ilustrasi. ujian nasional |
Oleh: Jumardi Putra
Majunya jadwal ujian nasional secara mendadak
pada tahun ajaran 2009/2010 ini menjadi batu sandungan bagi perbaikan kualitas pendidikan
tanah air. Pasalnya, pertimbangan administratif oleh pemerintah saya nilai
telah mengorbankan sekolah, guru, dan peserta didik. Sejauhmanakah dampak kebijakan
tersebut bagi kualitas pendidikan di Indonesia?
Saya teringat pendapat Mochtar Bukhori bahwa perlunya
membangunan pendidikan antisipatoris, dimana para penyelenggara pendidikan
harus pelit dengan waktu, daripada tergesa-gesa dan ingin rampung dalam waktu
sesingkat-singkatnya, tapi hasilnya hanya tambal sulam (Pendidikan Antisipatoris,
Kanisius, 2001).
Bertolak dari pendapat di atas, sangat beralasan
karena dua hal. Pertama, pintu eksploitasi terhadap peserta didik terbuka
lebar. Ujian Nasional (UN) yang dipercepat membuat pihak sekolah maupun orang
tua mencari jalan pintas, seperti memperketat jadwal pelajaran dengan melakukan
les umum dan “menyewa” guru bermutu ke sekolah, sementara orangtua juga membuka
les privat di rumah.
Dalam keadaan itu, sekolah yang seharusnya menjamin
lingkungan, sarana dan prasarana belajar yang kondusif malah berubah laiaknya
“pabrik” bimbingan belajar. Sedangkan guru yang seharusnya menjadi fasilitator,
bertugas mendampingi, mengamati, dan menilai kegiatan serta interaksi peserta
didik, berubah menjadi distributor soal-soal latihan UN. Tanpa disadari, sikap
tergesa-gesa itu telah melanggar hak asasi peserta didik.
Kedua, sekolah mendadak menjadi lembaga sulap. Guru-guru
bisa dipastikan panik karena harus mengubah rencana pembelajaran yang sebelumnya
sudah tertata rapi. Apalagi mereka dihantui rasa cemas nantinya bila
murid-muridnya tidak lulus. Tak ayal,
kondisi kalang kabut itu, membuat sekolah menelurkan program-program tambahan
yang bersifat tanggap darurat, seperti sejumlah ritual keagamaan, baik di sekolah
maupun di rumah dan meminta pertanggungjawaban peserta didik agar berlaku jujur
selama mengikuti UN dalam bentuk ikrar bersama.
Jalan
Pintas
Bilamana jalan pintas yang ditempuh oleh pihak sekolah,
guru dan peserta didik benar-benar terjadi, sebagaimana keadaan di atas tersebut,
maka dunia pendidikan telah dikelola dengan logika pendidikan yang dangkal.
Karena usaha tungganglanggang tersebut bertolak belakang dengan visi-misi
pendidikan yang mensyaratkan “Hasil yang baik hanya bisa diraih manakala
prosesnya juga baik.”
Setakat hal itu, kecurangan sistemik yang bakal terjadi
tidak hanya mengaburkan pemetaan kualitas pendidikan nasional, tapi turut
berdampak buruk bagi guru dan peserta didik. Karena kreativitas murid
terkungkung, setelah dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata
pelajaran pilihan pemerintah. Di lain pihak, atas alasan gengsi daerah, nama
baik sekolah serta kehendak memuaskan hati pemerintah pusat, semangat belajar
dan kerja keras para murid dan guru dikorbankan.
Dampak paling berbahaya adalah tertanamnya
mental terabas di kalangan peserta didik. Dengan demikian, keputusan
pelaksanaan UN dari pemerintah yang serba dadakan membuat kesiapan segala
komponen pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, dalam
situasi yang dipenuhi ketergesaan dan kegaduhan itu, distorsi dalam proses
belajar-mengajar, pemetaan mutu, dan relevansi muatan kurikulum pendidikan
menjadi tidak terelakkan.
*Yogyakarta, 2009.
0 Komentar