Lebih Karena Mahbub Djunaidi

ilustrasi

Oleh: Jumardi Putra*

Lagi asyik ngota bersama beberapa kawan di warung Capres milik musisi Iif Ranupane di Sungai Kambang, Kota Jambi, saya diajak Bang Iif, begitu beliau akrab disapa, ke bagian belakang samping kanan rumahnya (2016). Laiaknya gudang, tempat yang kami kunjungi tersebut penuh sesak oleh perkakas bekas rumah tangga maupun peralatan elektronik.

Di situlah saya menemukan buku tergeletak di sebuah gerobak dagang. Kondisi buku tampak lusuh dilumuti debu. Halaman tidak lagi berurutan. Warna kertas yang menguning kusam menandai usianya yang renta. Meski dalam kondisi memperihatinkan buku terbitan Alma Arif Kota Bandung tahun 1974 itu masih bisa saya baca.

Buku berjudul "Hidup Baru di Umur 40 Tahun" merupakan karya terjemahan sekaligus sarian kolumnis beken tanah air yaitu H. Mahbub Djunaidi terhadap karya Robert Peterson.

Ketertarikan saya pada buku tersebut awalnya lebih karena nama sang penterjemah yang termaktub di halaman sampul depan. Apatahlagi baru-baru ini salah satu karya terjemahannya atas buku Animal Farm karya sastrawan George Orwell (dalam bahasa indonesia diberi judul Binatangisme) kembali ramai dipercakapkan. Buku terjemahan kemasan baru tersebut diterbitkan tahun 2016 oleh Gading Publishing Jogja pimpinan esais Hairus Salim.

Di kalangan penulis tanah air, nama Mahbub Djunaidi familiar. Ia merupakan salah satu jurnalis cum kolumnis terbaik pada masanya. Mahbub Djunaidi lahir pada tanggal 22 Juli tahun 1933. Pria Betawi ini lahir dan besar di Jakarta, tetapi ia memilih kota Bandung sebagai tempat untuk mengisi hari tuanya hingga tutup usia pada tanggal 1 Oktober tahun 1995. 

Tulisannya yang jenaka dan tajam merespon isu-isu ekonomi, sosial, budaya, politik, kepemudaan dan pembangunan pada masanya masih bisa dinikmati generasi saat ini. Sebut saja seperti buku berjudul Kolom Demi Kolom yang memuat tulisan-tulisan almarhum di Majalah Tempo dari tahun 1971 sampai 1985, buku berjudul Asal-Usul memuat tulisan-tulisannya yang pernah terbit di Harian Kompas dari tahun 1986 sampai 1995 dan buku berjudul Humor Jurnalistik yang menghimpun tulisan Mahbub di pelbagai media massa terkemuka tanah air dalm rentang waktu 1971 sampai 1985. Ketiga buku tersebut diterbit ulang Ircisod Yogyakarta tahun 2018. 

Kembali ke buku Hidup Baru di Umur 40 Tahun. Sepintas buku ini tidak masuk dalam kelompok buku-buku yang saya doyan. Hal itu lebih karena menyerupai buku berlabel "how to" atau yang belakangan disebut buku kiat-kiat sukses.

Buku karya Robert Peterson

Tetapi tunggu dulu. Apa uniknya buku ini? Karya Robert Peterson ini mengetengahkan "seni menggunakan umur". Sesuatu yang tidak banyak disebarluaskan orang medio tahun 1970-1980-an (untuk membedakan dengan buku-buku karya motivator masa kini).

Kenapa harus 40 Tahun? Tersebab dari 200-an juta penduduk Indonesia saat ini (tahun 1974 sepertiga dari 120 juta penduduk indonesia), apalagi ke depan kita dihadiahi bonus demografi berumur 40 tahun. Semoga bonus tersebut disertai kehadiran generasi produktif. Bukan konsumtif. Apa sebab? Sebuah fase yang sangat menentukan sebelum dan sesudah 40 tahun ke atas. Ada menteri, jenderal, politikus, pedagang, buruh, kaum tani, gubernur, umumnya berumur sebegitu. Dengan demikian, umur 40 tahun menandai tapak perkembangan psikologi dan komunikasi yang sangat menentukan dan karenanya berbeda pula dibanding rentang usia sebelumnya pada seseorang baik sebagai individu maupun bagian dari komunitas sosial serta kelas pekerja profesional.

Mendapati buku langka ini lantas saya mengabarkannya ke khalayak luas melalui media jejaring sosial facebook. Lebih-lebih buku ini dimukadimahi penuh optimis seperti terlihat jelas pada lembar awal setelah laman kredit titel yaitu "Bikin buku adalah kerja seni. Jual buku adalah profesi terhormat. Pilih buku yang baik untuk dicetak adalah tugas intelektual". Begitu spirit penerbit Inggris Walter Hines Page.

Sontak buku setebal 96 halaman tersebut mendapat tanggapan positif dari nitizen terutama penulis yang mengenal sosok intelektual dan aktivis pergerakan Mahbub Djunaidi. Mereka umumnya baru mengetahui jika ternyata semasa hidup sang pendekar pena, julukan bagi Mahbub, pernah menerjemahkan buku genre motivasi tersebut.

Tak syak, antropolog yang juga direktur yayasan LKiS Yogyakarta, Hairus Salim tertarik ingin membaca buku tersebut.  Kebetulan tidak lama setelah membaca buku tersebut saya berangkat ke Yogyakarta, dan momen tersebut kesempatan baik buat saya membawakan copian buku tersebut untuk mas Hairus Salim (Lebih lanjut baca di sini: Mengenal Esais Hairus Salim).

*Kota Jambi.

0 Komentar