Majalah Tebuireng edisi Nomor XIV, Dhulqa'dah 1407 Hijriah atau Juli 1987 M memuat hasil wawancara redaksi bersama jurnalis cum esais Mahbub Djunaidi tentang empat hal utama yaitu pertama proses kelahiran Pancasila (dimulai 1 Juni dan dikristalisasikan pada 22 Juni hingga Agustus) serta titik-singgungnya dengan ideologi-ideologi besar dunia.
Kedua, pandangan progresif Soekarno tentang Islam (tentu kita masih ingat kumpulan buah pikirannya "Islam Sontoloyo"). Ketiga, sikap Soekarno dan Hatta terhadap Piagam Jakarta; dan polemik antara pelajaran sejarah di sekolah dan bacaan sejarah untuk umum oleh Fuad Hasan (Mendikbud).
Mahbub dalam posisi tidak sependapat dengan sang Mendikbud itu. Baginya pengajaran sejarah di sekolah itu penting. Apa harus dibuat berbeda?! Jangan main-main dengan sejarahlah.
Terhadap empat hal di atas, terlihat jelas pertama, Mahbub adalah pembaca kritis (plus pengagum) Soekarno, utamanya ketika Mahbub membela Soekarno di hadapan mendiang Nugroho Notosusanto. Bahkan, tak tanggung-tanggung, Mahbub menyebut Seokarno adalah pembuat sejarah sekaligus ahli sejarah. Pandangannya itu berbeda dengan sejarawan dan ahli Jawa Dr. Gruber yang ia temui dalam sebuah kunjungan persahabatan ke Uni Soviet tahun 1967 yang menyebutkan Soekarno adalah pembuat sejarah. Bukan ahli sejarah.
Selain itu, juga disinggung oleh Mahbub Djunaidi saat di muka Santri Tebuireng yaitu kita jangan saja mengagumi orang besar seperti Bung Karno, tetapi juga memahami ajaran-ajaran beliau.
Soekarno, Suara Merdeka, 4 Oktober 1954 |
Bagi Mahbub, Soekarno adalah penulis yang baik sekaligus Guru.
Demikian, meski empat hal utama di atas belumlah dikupas secara memadai oleh redaksi majalah Tebuireng, satu hal yang jelas, sebagaimana kata Mahbub, Soekarno adalah buku tebal yang mesti suntuk dipelajari baik karya-karya tulisnya sendiri maupun karya orang lain tentang dirinya.
***
Di kalangan jurnalis dan jagad kepenulisan, kepiawaian menulis seorang Mahbub Djunaidi tidak diragukan lagi. Bung Karno sendiri tertarik dengan tulisan-tulisannya. Tidak heran bila Mahbub menjadi teman diskusi Bung Karno. Meski demikian, ia tetap berani mengkritik secara langsung seorang Presiden yang kala itu mendapat gelar ‘Paduka Jang Mulia’. Bahkan ia tak segan menulis kritiknya melalui media massa.
Bung Karno pernah dibikin takjub oleh salah satu tulisan tentang Pancasila di Harian Duta Masyarakat yang ditulis oleh Mahbub Djunaidi. Tulisannya itu menurut Bung Karno disajikan dengan argumentasi kuat tetapi jenaka sebagai bukti kearifan Mahbub Djunaidi dalam memandang realitas sosial bangsa Indonesia. Di koran tersebut, Mahbub Djunaidi mengetengahkan pendapatnya bahwa Pancasila mempunyai kedudukan lebih sublim dibanding Declaration of Independence susunan Thomas Jefferson yang menjadi pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776, maupun dibanding Manifesto Komunis yang disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1847.
Suatu hari sekitar tahun 1963, Bung Karno meminta KH Saifuddin Zuhri (saat itu menjabat Menteri Agama) supaya mengantarkan Mahbub Djunaidi ke Istana Merdeka (Baca KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 680)
Orde Lama berganti Orde Baru. Sikap kritis Mahbud Djunaidi tidak berubah. Ia termasuk orang yang berani mengkritik pemerintahan orde baru yang dibangun dari ketakutan dan pemaksaan (otoritarism). Tak heran, menyadari tulisan dan orasi kritis Mahbub merupakan ancaman bagi jargon ‘stabilitas nasional demi pembangunan’, ia pernah dipenjara satu tahun tanpa melalui proses pengadilan.
Begitulah Mahbub, ia tidak jera dan terus kritis. Bagi pria kelahiran 27 Juli 1933 ini menulis tak ubahnya seperti bercakap-cakap. Renyah dan membuat pembaca mengerti, bukan justru mengernyitkan dahi. Mencermati tulisan-tulisannya yang dimuat rubrik Asal Usul Harian Kompas (1986-1995) maupun majalah Tempo (Kolom Demi Kolom, 1971-985) terlihat ia begitu peka terhadap realitas di sekitarnya, mulai dari dalam rumah tangga hingga istana. Bak seorang juru masak, ia piawai meramu masakannya sehingga bisa dinikmati berbagai kalangan, tidak terkecuali orang yang menjadi objek kritiknya. Ia sendiri menyebut gaya tulisannya sebagai jurnalistik sastra karena menggabungkan prinsip jurnalistik, pandangan politik dan nilai-nilai sastra.
Kepiawaian tersebut tentu tidak datang tiba-tiba, melainkan melalui proses yang panjang. Pada bidang jurnalistik sebagai profesi, Mahbub Djunaidi merupakan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat (1965-1970), Pimpinan Redaksi Duta Masjarakat (1960-1970), dan Ketua Dewan Kehormatan PWI (1973-1973).
Di ranah politik, ia merupakan anggota DPR GR (19671971), Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), anggota DPR/MPR RI (1971-1982). Sebagai pribadi yang meminati sastra, dan ia lebih suka disebut wartawan. Pendekar kata ini semasa hidup melahirkan beberapa karya novel dan beberapa terjemahan.
Selain itu, ia pernah menjadi anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Wakil Sekjen PBNU (1970-1979), Ketua II PBNU (1979-1984), Wakil Ketua PBNU (1984-1989), dan anggota Mustasyar U (1989-1994). Dengan kata lain, ia telah mendedikasikan dirinya sejaka lama pada organisasi NU.
Demikianlah sosok Mahbub Djunaidi, seorang wartawan, esais, sastrawan, dan politisi NU yang popular di zamannya. Generasi sekarang, masih adakah yang tahu sosok pendekar kata ini?
*Tulisan saya lainnya tentang Mahbub Djunaidi, baca di sini: Lebih Karena Mahbub Djunaidi
0 Komentar