Sasana Budaya Rumah Cut Nyak Dien |
Oleh: Jumardi Putra*
Langit kota Banda Aceh, Senin, 5 Juni 2023, berawan cerah dengan suhu 33°C. Tak syak, suasana terik itu mengernyitkan dahi. Setelah sebelumnya singgah shalat zuhur di Masjid Raya Baiturrahman, saya bersama Rachmat Wildan dan Novita Sari, melanjutkan perjalanan ke sasana budaya Rumah Cut Nyak Dhien di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.
Jarak dari Masjid ikon Nanggroe Aceh Darussalam itu ke rumah Cut Nyak Dhien sekira 7,3 km atau membutuhkan waktu 16 menit perjalanan menggunakan kendaraan roda empat. Jalanan kota Banda Aceh saya perhatikan tidak ramai kendaraan, sehingga tidak ada kendala buat kami dari dan menuju tempat-tempat bersejarah yang ada di daerah berjuluk Serambi Mekkah tersebut.
Sekira pukul 14.15 WIB, kami sampai di Rumah Cut Nyak Dhien. Betapa bahagia hati saya menginjakkan kaki pertama kali di komplek rumah pejuang Aceh Cut Nyak Dhien (1848-1908), seorang perempuan pejuang yang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Sebenarnya, selain Cut Nyak Dhien ada pejuang perempuan ternama Aceh yakni laksamana Malahayati (1550-1615), tetapi di Indonesia Malahayati tidak sepopuler Cut Nyak Dhien.
Cut Nyak Dien dikenal dengan sebutan Ibu Prabu atau Ibu Suci, panggilan penghormatan yang diberikan warga Sumedang semasa dua tahun masa baktinya di Sumedang, Jawa Barat. Pada 1906, Cut Nyak Dhien ditangkap Belanda, dibuang ke Sumedang guna menghindari komunikasi dengan pejuang Aceh lainnya.
Rumah asli Teuku Umar (Wereldkroniek) |
Rumah Cut Nyak Dhien sekarang ini atau lebih dikenal dengan Rumoh Aceh merupakan replika dari rumah asli peninggalan suaminya, Teuku Umar. Rumah tersebut dibangun oleh Belanda khusus untuk Teuku Umar pada 1873, karena hubungan kerja sama antara mereka.
Namun setelah mengetahui bahwa Teuku Umar, suami kedua Cut Nyak Dhien (mereka menikah tahun 1880), hanya berpura-pura bekerja sama dengan pihak Belanda, rumah tersebut dibakar habis oleh Belanda pada 1896. Satu-satunya yang tersisa dari rumah itu hanyalah sumur setinggi tiga meter yang terletak di sisi kiri rumah.
Selama di Rumah Cut Nyak Dhien, kami ditemani Bu Mariani yang sehari-hari bertugas merawat sekaligus mendampingi setiap pengunjung yang ingin mengetahui seluk beluk rumah bersejarah tersebut. Perempuan berusia 48 tahun itu dengan sabar membersamai kami menyusuri seisi rumah Cut Nyak Dhien.
Bu Mariani menuturkan rumah Cut Nyak Dhien ini dibangun kembali sesuai bentuk aslinya pada 1981 dengan maksud menjadi tujuan wisata edukasi dan belajar sejarah. Sasana budaya Rumah Cut Nyak Dhien ini diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan pada tahun 1987.
Sisi kanan bagian dalam rumah Cut Nyak Dien |
Rumah Cut Nyak Dhien merupakan rumah panggung khas Aceh yang beratap rumbia dan disangga oleh 65 tiang kayu ulin, atau dalam bahasa Aceh disebut kayu semantok. Kayu ulin yang dipakai pun merupakan kayu ulin merah yang berkualitas tinggi. Kokohnya bangunan Rumah Cut Nyak Dhien, diakui Bu Mariani, teruji saat Aceh dilanda gempa bumi dan diterjang tsunami pada tahun 2004. Tidak ada bagian bangunan yang rusak saat itu, bahkan rumah tersebut justru menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat sekitar.
“Saya sendiri selamat saat gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 setelah memilih menaiki atap rumah panggung ini. Sementara di dasar rumah ini bergelimpangan banyak jasad tak bernyawa ikut terseret bersamaan reruntuhan bangunan akibat bencana dahsyat 19 tahun yang lalu,” kenangnya.
