Prof. Azyumardi Azra. Sumber: tajdid.id |
Oleh: Jumardi Putra*
Sungguh membuat saya terkejut mendapat berita Prof. Azyumardi Azra menghembuskan nafas terakhir kalinya di Rumah Sakit Serdang, Selangor, Malaysia, Minggu, 18 September 2022. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Kabar wafat cendekiwan muslim ini segera memenuhi laman media sosial, tak terkecuali di aplikasi perpesanan pribadi maupun grup WhatsApp. Kepergian akademisi bereputasi internasional ini adalah kehilangan bagi Indonesia.
Hal pertama yang saya lakukan usai mendapat kabar kepulangan almarhum, selain mengirimkan doa, adalah membuka kembali magnum opusnya berjudul
The Origins of Islamic Reformism in South
East Asia, Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern (Ulama) in The
Seventeenth and Eighteenth Centuries, yang diterbitkan di Australia oleh
Asian Studies Association of Australia dengan Allen & Unwin and University
of Hawaii Press, Honolulu, tahun 2004. Saya juga mengoleksi versi bahasa
Indonesia terbitan Prenadamedia Group, edisi perenial (2013) dengan judul Jaringan
Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar
Pembaharuan Islam Indonesia.
Karya yang kemudian menjadi salah satu pemikiran besar dan orisinil yang dihasilkannya itu merupakan disertasi Azyumardi Azra saat merampungkan jenjang pendidikan doktoral di Universitas Columbia, Amarika Serikat, tahun 1992. Selama lebih dari dua tahun Azyumardi Azra melakukan penelitian di berbagai kota dan perpustakaan, mulai dari Banda Aceh, Sumatera Barat, Jakarta, Ujung Pandang, Yogyakarta, Kairo, Mekkah, Madinah, Leiden, New York City, sampai Ithaca (New York State).
Seiring meningkatnya minat para peneliti internasional atas jaringan transnasional dalam wacana dan gerakan membuat karya pria kelahiran Sumatera Barat, tanggal 4 Maret 1955, ini kerap dirujuk para sarjana dan dimuat di pelbagai jurnal maupun dibentangkan dalam mimbar-mimbar akademik.
Disertasi Prof. Azyumardi (2004) |
William R. Roff, seorang profesor sejarah
di universitas Columbia menyebut Karya Azyumardi Azra merupakan suatu
kontribusi besar kepada literatur, tidak hanya bagi Asia Tenggara, tetapi lebih
umum lagi untuk pemahaman tentang Dunia Muslim pada abad ke-17 dan ke-18.
Begitu juga menurut Barbara Metcalf, profesor
sejarah di University of California. Ia telah membaca manuskrip (disertasi
Azyumardi) ini dengan minat besar dan kekaguman. (Penulis) berhasil
mendemonstrasikan pentingnya jaringan keilmuan dan spiritualitas yang secara impresif
menghubungkan individu-individu dalam bentuk-bentuk yang tak kita ketahui di
masa silam.
Kekaguman yang sama juga disampaikan oleh Karel
Steenbrink, Profesor tamu di Institute
of Islamic Studies, McGill University, bahwa karya Azyumardi ini (merupakan)
langkah ke depan yang sangat penting bagi penulisan sejarah Islam di Asia
Tenggara. Topik yang diambil tidak merupakan topik kecil-kecilan, tetapi memang
topik yang betul-betul komprehensif.
Kiprah akademik Prof. Azyumardi diakui oleh banyak
lembaga kampus di pelbagai negara. Tak heran karena jasa dan konsistensinya,
Azyumardi Azra mendapatkan salah satu penghargaan tertinggi dari Kerajaan
Inggris tahun 2010 yakni “Commander of the Order of the British Empire” atau
disingkat CBE. Pada tahun 2017, Azyumardi juga mendapatkan penghargaan “The
Order of the Rising Sun: Gold and silver Star” dari Kaisar Jepang. Selain
mendapatkan penghargaan dari luar negeri, Azyumardi juga menerima Bintang
Mahaputra pada 9 Agustus 2005 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Prof. Azyumardi adalah salah satu contoh sosok akademisi
yang memilih bertungkus lumus di lapangan penelitian dan pendidikan hingga tutup
usia. Bahkan, keberangkatan Prof. Azyumardi Azra ke Selangor, Malaysia, yang
menjadi hari terakhir kehidupan beliau, adalah dalam rangka memenuhi undangan
seminar dari tokoh negeri jiran Dr. Anwar Ibrahim bersama Angkatan Belia Islam
Malaysia (ABIM), setelah sebelumnya berkunjung ke Sumatera Barat dan sempat
singgah mengunjungi keluarganya di Batu Sangkar, sebelum akhirnya bertolak menuju Kuala Lumpur
pada Minggu, 18 September 2022.
