Titik Kilometer Nol Indonesia, Sabang |
Oleh: Jumardi Putra*
Berkunjung ke Nanggroe Aceh Darussalam, belum lengkap rasanya jika tidak menginjakkan kaki di titik Kilometer Nol Indonesia di Puau Weh, Kota Sabang. Hal itu yang mendorong saya bersama anggota Badan Anggaran DPRD Provinsi Jambi, tenaga ahli dan pendamping, mengunjungi destinasi wisata Kilometer Nol Indonesia pada Rabu, 6 Juni 2023, setelah sehari sebelumnya kami berdiskusi bersama Badan Pengelola Keuangan Aceh (BPKA) tentang optimalisasi pendapatan, belanja dan pengelolaan aset milik daerah serta realisasi pariticipating interest 10% pada wilayah kerja migas di Aceh.
Titik Nol kilometer di Sabang sering disebut sebagai penanda geografis ujung barat terjauh Indonesia. Posisinya berada di Desa Iboih Ujong Ba’u, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang. Di sana terdapat tugu titik nol yang berdiri di atas tebing dan menghadap langsung ke Samudra Hindia.
Kota Sabang yang dikenal dengan sebutan Pulau Weh adalah sebuah pulau yang terletak tepat di ujung barat Indonesia dan dikelilingi oleh lautan. Kota Sabang juga berbatasan langsung dengan Selat Malaka yang terletak di sebelah utara dan timur, serta laut Andaman yang terletak di sebelah Selatan dan Barat.
Perjalanan kami menuju Kilometer Nol Indonesia di Kota Sabang, dimulai dengan kapal Express Cantika dari Kota Banda Aceh. Kapal yang menuju ke Kota Sabang setiap harinya berangkat dari Pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh pada pukul 08.00 WIB dan begitu pun sebaliknya berangkat dari Pelabuhan Sabang ke Aceh mulai pukul 08.00 saban hari.
Sekira pukul 07.15 WIB, rombongan meninggalkan Hotel Grand Arabia tempat kami menginap di Banda Aceh menuju pelabuhan Ulee Lheue untuk selanjutnya menyeberang ke Pulau Weh. Jarak tempuh hotel ke pelabuhan sekitar 5,8 kilometer atau memerlukan waktu perjalanan 15 menit.
Sesampai di pelabuhan Ulee Lheue, warga Aceh maupun beberapa turis mancanegara terlihat memenuhi ruang tunggu. Tiket kapal per orang 100.000 rupiah. Sekira pukul 08.09 menit, kapal meninggalkan pelabuhan Ulee Lheue menuju Kota Sabang. Pada momen inilah saya teringat peristiwa yang pernah memporak porandakan Kota Banda Aceh saat terjadi Tsunami 26 Desember 2004 silam, dimana seluruh mata penjuru dunia tertuju ke daerah berjuluk Serambi Mekkah ini.
Pelabuhan Sabang |
Seperti hari-hari sebelumnya cuaca di aceh terasa panas. Meki demikian, gelombang air laut membuat suasana terasa asyik. Tak pelak, sebagian dari kami memilih menaiki geladak utama kapal untuk menikmati panorama laut lepas.
Syukur alhamdulillah, perjalanan lancar dan kami tiba sekira pukul 09.06 WIB di Pelabuhan Sabang. Mobil travel yang kami tumpangi sudah menunggu dan langsung tancap gas membawa kami ke arah titik nol kilometer Sabang. Jarak dari pelabuhan ke titik Kilometer Nol Indonesia, kurang lebih 29 Kilometer dengan waktu tempuh sekira satu jam perjalanan darat menggunakan mobil innova melewati jalan yang berkelok – kelok serta penurunan dan tanjakan yang membuat jantung sedikit berdebar kencang.
Beruntung jalan menuju titik Kilometer Nol Indonesia yang berada di ujung Pulau Weh, semuanya sudah diaspal sehingga perjalanan kami sangat menyenangkan dan tak terasa tepat pukul 10.24 WIB tiba di komplek tugu titik Kilometer Nol Indonesia yang diresmikan oleh wakil Presiden Republik Bapak Tri Sutrisno pada tanggal 9 September 1997.
Setelah tiba di lokasi itu, masing – masing rombongan langsung memilih tempat yang pas untuk foto-foto sebagai koleksi dan kenangan sudah berkunjung ke destinasi wisata ikonik di Kota Sabang tersebut.
Tugu Titik Kilometer Nol Indonesia, Sabang |
Saya melihat
warga setempat memanfaatkan destinasi wisata Kilometer Nol Indonesia ini dengan
menjual berbagai pernak-pernik oleh-oleh seperti baju kaus yang dijual dengan
harga bervariasi mulai dari 100 ribu per tiga lembar hingga 150 perlembar.
Semua kaos itu, terdapat tulisan nama Sabang dan Kilometer Nol Indonesia.
Ada juga pakaian gamis dan daster untuk wanita, topi, gelang, miniatur tugu Kilometer Nol Indonesia, serta pernak-pernik lainnya. Selain itu, terdapat juga kuliner dan cemilan yang memanjakan pengunjung seperti pisang goreng, keripik dan berbagai jenis kuliner dan cemilan lainnya. Di tempat ini juga pengunjung akan dimanjakan dengan suasana alam yang indah dan panorama biru laut di kawasan tugu, terutama menjelang mata hari terbenam.