Untuk memasuki rumah Cut Nyak Dhien ini, Bu Mariani mengajak kami menaiki anak tangga yang berada di sisi kanan bangunan. Segera kami diajak masuk ke sebuah ruangan lapang yang berfungsi sebagai ruangan berkumpul untuk menyusun strategi melawan Belanda pada masa lampau. Di ruangan ini kami melihat pasat-pasat foto-foto perjuangan rakyat Aceh. Salah satu foto yang menyita perhatian saya saat itu adalah wajah asli Cut Nyak Dhien saat berada di pengasingan di Sumedang, Jawa Barat.
Tjoet Nja Din (duduk) ditawan. ©media-kitlv.nl |
“Benarkah ini foto asli Cut Nyak Dhien,” tanya saya meragukan.
“Iya, tapi ahli sejarah yang bisa
memastikan hal itu, terlebih dokumen sejarah tentang Cut Nyak Dhien ada di
Belanda,” jawabnya.
Sisi menarik dari Rumah Cut Nyak Dhien ini, salah satunya adalah letak dua kamar para dayang yang justru berada di sisi depan rumah. Sedangkan kamar Cut Nyak Dhien justru berada di sisi belakang.
“Kenapa konsepnya begitu,” tanya saya kepada Bu Mariani.
“Itu bagian dari strategi perlawanan, agar sewaktu-waktu Belanda menyerang rumah ini, mereka terkecoh dengan mendatangi terlebih dahulu kamar yang berada di depan, sehingga Cut Nyak Dhien punya waktu untuk meloloskan diri dan menyiapkan perlawanan,” ujarnya.
Dari lorong kayu dengan dinding rumah dihiasi foto-foto bersejarah tadi, kami melanjutkan ke ruang tengah. Di ruang tengah itu, selain kursi dan meja, kami melihat dari dekat koleksi senjata tradisional Aceh yang digunakan untuk berperang dan sumur sebagai satu-satunya peninggalan dari rumah asli semasa Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien masih hidup.
Sumur (cat putih) di belakang sisi kiri rumah Cut Nyak Dien |
“Sumur itu sengaja dibangun setinggi tiga meter pada saat itu sebagai langkah pencegahan agar Belanda tidak dapat meracuni air di dalamnya,” terangnya.
Tidak terasa hampir 2 jam kami di Rumah Cut Nyak Dhien. Sepanjang itu rona sejarah bercampur aura mistik begitu kentara. Meskipun Cut Nyak Dhien meninggal dan dimakamkan di Sumedang, Jawa Barat, pada 6 November 1908, diakui Bu Mariani, Rumah Cut Nyak Dhien hingga sekarang masih menjadi magnet bagi pengunjung baik dari dalam maupun luar negeri.
“Rerata wisatawan dalam dan luar negeri yang berkunjung setiap hari berjumlah lebih dari lima puluh orang. Jumlah ini dapat bertambah dua kali lipat pada akhir pekan dan libur hari besar,” ungkapnya.
Sasana budaya Rumah Cut Nyak Dhien dibuka untuk pengunjung setiap hari Senin sampai dengan Minggu, mulai pukul sembilan pagi sampai dengan pukul lima sore. Tidak jauh dari pagar utama Rumah Cut Nyak Dhien, berdiri sebuah bangunan beton tempat satpam dan ruang perpustakaan. Sayangnya, perpus tersebut belum diisi buku-buku.
Penulis bersama Bu Mariani |
Demikian catatan perjalanan saya ke rumah Cut Nyak Dhien. Terhadap tempat-tempat bersejarah yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati. Maka, hormat saya buat Bu Mariani yang hari-hari bersetia merawat bangunan bersejarah tersebut.
Semoga para wisatawan, tidak terkecuali saya pribadi, yang berkunjung ke rumah Cut Nyak Dhien ini tidak sekadar mengingat kembali sejarah perjuangan rakyat Aceh, tetapi juga mengambil spirit dari tekad, semangat, dan strategi Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar dalam melawan penjajahan Belanda di Tanah Rencong.
Nah, bagaimana perjalanan saya ke pusara Sultan Iskandar Muda dan Raja-Raja Aceh lainnya, usai berkunjung dari Rumah Cut Nyak Dhien? Sila tunggu di sini selanjunya.
*Kota Jambi.
Catatan perjalanan saya di Banda Aceh:
(1) Aceh Setelah Tsunami dan Konflik (1)
(2) Belum Ke Aceh, Jika Tidak Ke Titik Nol Indonesia di Pulau Weh
0 Komentar