ilustrasi |
Oleh: Jumardi Putra*
Galibnya musim Pilpres maupun Pileg, semua warga bisa dipastikan setiap hari melihat baliho atau spanduk politikus menutupi sebagian permukaan pohon-pohon di sepanjang jalan. Baliho beragam
ukuran itu ditopang bambu atau kayu yang menancap ke tanah. Di tanah itu pula
tampak akar-akar yang menopang kehidupan pohon. Begitu juga spanduk diikat
dengan sebuah tali rafia atau kawat ke batang tumbuhan. Tidak jarang dedaunan di
tanaman tersebut ikut terikat tali spanduk sang politikus.
Saya tak habis pikir menatap
baliho atau spanduk politikus demikian itu. Bahkan, di sebelah baliho itu ada
rumput-rumput sebagian layu. Rumput dan pepohonan itu sejatinya hanya
secuil dari ruang terbuka hijau yang tersisa di tempat kita tinggal. Namun,
ruang yang tinggal sedikit itu pun tak kuasa dari amukan baliho atau spanduk
politikus yang sedang berkampanye menyambut Pemilu Legislatif dan Presiden
2024.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi, tetapi jamak ditemukan di pelbagai daerah di tanah air. Pohon-pohon di
tepi jalan seolah dipaksa menopang hasrat manusia yang (katanya) sedang beradu
visi, misi, dan ambisi.
Melalui baliho atau spanduk beragam
ukuran yang terpasang mulai dari sekedar diikat, ditancapkan bambu atau kayu,
hingga dipaku menancap ke batang-batang pohon, publik bisa merasakan betapa suhu
panas politik di republik ini benar adanya. Maka, melihat pohon-pohon atau tumbuhan
yang menjadi korban kampanye politikus atau calon politikus itu, makin membuat
suasana hati mendidih panas.
Selain pada fasilitas-fasilitas publik,
alat peraga kampanye yang dipasang pada batang-batang pohon telah mengurangi estetika
kota maupun suasana jalan-jalan umum. Padahal, jika berpikir kreatif, praktis sekarang ini sebagian besar warga mengakses segala macam informasi, tidak terkecuali seputar politik melalui gawai dan semuanya berbasis digital atau internet.
Maraknya pohon yang
menjadi media kampanye politikus menjadi tidak terelakkan, salah satunya karena
tidak ada aturan secara tegas dan spesifik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Subjek dan objek dari aturan KPU terkait alat peraga kampanye hanya seputar
sisi manusia. Sementara dari sisi lingkungan hidup peraturannya sangat
terbatas.
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 15 Tahun
2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum, pasal 70 ayat 1 (satu) dan pasal 71 menyebutkan bahwa lokasi yang dilindungi dari bahan maupun alat peraga kampanye antara lain yaitu rumah ibadah,
fasilitas kesehatan, pendidikan, gedung lembaga pemerintah, taman dan pepohonan. Dalam
praktiknya masih dapat ditemukan anomali, karena pengertian alat
peraga kampanye adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi,
program, dan/atau informasi lainnya dari Peserta Pemilu, simbol atau tanda
gambar Peserta Pemilu, yang dipasang untuk keperluan Kampanye yang bertujuan
untuk mengajak orang memilih Peserta Pemilu tertentu, sehingga terbuka celah untuk mengelabui
batas-batas yang telah diatur itu melalui segala modus kampanye sehingga lolos dari
larangan dan ancaman sanksi.
PKPU itu juga hanya menjelaskan secara umum bahwa pemasangan alat kampanye harus mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lagi-lagi tidak ada aturan khusus yang secara spesifik melindungi lingkungan selama masa kampanye.
Ilustrasi kesemrawutan APK caleg/Foto: Fb Andri Bronk |
Dari segi estetika, pepohonan yang tumbuh secara bebas sebagai jalur hijau sepanjang jalan, kini menjadi tereduksi nilai estetikanya, karena bercampur dengan berbagai tanda gambar politikus yang sengaja dipasang dan mengganggu pepohonan. Saya teringat bunyi kalimat berikut ini, “Makin sedikit wajah pejabat atau politisi terpancang di ruang-ruang publik, makin indah dan nyaman kotanya”. Otokritik demikian itu lebih karena publik mulai gerah melihat baliho atau spanduk dengan wajah pejabat atau politisi yang justru bertebaran di ruang-ruang publik, dan itu telah menjadikannya sebagai polusi visual.
Hemat saya, politikus di negeri ini sudah seharusnya memiliki kesadaran yang tinggi terhadap keberlangsungan pohon sebagai bagian penting dari lingkungan hidup yang mesti dirawat. Bukan justru merusaknya hanya demi kepentingan properti kampanye. Politikus yang memanfaatkan pohon atau tumbuhan di sekitarnya untuk menempatkan alat peraga kampanye boleh dikata telah mencederai hak asasi tumbuhan.
Lebih jauh lagi, muncul pertanyaan retoris berikut ini, “jika dinilai dengan rupiah berapa besar kontribusi pepohonan atau tumbuhan yang memberikan kehidupan bagi manusia?”. Menurut catatan Huffington Post, dari setiap udara yang kita hirup, oksigen terkandung 20 persen di dalamnya. Sebagian besarnya adalah nitrogen. Dalam sehari, diperkirakan manusia dewasa membutuhkan 550 liter oksigen murni. Seandainya diperjualbelikan, maka berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membelinya?
Oksigen murni yang dijual bebas saat ini dibanderol dengan harga sebesar Rp25.000 per liter. Nah, kalau dihitung dengan kebutuhan tadi, berarti diperlukan biaya sebesar Rp13.750.000 per hari. Artinya, teramat mahal oksigen yang dibutuhkan setiap hari. Tetapi karena oksigen yang tersedia di udara bebas itu gratis, maka sejatinya menjadi keniscayaan bagi kita agar merawat lingkungan dengan sungguh-sungguh. Demikian itulah sumbangan alam secara mutlak dari pepohonan atau tumbuhan kepada manusia.
Oleh karena itu, bagi segenap elemen masyarakat, terutama akademisi, penyelenggara pemilu, partai politik, lebih-lebih mereka yang memberi perhatian serius terhadap isu-isu lingkungan, agar senantiasa menyuarakan perlunya komitmen dari semua pihak agar tidak menjadikan pohon-pohon sebagai alat kampanye. Peranan pepohonan bagi kehidupan seluruh mahluk di bumi harus disadari sejak dalam pikiran dan dimanifestasikan dalam tindakan, apatah lagi bagi mereka yang menyebut dirinya bekerja demi dan atas nama rakyat Indonesia.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik esai portal
kajanglako.com
Tulisan saya lainnya berikut ini:
1) Di Balik Politik "Wani Piro"
2) Berpolitik Secukupnya, Berkawan Selamanya
3) Pilpres 2024: Maklumat Kebudayaan
4) Suatu Pagi Setelah 25 Tahun Reformasi
5) Sihir Rocky Gerung dan Paradoks Masyarakat Digital
6) Senyum Caleg Kegembiraan Kita Semua
7) Politik Identitas dan Sampah Politik
8) NU Jambi, Politik Kekuasaan dan Kemaslahatan Umat
9) May Day, Unjuk Rasa dan Protes Dengan Humor
10) Negeri Ini Tidak Kekurangan Calon Presiden, Tapi
11) Lisanul Hal, Kisah Teladan Kepemimpinan
13) Demokrasi dan Krisis Kepemimpinan
0 Komentar