ilustrasi. sumber: berdikarionline.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Setiap tahun ajaran baru bermacam jurus dikeluarkan oleh
banyak orangtua di negeri ini untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Bagi
sebagian murid, pergantian tahun ajaran baru disambut penuh suka cita. Mereka
akan belajar di sekolah baru, kelas baru, fasilitas belajar baru, teman baru,
dan tentu saja semangat baru. Namun bagi orangtua itu akan menambah beban biaya
hidup mereka.
Demikian realitas kekinian tentang pendidikan yang semakin
sulit dijangkau masyarakat akar rumput. Apalagi akhir-akhir ini warga
dikagetkan oleh kenaikan harga BBM. Hidup menjadi lebih berat ke depannya. Dalam
situasi itu, bagaimana pun caranya para orang tua gigih berusaha menyekolahkan
anak-anak mereka dengan alasan ingin merubah nasib di masa depan.
Sebut saja Yuliawati, warga Johar Baru, Jakarta. la terpaksa
menggadaikan 10 kilogram kalung emas miliknya ke kantor pegadaian setempat guna
mendapatkan dana segar Rp 2,5 juta. "Uang ini untuk biaya sekolah anak
saya," ungkapnya.
Begitu juga Abdus Syukur, tukang becak warga Bantungan,
Situbondo, Jawa Timur, dengan berat hati menggadaikan rumah serta perabot untuk
membiayai sekolah empat orang anaknya. Bagi Abdus Syukur pendidikan adalah
segala-galanya. Ia tak ingin keempat anaknya meneruskan jejak sang ayah sebagai
tukang becak. Memasuki tahun ajaran baru ini, ia harus memiliki dana minimal 3
juta. Alhasil, Abdus sekeluarga tidur dengan kondisi seadanya. "Itu pun
sebenarnya belum cukup, makanya sempat mau jual becak demi anak-anak yang mau
sekolah," ujar Abdus dengan wajah pilu. (Liputan6 SCTV, 17/06/08).
Kisah di atas adalah contoh riil dari masyarakat miskin
lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik nasional,
pada tahun 2007 masih terdapat sekitar 37.17 juta masyarakat berada di garis
kemiskinan atau sekitar 17,05% dari total populasi dan sebagian besar berada di
daerah kota khususnya di pulau Jawa.
Data tersebut jika diamati menunjukkan masyarakat miskin
yang tidak mempunyai apa-apa. Belum lagi mereka yang berada pada pendapatan
rendah yang berbanding lurus dengan kondisi masyarakat miskin. Sebab masih ada
masyarakat yang hanya berpenghasilan minimal sekitar Rp. 673.300 per bulan
ditambah kebutuhan minimal sekitar Rp.719.834.
Pertanyaannya, bagaimana biaya pendidikan yang harus mereka
sisihkan jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin membumbung tinggi?
Kapan pemerintah berhasil menjawab kesulitan jutaan
masyarakat menengah ke bawah yang harus mati-matian menyekolahkan anak-anak
mereka? Kondisi pelik ini jelas bukan suratan takdir, melainkan kekeliruan
pemerintah pusat maupun daerah yang tidak memposisikan pendidikan murah atau
gratis sebagai agenda utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Walaupun
program bantuan pemerintah untuk meringankan beban biaya pendidikan bagi orang
miskin, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dewasa ini dicetuskan, tetapi
di lapangan ternyata anak-anak belum bebas biaya dari sekolah.
Pendidikan merupakan hak dasar dari seluruh lapisan
masyarakat, dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan
warga seperti diamanahi Undang-undang 1945. Hak atas pendidikan juga merupakan salah
satu hak asasi manusia (HAM) yang termuat dalam konvensi HAM International 10 Desember
1948. Dengan demikian, konstitusi kita sudah menjamin hak pendidikan bagi semua
warga negara tanpa terkecuali. Bahkan negara mewajibkan semua warganya untuk
mengikuti pendidikan dasar. Sesuai dengan UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) pasal 46 Ayat 1 yaitu pembiayaan pendidikan ditanggung
oleh Negara.
Dalam situasi apapun, negara wajib memenuhi hak pendidikan
bagi warganya. Begitu juga dengan isi UU Nomor 20 Sisdiknas, UU Nomor 39/1999
tentang perlindungan hak asasi manusia, UU perlindungan Anak & Deklarasi
Dakkar tahun 2000 yang menjamin itu semua.
Namun kenyataan menujukkan kondisi
sebaliknya. Pendidikan di Indonesia terus mengalami komodifikasi. Terjadi
pergeseran paradigma dari pendidikan untuk semua berubah menjadi pendidikan
bagi mereka yang berkantong tebal semata.
Patut diketahui, biaya pendidikan di sekolah dasar yang
harus dibayar selain SPP jauh lebih banyak jumlahnya, sebut saja ada uang sumbangan,
BP3, pembelian buku paket, buku tulis, transpor dan uang saku. Belum lagi
cerita nyata pungli merebak di kala penerimaan siswa baru. Anak tidak bisa
sekolah apabila orangtua hanya cukup mempunyai uang untuk membayar BP3 dan
buku, namun tidak cukup uang untuk biaya transportasi setiap hari, apalagi bagi
mereka yang jauh dari fasilitas pendidikan.
Berdasarkan data dari Komnas HAM RI, di tahun 2007 terdapat
11,7 juta lebih anak telah putus sekolah. Ini menandakan masih banyak warga
Negara Indonesia yang seharusnya mengenyam pendidikan justru putus sekolah
lantaran harus membantu orangtuanya. Penyebab utama anak-anak tidak mengenyam
pendidikan, khususnya pendidikan dasar adalah permasalahan ekonomi keluarga.
Jadi, ketika masyarakat miskin menginginkan pendidikan murah
atau pun gratis, tentu saja itu tuntutan yang masuk akal dan sangat beralasan.
*Tulisan ini terbit pertama kali pada newsletter Slilit LPM ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, edisi Agustus 2008, dengan judul Pendidikan Menguras Banyak Rupiah.
0 Komentar