Oleh: Jumardi Putra*
Di bawah terik langit Jakarta, medio April 2023, saya segera meninggalkan lobi hotel Holiday in Express, di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, menuju Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis di Jalan Haji R. Rasuna Said Blok C No.3, RT.8/RW.3, Kuningan Timur, Jakarta Selatan. Terakhir kali datang ke Erasmus Huis adalah untuk mendatangi sebuah pameran seni sekira empat tahun lalu.
Ketika itu Perpustakaan Erasmus Huis belum banyak dipercakapkan di media sosial, selain sebagai pusat kebudayaan Belanda yang memang udah familiar. Erasmus Huis tercatat berhasil membangun reputasi sebagai pusat kebudayaan yang aktif. Pelbagai kegiatan Erasmus Huis tidak hanya berfokus pada musik, tapi juga menggelar pameran, pemutaran film serta ceramah.
Erasmus Huis tidak saja menjadi kanal pengenalan budaya Belanda, tetapi sekaligus menjadi ruang strategis-representatif bagi seni, seniman dan kelompok Indonesia. Begitu juga kegiatan yang diselenggarakan oleh pusat kebudayaan asing lainnya. Ini merupakan latar belakang didirikannya Erasmus Huis pada 1970. Belum lagi keberadaan KITLV-Jakarta, perwakilan dari KITLV yang berpusat di Leiden, membuka perwakilannya di Jakarta pada tahun 1969, menjadi sebuah Lembaga penting yang ikut memajukan penelitian mengenai keadaan masa kini dan lampau daerah-daerah bekas koloni Belanda dan wilayah sekitarnya. Ringkasnya banyak karya penelitian serius tentang Indonesia di Lembaga ini. Lokasi kantor KITLV-Jakarta hanya sepelemparan batu alias bersebelahan dengan perpustakaan Erasmus Huis, masih berada dalam satu komplek Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia.
Penulis bersama pustakawan Erasmus Huis |
Kali pertama ke perpustakaan Erasmus Huis mengundang decak kagum, selain karena koleksi belasan ribu buku, juga desain interior ruangan yang ciamik sekaligus nyaman untuk membaca dan menulis. Dominasi warna putih, rak buku dilengkapi tangga, dan lantainya yang berbahan dasar kayu, makin membuat saya merasa nyaman berlama-lama di perpustakaan tersebut.
***
Sebelum masuk ke dalam
sisi belakang komplek Gedung Duta Besar Belanda untuk RI, saya dicek oleh
petugas keamanan di pintu samping. Pengamanannya cukup ketat, tapi dengan
pelayanan baik. Setelah
itu saya masuk ke dalam dan langsung belok kiri. Saya menemukan sebuah kedai dan
sebuah standing banner bertuliskan
Erasmus Huis Library.
Sebelum masuk ruang perpustakaan, saya diminta mengisi buku tamu. Pak Satpam mempersilakan saya menuju perpustakaan. Sebelum melihat-lihat koleksi di perpustakaan Erasmus Huis, seorang pustakawan menyapa saya. Fadila Muhammad, namanya. Blio ramah. Atas bantuannya pula saya didaftarkan sebagai members Erasmus Huis Library. Ke depan saya mudah berurusan bila ingin meminjam buku-buku koleksi Erasmus Huis. Saya pun diberikan goodie bag berlogo Erasmus Huis.
Pengunjung di Erasmus Huis Library |
Ukuran perpustakaan ini cukup luas. Meski hanya memiliki satu lantai, perpustakaan Erasmus Huis memiliki rak buku berwarna coklat menjulang tinggi hingga ke langit-langit, sehingga disipakan catwalk yang memudahkan pengunjung untuk melihat-lihat koleksi di sana.
Saya melihat pengunjung lainnya khusyuk membaca dan mencari buku-buku pilhan mereka. Mereka datang dari pelbagai latar belakang seperti pekerja kantoran, peneliti, mahasiswa dan siswa SMA/SMK. Perpustakaan ini ternyata semakin keren dengan hadirnya rak buku tinggi berwarna coklat pada beberapa sisi jendela. Karena rak-rak buku itu tinggi, maka disediakan tangga putih sehingga memudahkan pengunjung mengambil buku-buku yang dibutuhkan.
Bagian tengah ruang perpustakaan Erasmus Huis diisi meja panjang, lengkap dengan stop kontak, yang cocok banget untuk browsing-browsing, mengerjakan tugas kantor atau kuliah, atau hanya untuk baca buku. Bahkan, tidak jauh dari meja panjang terdapat beberapa kursi biru nan empuk dan makin bikin pengunjung betah membaca di ruangan tersebut.
Hadiah members Erasmus Huis Library |
Secara umum, perpustakaan ini lebih banyak didominasi koleksi
buku berbahasa Belanda. Saya menemukan karya penulis tanah air, untuk menyebut
dua nama, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Ayu Utami dalam bahasa Belanda.
Selain itu terdapat juga buku-buku berbahasa Indonesia dan Inggris, tentu tidak
sebanyak buku-buku berbahasa Belanda.
Tidak kurang tiga jam saya
ngadem di Perpustakaan Erasmus Huis.
Saya lebih banyak membaca buku sejarah dan budaya yang berkait erat
dengan dinamika politik dan ekonomi di Indonesia, selain guyur menyelesaikan tugas kantor.
*Jakarta.
0 Komentar