Koran Harian Kompas edisi Senin, 19 September
2022, memuat makalah Prof. Azyumardi Azra yang semula akan dibentangkan dalam
sebuah seminar di Selangor, Malaysia, pada Minggu, 18 September 2022. Dari
tulisan tersebut menegaskan posisinya sebagai intelektual Islam Indonesia yang turut
memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan Muslim Asia Tenggara dengan
segala dinamika maupun tantangannya saat ini untuk turut serta membangun
peradaban dunia.
***
Semasa studi di Jogja rentang waktu tahun 2003-2009, karya
tulis Prof. Azyumardi baik dalam bentuk buku, jurnal, dan lebih-lebih artikel
di media massa, kerap saya baca. Ia merespon peristiwa aktual seputar isu
keislaman tanah air dalam hubungannya dengan gejolak politik internasional,
paham keagamaan transnasional, pendidikan, demokrasi, dan kemanusiaan.
Tersebab Prof. Azyumardi Azra adalah
akademisi yang pernah bekerja sebagai wartawan di Panji Masyarakat dimulai
tahun 1979 sampai 1985, maka tidak heran bila tulisannya lebih mudah dicerna
sekalipun membentangkan persoalan berat. Itu yang membedakannya dibanding umumnya
akademisi lain yang bukan berlatar belakang jurnalis sehingga tulisannya tampak
kaku, dan hanya cocok dibaca terbatas oleh sesama akademisi di jurnal-jurnal
maupun makalah seminar atau konferensi.
Salah satu ciri yang melekat kuat pada Prof.
Azyumardi Azra hemat saya yaitu ia konsisten mengkampanyekan melalui pelbagai
forum baik di mimbar-mimbar akademik kampus, saluran televisi dan
tulisan-tulisan di media massa, yaitu perlunya gagasan sekaligus sikap Islam
inklusif di tengah kemajemukan Indonesia. Sesuatu yang dibutuhkan Indonesia
untuk mengarungi masa depan di tengah jalinan tenun masyarakat (fabric of
society) kelihatan tercabik-cabik di pelbagai banyak negara akibat gagal mengelola
kemajemukan bersamaan makin menguatnya politik identitas, yang pada akhirnya disusupi
kepentingan politik jangka pendek yang berujung pada kehancuran sebuah negara
yang mulanya merdeka dan berdaulat. Bahkan, tanpa tedeng aling-aling, beliau
keras mengkritik derasnya paham keagamaan eksklusif yang menyusupi
kampus-kampus di tanah air dewasa ini.
Saya membaca kembali orasi budaya Prof. Azyumardi
Azra bertajuk Merayakan Kemajemukan, Merawat Indonesia, yang disampaikannya pada
tanggal 30 Agustus tahun 2007, di Taman Komunikasi Kanisius, Yogyakarta. Dalam
orasi budayanya terlihat jelas tantangan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dimulai dari adanya krisis budaya (bermula dari krisis ekonomi sejak akhir 1997
yang berlanjut ke krisis sosial-kultural): disintegrasi sosial-politik;
lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi kesulitan hidup
yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan tindakan anarki;
merosotnya penghargaan kepatuhan pada hukum, etika, moral, dan kesantunan
sosial dan keadaban publik; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan
penyakit-penyakit sosial lainnya; berlanjutnya konflik dan kekerasan yang
bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis, dan agama seperti pernah
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, sejak dari Aceh, Kalimantan Barat dan
Tengah, Ambon, Poso dan lain-lain.
Selanjutnya, ia membentangkan realitas pluralitas dan multikulturalisme: Bhineka Tunggal Ika sekaligus mengaitkan dengan problematika dan tantangannya; Multikulturalisme Demokratis: Basis Kewargaan sebagai pijakan pengelolaan kemajemukan, serta terbentuknya pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas-sebagai jalan tepat membentuk generasi multikultural yang memiliki kesadaran terhadap sejarah bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan kata lain, Prof. Azyumardi ingin menegaskan bahwa pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang demokratis tidak bisa secara taken for granted atau trial and eror. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan.
