pegiat literasi |
Di suatu rumah di Lorong Depati Setio, Kecamatan Alam
Barajo, Kota Jambi, menjadi saksi peristiwa budaya pada Selasa malam, 2 Mei
2023.
Jumardi Putra, salah seorang kritikus budaya yang dimiliki Jambi, menggelar perjumpaan antar insan pegiat literasi di Kota Jambi. Pertemuan itu dilakukan untuk memperkuat silaturahmi dan halal bihalal sesama pejuang literasi Jambi.
Beberapa pegiat literasi dengan beragam konsentrasi hadir
memenuhi undangan tersebut. Mereka berasal dari berbagai profesi, komunitas, dan
beragam fokus seperti literasi baca tulis, literasi budaya, literasi sains,
literasi digital, literasi keuangan, rumah baca, lapak baca dan lainnya.
Hajatan tersebut berlangsung hangat dan penuh semangat. Hangat karena seisi ruangan penuh sesak oleh tamu undangan. Interior ruangan pertemuan yang dipenuhi dengan buku-buku menambah semangat para tamu menatap masa depan literasi di Jambi yang lebih bergairah.
Agenda silaturahmi ini dibuka dengan santap malam bersama dan dilanjutkan dengan sesi perkenalan. Pada sesi ini tidak hanya mengenalkan diri masing-masing dan aktivitas hariannya tetapi juga menyampaikan pandangan mereka tentang kondisi sastra dan literasi hari ini.
Masing-masing yang hadir memberikan pandangannya tentang geliat, keluh kesah dan pengamatannya tentang kondisi sastra dan literasi hari ini. Namun, dalam tulisan ini tidak menjelaskan satu persatu yang disampaikan oleh tamu undangan karena keterbatasan saya.
Sesi ini pun dimoderatori langsung oleh tuan rumah yang
memang sudah terbiasa memandu diskusi pada setiap peristiwa penting di Jambi
baik di media offline maupun televisi.
Ia membuka dengan kalimat penting yaitu ingin mendengar
sekaligus menghimpun kondisi terkini tentang komunitas literasi yang ada di
Jambi.
Kesempatan pertama diberikan kepada penulis sastra senior di
Jambi yaitu Meiliana K. Tansri yang terkenal dengan Trilogi Darah Emasnya.
Setelah memperkenalkan diri, ia mengetengahkan isu
pluralisme bahwa meskipun ia memiliki darah Chinese tetapi ia adalah orang
Jambi asli. Sungai Batanghari dan segala aktivitas orang Jambi menjadi
rutinitas yang akrab dalam kesehariannya.
Hal itu juga terlihat dalam novel trilogi yang diterbitkan
oleh Gramedia mengambil latar salah satu desa di kawasan Candi Muarajambi
dengan berbagai polemik yang menyertainya.
Salah satu isu yang lain datang dari salah satu akademisi UIN Jambi, M.Husnul Abid pakar bidang Ilmu Komunikasi. Ia menyampaikan bahwa dunia penerbitan hari ini tidak bersungguh-sungguh dalam menyeleksi dan mengedit naskah untuk diterbitkan. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kualitas isi buku. Hal-hal teknis lainnya di dunia penerbitan pun kurang diperhatikan oleh penerbit dan penulis.
Menerbitkan buku hanya untuk memenuhi tuntutan karir yang
sifatnya administrasi saja. Hal itulah yang akhirnya menjadikan dunia literasi
baca tulis hari ini tidak dapat mengalahkan kepopuleran media sosial yang tak
terbendung.
Ketua Forum Pegiat Literasi Jambi, Fajrin Nurpasca juga
menyampaikan isu terkait penerbitan buku. Ia melihat bahwa UU Sistem Perbukuan
belum menjadi konsentrasi utama dari pemerintah Jambi.
Padahal, jika UU tersebut dilaksanakan maka efeknya akan
melibatkan lebih banyak stake holder mulai dari penulis, komunitas, penerbitan,
pencetakan, toko buku, lapak baca, perpustakaan masyarakat, media ajar, guru
dan berakhir pada kualitas SDM Jambi yang lebih baik.
Ia menyampaikan optimismenya bahwa pemerintah Jambi akan segera melaksanakan Undang-undang tersebut jika membuka diri untuk berkolaborasi dengan komunitas literasi. Hal itu demi menjamin ketersediaan buku berkualitas tinggi di Provinsi Jambi yang dihasilkan oleh pegiat literasi di Jambi.
Ramoun Apta, salah seorang sastrawan Jambi yang karya
puisinya hilir mudik terbit di berbagai media massa nasional seperti Kompas, Media
Indonesia dll juga menyampaikan pandangannya.
Ia mengetengahkan isu sastra yang hari ini digambarkannya
sedang dalam keadaan sulit. Menurutnya bersastra khususnya puisi tidak memiliki
fungsi yang nyata terhadap kehidupan yang ada.
Puisi hanya sebatas hiburan saja dan hanya membuat
penulisnya memiliki sensitivitas yang tinggi. Jika ingin mengubah dunia dan
keadaan maka jadilah politisi bukan penulis puisi.
Pegiat literasi |
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa penurunan minatnya dalam menulis sastra atau puisi saat ini lebih karena kondisinya yang terkena asam lambung akut. Pernyataan ini dapat kita maknai secara tersirat maupun tersurat.
Saya sendiri memaknai pernyataan Ramoun Apta yang saya
sampaikan dalam forum tersebut dengan analisis sensitivitas. Justru ia telah
menemukan fungsi yang hakiki dari proses kepenyairannya selama ini.
Bersastra dapat menjadi kunci yang ampuh bagi hiruk pikuknya
kasus kekerasan, pemerkosaan, kriminal yang akhir-akhir ini kerap menimpa
remaja Indonesia.
Menulis puisi dapat melatih sensitivitas atau kepekaaan
terhadap suatu hal. Ketiadaan sensitivitas terhadap lingkungan alam, sosial dan
tuhan justru akan memperburuk kondisi dan masa depan bangsa ke depan.
Maka, cara yang ampuh untuk mengatasi deflasi moral anak
bangsa hari ini yaitu dengan belajar bersastra yang bertolak dari kearifan
lokal masing-masing.
Momen diskusi pada malam itu ditutup oleh Jumardi Putra yang sejak awal tampak khusyuk memandu. Dari binar matanya saya melihat jelas ada kerinduan yang amat sangat dalam pada bangkitnya geliat sastra dan literasi di Jambi.
Ruang-ruang publik harusnya diisi dengan geliat sastra dan literasi. Ia menutup dengan pernyataan bahwa pemikiran, ide, konsep dan gagasan yang sudah disampaikan bukan untuk menemukan mana yang benar dan mana yang salah. Dialektika yang terbangun justru dapat menambah kualitas silaturahmi para pejuang literasi.
Dunia literasi yang bagi sebagian orang menganggap sebagai
kegiatan yang sia-sia justru sangat dibutuhkan untuk memenuhi asupan nutrisi
akal dan rohani.
Akhirnya, napas panjang masih tetap dibutuhkan bagi pegiat
literasi khususnya di Jambi hingga semua stakeholder mampu berkolaborasi
menciptakan ekosistem literasi yang lebih baik. Semoga.
0 Komentar