut contoh, Dunia
Melayu Dunia Islam/DMDI) sekaligus kehadiran agama Budha melalui temuan
artefak, baik di Jambi maupun Sumatera. Pendeknya, hingga sarasehan usai tak
terlihat temuan baru BBU yang siginifikan, terutama pasca seminar internasional
Melayu Kuno di Jambi dua puluh empat tahun lalu.
Sedangkan narasumber dari Balai Sungai Wilayah Sumatera,
belum beranjak dari pendekatan usang yang bersifat birokratis (technical
knowledge) sehingga memperlihatkan pandangan pembangunan yang tuna-sejarah dan
budaya. Kalaupun sesekali menyinggung budaya di sepanjang DAS Batanghari hanya
sampai di kulit permukaan.
Bertolak dari hal itu, berikut tiga hal pokok yang penting
untuk didiskusikan kembali. Pertama, menempatkan hulu-hilir Batanghari sebagai
perspektif sekaligus tindakan berarti mengajak masing-masing kita mengembara
lebih jauh guna mengurai pandangan sejarawan Leonard Y. Andaya yang menyatakan
dalam konteks regional maupun internasional di masa lampau, Jambi memiliki
latar belakang sejarah ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya yang cukup
panjang.
Pun demikian, selain sejarawan AB. Lapian yang menyebut
sungai Batanghari sebagai commercial
coast, juga merujuk Sarjana Prancis yang terkemuka dalam filologi
Melayu-Sanskerta, George Coedès, menyebutkan bahwa Jambi memiliki peran
penting dalam sejarah Melayu. Hal itu dibuktikan dari sekelompok prasasti dalam
bahasa Melayu Kuno, empat di antaranya ditemukan di Sumatera (tiga dekat
Palembang dan satu di Karang Brahi di hulu Sungai Batanghari) serta satu di
Kota Kapur di Pulau Bangka.
Kedua, salah satu sumber pustaka untuk menelisik hulu-hilir
Batanghari adalah To Live as Brother:
Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth Centuries karya
sejarawan Barbara Watson Andaya (Honolulu, 1993). Ia mengelompokkan masyarakat
Melayu Jambi menjadi dua sub kebudayaan yaitu kebudayaan masyarakat Melayu
yang ada di daerah hulu (pedalaman) dan hilir (pesisir) di mana keduanya
mempunyai bentuk kebudayaan yang tidak sama.
Masyarakat pedalaman bercirikan hidup secara independen,
berkelompok atas dasar klan, mempunyai wilayah teritorial, serta bermukim di
kawasan sumber daya alam yang berlimpah-ruah.
Sedangkan kehidupan masyarakat hilir terbiasa kontak dengan
dunia luar. Walaupun di sepanjang pantai Jambi (merujuk N.J. Krom yang
menyatakan “dat Malayu hade oude djambi is”) dan Palembang adalah dasar Melayu,
tetapi faktanya dalam berbagai tindakan kebudayaan mereka dipengaruhi kebudayan
Jawa sehingga terbentuk suatu struktur masyarakat yang struktural hirarkis,
seperti masyarakat ilir terdapat tiga kelompok masyarakat yang dibedakan atas
dasar klan atau garis keturunan kesultanan Jambi yang bertingkat yaitu suku
kraton, suku perban, dan suku raja empat puluh. Berbeda dengan masyarakat di
ulu, pembagiannya berdasarkan garis keturunan dan kewilayahan yang kemudian
menjadi basis kelompok sosialnya yang dinamakan marga (Andaya;14-17).
Setakat hal itu, dalam aktivitas perekonomian baik regional maupun internasional, merujuk Jambi dalam Sejarah: 1500-1942, karya Lindayanti (Disbudpar Jambi, 2013; 64-67 dan 75-76), perdagangan komoditi unggulan yaitu lada bisa menjadi pintu masuk yang memberikan gambaran kepada kita bahwa hulu-hilir Batanghari menyimpan pelbagai peristiwa penting. Di antara tahun 1500 sampai dengan 1630 Jambi menjadi pelabuhan ekspor lada nomor dua setelah Aceh di Sumatera.
Saat itu pedagang Portugis telah mengunjungi
Jambi untuk membeli lada, sampai sekitar tahun 1580-an saat pelabuhan Sunda
(Banten) ditutup bagi pedagang Kristen. Bahkan pada masa kejayaan lada
dilaporkan bahwa setiap tahun Jambi didatangi sekitar 50 sampai 60 perahu Portugis,
Cina, Melayu, dan Jawa (masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar).
Selanjutnya, pola hubungan antar raja sebagai penguasa hilir
dengan petani di daerah hulu bukan berdasarkan kekuatan senjata, tetapi
hubungan politik dan ekonomi yang artinya penguasa hilir menyediakan iklim
dagang yang menyenangkan dan keamanan bagi petani yang datang. Lalu, yang tak
kalah menarik mengenai permintaan yang makin meningkat sejak abad XVII dari
Eropa menyebabkan penanaman lada meluas ke arah hulu. Di situlah Palembang dan
Jambi berselisih soal kewenangan yang kadang berujung saling serang antar dua
kerajaan tersebut. Juga tentang keberadaan bajak laut, sebagai bagian dari
pasukan Sultan cendrung memilih mencari pendapatan ketika pelabuhan sepi
penting dikaji.
Itu artinya, beberapa hal pokok di atas menunjukkan perbedaan antara masyarakat hulu-hilir Batanghari tidak saja mencerminkan perbedaan teritorial, hulu dengan pegunungan dan hutannya yang produktif, dengan daerah hilir sebagai wilayah perairan, tetapi sejatinya hal itu bertautan dengan konstruksi sebuah identitas yang menggambarkan perbedaan aktivitas ekonomi, agama, pola kehidupan, dan budaya.
Upaya serius
melihat dinamika hulu-hilir Batanghari, sebagaimana tajuk sarasehan ini dapat
kita artikulasikan ke dalam konteks realitas pembangunan Jambi saat ini dan
akan datang.
*Tulisan ini terbit pertama kali di koran harian Sorot Jambi, 10 November 2016.
0 Komentar