***
Meski dikenal luas sebagai sejarahwan, Prof.
Azyumardi juga akademisi yang menaruh perhatian terhadap penyelenggaraan
pendidikan nasional, lebih-lebih pendidikan Islam. Bukunya yang berjudul Paradigma
Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, sebuah buku yang
menghimpun tulisan-tulisannya yang pernah terbit di media cetak koran maupun
makalah seminar. Dalam buku terbitan Kompas tahun 2022 tersebut, Azyumardi mengetengahkan
isu desentralisasi pendidikan, pendidikan kritis, pendidikan akhlak dan budi
pekerti sekaligus mengaitkannya dengan persoalan otonomi daerah, demokrasi, civil society, ekowisata, good governance, dan demoralisasi.
Buku karya Prof. Azyumardi (2002) |
Bukunya yang lain yang saya koleksi yaitu berjudul Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, terbitan Logos tahun 1999. Buku tersebut memuat kandungan seputar makna, peran, dan fungsi intelektual Muslim, filsafat pendidikan Islam, aneka ragam lembaga pendidikan-seperti sekolah, pesantren, institut atau universitas, serta birokrasi dan pendidikan nasional. Buku Azyumardi tersebut semacam buah refleksi dan jejak pemikirannya seputar tema pendidikan dengan pendekatan sosio-historis, sebagai respon terhadap perkembangan pemikiran (pendidikan) intelektual Muslim pada dekade 1970-1990-an.
Selanjutnya, buku berjudul Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, terbitan Logo Wacana Ilmu (1999).
Lantaran gagasan pokok yang terkandung di dalam buku tersebut bertitimangsa
pada modernisasi pendidikan, pola baru santrinisasi, dan pola kajian
kependidikan Islam di Indonesia, saya melihat Prof. Azyumardi berusaha memperluas
kajian seputar pendidikan nasional dari buku-buku yang pernah ia tulis sebelumnya.
Problematika pendidikan yang disorot oleh Prof.
Azyumardi, untuk menyebut contoh, sebagaimana pada tiga buku yang saya sebutkan sebelumnya, menegaskan bahwa dunia pendidikan bukan sesuatu yang asing bagi suami
dari Ibu Ipah Farihah BA, istri yang dipersuntingnya pada tanggal 13 Maret 1983
itu. Karena, jika dilihat dari geneologi kesarjanaannya (S1), Prof. Azyumardi menamatkan gelar sarjana di
Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di IAIN Jakarta (kini
Universitas Islam Negeri/UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) pada tahun 1982.
Barulah kemudian ia melanjutkan pendidikan ke luar negeri hingga mendapatkan gelar
Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia
University tahun 1988. Setahun setelahnya (1989) ia memeroleh beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus
yang sama, tetapi Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar
Master of Philosophy (MPhil) tahun 1990, dan melanjutkan jenjang pendidikan doktoral
hingga memperoleh gekar Doctor of Philosophy di kampus yang sama pada tahun
1992.
Tidak hanya itu, di kampus UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, ia mengabdikan diri dan mengamalkan ilmunya sebagai
dosen sejarah sosial-intelektual pendidikan Islam di berbagai Program Pascasarjana
IAIN dan beberapa perguruan tinggi di tanah air. Bahkan sejak tahun 1998 sampai
2006 ia dipercaya menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lalu, pada
Desember 2006 ia menjabat Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Dalam
keterlibatannya mengurusi salah satu perguruan tinggi Islam itulah, ia tergolong salah
satu intelektual yang ikut membentuk tonggak sejarah baru yakni transformasi perguruan
tinggi Islam Indonesia dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN).
***
Terakhir kali saya berjumpa Prof. Azyumardi
Azra pada 22-25 November tahun 2018 saat mengikuti perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival
di Yogyakarta dan Magelang, Jawa Tengah. Pembicara yang hadir ketika itu,
sesuai kepakaran masing-masing, membentangkan makalah seputar catatan tertulis yang
dibuat para pelawat Asing saat melakukan perjalanan dan bermukim di Nusantara
(Indonesia).
Penulis bersama Prof. Azyumardi, November 2018 |
Prof. Azyumardi memaparkan materi tentang misi jaringan orang-orang Muslim di Nusantara, Prof. Taufik Abdullah mengangkat kisah perjalanan Ibnu Batutah hingga menjejakkan kaki di Nusantara, dan Prof. Henri Chambert-Loir membentangkan jejak perjalanan Muslim di Nusantara sebagaimana terlihat pada kisah-kisah orang Nusantara yang naik haji ke Makkah, serta Dr. Widyo Nugrahanto menelisik kronik-kronik Sam Pho Kong dalam Kaitannya dengan keberadaan Wali Sanga.