Saya bersyukur bisa mengunjungi titik Kilometer Nol Indonesia ini. Selama ini saya hanya menyaksikan melalui layar tivi maupun membaca tulisan-tulisan tentang Aceh dengan segala keunggulan destinasi sejarah, budaya maupun wisata di daerah tersebut. Di atas itu semua, rasa bahagia saya lebih karena Titik Kilometer Nol Indonesia menjadi simbol pemersatu bangsa dari Sabang hingga Meurake.
Kata “dari Sabang sampai Merauke” pertama kali diucapkan oleh seorang Perwira Belanda bernama Jenderal J.B Van Heutsz dalam bahasa Belandanya “Vom Sabang tot Meurauke” saat mengklaim atas kemenangannya dalam perang Aceh tahun 1904. Ucapan populer tersebut dipopulerkan oleh singa podium yakni Presiden Soekarno hingga sekarang.
Penulis di Titik Kilometer Nol Indonesia |
Saya
perhatikan simbol-simbol yang terdapat pada Tugu Kilometer Nol yaitu simbol
rencong, bungoeng jeumpa, segidelapan, dan 4 pilar penyokong angka 0. Kesemua
simbol yang sarat budaya lokal Aceh itu, melalui beberapa sumber literatur yang
saya baca, baik secara denotatif maupun konotatif bermakna bahwa rakyat Aceh
akan melindungi keadaulatan Indonesia sampai keseluruh penjuru mata angin. Saya
pikir, tugas demikian itu bukan semata bagi masyarakat Aceh, tetapi seluruh
masyarakat di segala penjuru tanah air sebagai bagian integral dari NKRI, dari
sabang sampai merauke.
Usai dari tugu Titik Kilometer Nol Indonesia, kami melanjutkan perjalanan sekitar 10 menit menuju pantai Iboih. Saya terkesima melihat air laut Iboih sangat jernih dengan gradasi warna hijau biru ditambah hamparan pasir putih bersih di sepanjang pantai. Kawasan pantai ini juga dikelilingi hutan lindung dengan suasana yang tenang. Dengan keunggulan tersebut, berkunjuang ke pantai Iboih cocok bagi wisatawan yang ingin snorkeling atau menyelam, jelajah hutan serta bermain-main di sekitar pantai.
Sayangnya, kami tidak bisa berlama-lama menikmati keindahan pantai yang lebih dikenal dengan Teupin Layeu ini. Cuaca yang semula gerimis segera berganti hujan disertai angin lumayan kencang. Beberapa destinasi wisata di Kota Sabang, seperti Benteng Anoi Itam dan Komplek makam masa kolonial Belanda, terpaksa kami cancel menimbang cuaca dan perjalanan laut kembali ke kota Banda Aceh sore hari.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Kota sabang, menikmati kuliner Aceh di Rumah Makan Murah Raya di jalan perdagangan, setelah sebelumnya kami singgah sejenak menunaikan shalat zuhur di sebuah masjid (saya lupa mencatat nama masjidnya).
Pantai Iboih, Sabang |
Usai santap siang, di tengah kondisi hujan, kami melanjutkan perjalanan munuju Pelabuhan
Sabang. Jarum jam menunjukkan angkal 14.40 Wita. Kami pun menunggu
keberangkatan kapal sekira pukul 15.00 WIB di ruang tunggu pelabuhan Sabang.
Kapal yang bakal kami tumpangi sedikit lebih besar dibanding keberangkatan
paginya, namanya Expres Bahari. Biaya tiket kepulangan sebesar 120.000 rupiah.
Kapal pun mulai melaju dan perlahan-lahan meninggalkan kota Sabang. Kondisi kapal yang kami tumpangi terlihat bagus, dilengkapi fasilitas tivi, toilet dan warung minum di geladak utama kapal. Seluruh awak kapal terlihat siaga dan cekatan membantu kebutuhan penumpng. Semua penumpang menempati kursi masing-masing sesuai yang tertera di tiket. Cuaca masih hujan tapi dengan intensitas rendah.
Hujan mulai reda. Sebagian dari kami memilih ke geladak utama kapal. Kursi-kursi yang tersedia di geladak kapal terisi oleh penumpang lainnya. Kami pun menikmati suasana sore hari di tengah laut lepas, sembari sesekali merasakan percikan asinnya air laut. Gelombang laut makin kencang sehingga membuat kapal yang kami tumpangi dibuat berlompat-lompat dengan kecepatan yang terjaga hingga kami benar-benar bersandar di dermaga Ulee Lheue Banda Aceh, sekira pukul 15.54 Wita.
Demikianlah catatan perjalanan singkat saya mengunjungi titik Kilometer Nol Indonesia di Pulau Weh dan pantai Iboih di Kota Sabang. Sebuah perjalanan yang mengangumkan karena makin ke sini saya seolah diingatkan betapa keluasan NKRI meniscayakan tenunan kebangsaan yang kuat.
Menyusul catatan perjalanan saya selama di Kota Banda Aceh mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti Museum Tsunami Aceh, Kerkhof Peucut adalah kuburan serdadu Belanda (KNIL) yang tewas pada Perang Aceh dalam rentang tahun 1873 hingga 1904, Masjid raya nan megah Baiturrahman, rumoh tinggalan pejuang sekaligus pahlawan nasional Cut Nyak Dien, dan diakhiri ngangsu kawruh ke komplek makam Raja-Raja Aceh.
*Kota Jambi.
0 Komentar