Saya masih ingat, Prof. Oman Fathurachman selaku
moderator sesi khusus Pelawat Muslim dalam kesempatan tersebut sempat memuji
karya Prof. Azyumardi Azra tentang Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, karena berhasil menjadi tonggak sejarah
sehingga banyak peneliti lainnya baik di dalam maupun luar negeri menaruh
perhatian pada hasil kajian tersebut dan melakukan penelitian lanjutan.
Mendapat pujian tersebut tidak lantas membuat
Prof. Azyumardi Azra jumawa, tetapi beliau justru sambil bergurau menyampaikan
kepada kang Oman Fathurcahman bahwa penelitian itu sudah terlalu lama, dan ia
sudah lama tidak membacanya lagi. Sontak pembicara maupun sebagian besar
peserta diskusi tertawa. Namun dalam kesempatan itu juga, Prof. Azyumardi Azra
berharap agar terus muncul hasil penelitian-penelitian terbaru mengenai Islam
Asia Tenggara, di mana akar perkembangan Islam Indonesia tidak terpisah dari
perjalanan panjang kawasan tersebut.
Usai acara tersebut saya menghampiri Prof. Azyumardi
Azra bertanya khusus tentang sosok sejarahwan Jang Aisjah Muttalib yang sedang
saya tulis. Kebetulan Jang Aisjah juga menyelesaikan pendidikan doktoral lima
belas tahun sebelum Pak Azyumardi Azra merampungkan Ph.Dnya di kampus yang sama
yaitu Universitas Columbia, Amerikat Serikat.
“Saya pernah mendengar nama baliau, tapi sudah
lama tidak tahu keberadaannya sekarang. Coba anda kontak teman-teman di LIPI
(sekarang BRIN) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat beliau pernah
mengajar sebelum akhirnya meninggalkan kampus tersebut,” jawab beliau ramah.
Tidak ada lagi perjumpaan secara langsung antara
saya dengan Prof. Azyumardi Azra sejak itu, kecuali setelahnya saya hanya
membaca tulisan-tulisannya yang tersebar di koran maupun media
sosial, hingga saya mendapat kabar bahwa Prof. Azyumardi dipercaya menjabat
sebagai Ketua Dewan Pers periode tahun 2022-2025 pada Rabu, 18 Mei tahun 2022.
Tuhan berketetapan lain. Minggu, 18 September
2022, Prof. Azyumardi menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya di Kuala
Lumpur, dalam sebuah perjalanan akademik, sebuah lapangan luas yang selama ini ia
geluti secara konsisten, dan karena itu ia telah berkontribusi bagi dunia
pemikiran dan peradaban.
Demikian catatan sederhana saya tentang Prof.
Azyumardi Azra. Saya bukan anak didik langsung beliau, tapi saya berterima
kasih atas kerja pemikiran beliau semasa hidup, dimana saya sebagai generasi
jauh setelahnya dapat membaca dan memahami pelbagai peristiwa di tanah air
bahkan melampaui sekat administrasi wilayah suatu negara, berkat hasil
penelitian dan refleksi kritisnya yang ia tulis di lembar-lembar koran merespon
pelbagai peristiwa aktual di tanah air.
Selamat jalan, Prof. Azyumardi Azra. Doa terbaik
untukmu dan keluarga yang ditinggalkan. Sekarang engkau bisa istirahat dengan
tenang di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah SWT. Menjadi tugas
generasi sekarang meneruskan pikiran-pikiran bernas yang engkau torehkan semasa
hidup.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik artikel jamberita.com dan rubrik sosok portal kajanglako.com pada Senin, 19 September tahun 2022.
*Tulisan saya lainnya:
(1) Gus Dur: Santri par Exellence
(5) Mengenal Prof. C.W. Watson
(6) Mengenal Dr. Fiona Kerlogue
(7) Mengenang Romo Iman Budhi Santosa
(8) Mengenal Dr. Riwanto Tirtosudarmo
(9) Sepotong Kisah Prof. Arief Budiman
(10) Sketsa Pemikiran Prof. Syafii Maarif
0 Komentar